K a r m a n e l o | DUA

1797 Words
K a r m a n e l o | DUA JEVILO memandang puas nilai rapornya yang di atas rata-rata. Menjadi juara satu adalah obsesinya selama ini. Nilai pelajaran Matematik, Fisika, Kimia-nya sempurna. Pelajaran yang lain yang nggak begitu penting menurutnya juga harus sempurna. Hanya saja di bagian kolom perilaku dan kepribadian, Jevilo mendapat nilai C di semua mata pelajaran. Jevilo cemberut lalu memasukkan rapornya ke tas dengan perasaan yang tiba-tiba menjadi kurang puas. Sementara itu, apa yang terjadi dengan Jevilo, terjadi juga pada Arjuna. Cowok berlesung pipi itu tersenyum melihat nilai rapornya yang sempurna kecuali pada bagian kolom sikap, ia mendapat C dan D. Bibirnya mencebik kesal lalu menghela napas panjang. Emang sih, selama ini, di kelas, Arjuna bandel banget. Nggak mau diatur dan suka keluar masuk kelas saat guru sedang mengajar. Anehnya, Arjuna tetap aja jadi juara satu. Padahal kan,  dia jarang merhatiin guru. Otak apaan tuh coba? Tapi nggak heran sih, soalnya dari kecil Arjuna memang dikenal pintar banget. Nilainya dan nilai Jevilo selalu sama. Usia keduanya hanya beda enam bulan. Bisa dibilang, Jevilo adalah kakaknya meskipun Arjuna nggak pernah mau mengakuinya. “Kak Arjuna pasti juara satu lagi, kan?” Nagita merentangkan tangannya saat Arjuna baru masuk ke dalam rumah. Nagita kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Arjuna. Arjuna mematung dan diam seribu bahasa. Dirasakannya pelukan Nagita yang begitu erat. Arjuna enggan melepasnya. Kalau boleh jujur, ia ingin membalas pelukan itu. Tapi, di satu sisi, ia nggak mau melakukannya. “Kak, hari Senin, Nagita juga udah mulai sekolah, loh! Nanti, Nagita juga mau jadi juara satu kayak Kak Arjuna sama Kak Jevilo!” Nagita melepas pelukannya dan memandang Arjuna, menunggu responnya. “Sekolah? Kamu kan, sakit. Ngapain sekolah?” Nagita termangu. “Memangnya, orang sakit nggak boleh sekolah ya, Kak?” tanyanya sedih. Arjuna gelagapan. Sepertinya ia sudah menanyakan hal yang salah. “Ng… hem, nggak gitu. Kan bisa belajar di rumah.” Sinar mata Nagita meredup. “Tapi, Nagita mau sekolah. Biar Nagita punya banyak temen. Penyakit Nagita nggak menular, kok.” Aduh. Mati deh gue salah ngomong terus. Arjuna mengumpat dirinya sendiri. “Nagita Sayang?” panggil Jevilo dari teras, dan seketika pula Nagita setengah berlari menuju pintu depan. Arjuna merasa hatinya nyeri melihat binar bahagia di mata Nagita setiap kali melihat Jevilo pulang. Beda dengan dirinya yang selalu membuat gadis itu sedih. Arjuna benci dirinya, Arjuna benci sesuatu yang ada dalam dirinya. Dan satu lagi, maksud perkataan Arjuna tadi adalah, ia nggak ingin Nagita sekolah karena itu akan membuat ia susah mengawasi adik tirinya itu. Kalau di rumah, ia bisa memperhatikan apa pun yang Nagita lakukan di luar rumah lewat jendela kamarnya, tapi kalau nanti Nagita sekolah dan terjadi apa-apa? Siapa yang mau bertanggung jawab? Arjuna melengos menuju kamarnya. Dilemparnya tas-nya ke sembarang arah. Ia memandangi langit-langit kamar dengan perasaan gusar. Ada yang salah dengan dirinya. Arjuna tahu itu. Ia sangat menyadarinya. “Apa yang harus gue lakukan? Gue sendiri di sini.” Meskipun ada suara-suara yang mengatakan kalau sebenarnya ia tak sendiri, tetap Arjuna merasa sendiri di dunia yang penuh dengan milyaran orang ini. Di sekolah, ia punya banyak teman cewek dan cowok. Di luar sekolah, ia juga punya banyak teman. Tapi, ketika ia pulang ke rumah, ia merasa sepi. Jika orang-orang pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya, ia pulang hanya untuk tidur, belajar, dan main game sendiri di kamar. Arjuna tahu, menyesali kepergian mendiang mamanya hanya akan membuat Tuhan marah. Ia seharusnya tetap ikhlas. Ia memang harus menerima semua kenyataan ini. Saat ayah membawanya ke rumah ini ketika umurnya masih delapan tahun, kehidupannya mulai berubah. Mamanya selalu menangis setiap malam. Jika ditanya kenapa, mama nggak pernah mau menjawab. Lantas, ketika ia semakin dewasa, barulah ia tahu apa alasan kenapa mamanya sering menangis. Ayah lebih sayang dengan mama tirinya. Ayah lebih peduli dengan mama tirinya. Arjuna benci ayah. Seharusnya, setelah kepergian mama, ia harus disayangi. Arjuna butuh perhatian dan kasih sayang. Bahkan, ketika ia sudah 18 tahun. Apa pun Arjuna lakukan untuk mencuri perhatian ayah, tapi ia selalu gagal. Otak pintar dan penurut belum bisa membuat ayahnya menepuk puncak kepalanya sambil berkata, "Anakku." Arjuna hanya ingin satu, perhatian. ☀☀☀ JEVILO membuka pintu kamar yang ada di samping kamar Nagita dengan gerakan berhati-hati. Dilihatnya seorang perempuan tengah duduk di kursi roda sambil menatap kosong ke luar jendela. Jevilo tersenyum lalu menghampiri wanita itu dan memeluknya dari belakang. “Bundaku Sayang….” sapanya serta mencium pipi Bunda dengan penuh kasih sayang. Bunda menoleh kaget, lalu kemudian tersenyum saat melihat anak pertamanya  itu nyengir. “Juara satu lagi?” tanya Bunda. “Iya, dong. Jadi cowok itu harus satu paket, Bunda. Manis, baik, terus… pinter, hehehe.” Jevilo kemudian menekuk lutut di hadapan bundanya. Diusapnya pipi yang tirus dan pucat itu. “Arjuna, juara satu juga, kan?” tanya Bunda lagi. Jevilo mengangguk sambil tersenyum. “Anak Bunda memang pintar-pintar…” Bunda mengusap rambut Jevilo. Matanya berkaca-kaca ketika jari-jarinya menyusuri pipi Jevilo. “Bunda ingin sekali… ngomong sama Arjuna, kayak kita sekarang….” Jevilo mendecak. “Bunda kapan ke Rumah Sakit lagi?” tanya Jevilo, mengalihkan pembicaraan. Kalau bisa, jauh-jauh dari topik Arjuna. Nama cowok itu hanya bikin hatinya panas. “Dokter bilang, Bunda harus ke sana hari Senin.” “Hemm… Jevilo temenin, ya?” “Tapi, hari Senin kamu kan sekolah, Sayang.” “Bolos sehari aja, deh. Sekalian nganterin Nagita ke sekolah. Oke, Bunda?” Bunda mengangguk. Jevilo tersenyum lalu pergi setelah berbincang-bincang cukup lama dengan Bundanya. Arjuna mengembuskan napas lega karena Jevilo nggak menangkap basahnya gara-gara ia menguping pembicaraan mereka. Jevilo terlalu serius dengan ponselnya sampai-sampai nggak menyadari Arjuna sedang berdiri kaku di dinding sebelah pintu. Arjuna kemudian mengintip ibu tirinya itu dari celah pintu yang terbuka sedikit. Lama ia memandangi wanita itu. Ah, perasaan yang sama itu muncul lagi. Ketika ia melihat Nagita dan ibu tirinya, ada sesuatu yang membuat dadanya nyeri. Sebenarnya, Arjuna peduli, hanya saja… ia merasa salah kalau memasuki wilayah teritorial Jevilo. Atau mungkin memang belum saatnya. ☀☀☀ Arjuna dan Jevilo duduk bersebelahan di hadapan ayah mereka. Laki-laki berahang tegas itu menekan kacamatanya saat memeriksa rapor di tangannya. Kelopak matanya yang agak keriput memandang Jevilo yang udah gemetaran. “C? Selalu C?” Nada suaranya meninggi. Jevilo meringis mendengarnya, tapi juga nggak berani menjawab. “C? Bahkan ada D? Arjuna!” Arjuna mengangguk cepat dengan kesepuluh jari bertautan. “I-iya, Yah.” “Kenapa ada D? Apa yang kamu lakukan di sekolah sampai kelakuan kamu mendapat nilai D?" Arjuna menggeleng, takut beradu pandang dengan orang yang paling dihormatinya juga paling ditakutinya itu. “Ini tahun terakhir kalian di sekolah, kan?” Nada suara Ayah mulunak tapi juga tegas. “Iya, Yah!” jawab mereka bersamaan. “Mulai pikirkan mau jadi apa kalian nanti setelah tamat SMA!” Ayah kemudian beranjak menuju kamar Nagita. Arjuna mengambil rapornya dan membolak-baliknya. Saat melihat huruf D di bagian kolom sikap untuk pelajaran PKN, ia mendengus frustasi, “Ketauan suka ngintip di kelas jadi dapat nilai D. Keterlauan banget sih tuh Pak Letoy!” Jevilo yang mendengarnya hanya berdeham lalu pergi ke kamarnya. ☀☀☀ “Dek, Kak Jevi antarin mama ke Rumah Sakit dulu, ya? Habis itu, Kakak balik lagi jemput kamu. Oke?” kata Jevilo pada Nagita yang sedang mengenakan seragam SD-nya. Nagita hanya mengangguk, raut wajahnya terlihat khawatir. Mungkin takut terlambat sekolah di hari pertama. Tapi, mau bagaimana lagi, mau nggak mau ia memang harus menunggu Jevilo menjemputnya nanti meskipun resikonya ia akan telat. Arjuna menggaruk-garuk tengkuknya sambil menuruni tangga. Ia pura-pura nggak tahu kalau Nagita sedang memperhatikannya. “Kakak kok belum pergi sekolah?” Arjuna mendongak, diperhatikannya Nagita yang terlihat cantik dengan baju putih dan rok merah. Ia juga sudah memakai kupluk. “Bentar lagi. Kamu kok belum pergi?” tanya Arjuna agak-agak jutek. “Lagi nungguin Kak Jevilo,” jawab Nagita lirih. Arjuna tahu kalau adiknya itu sedang cemas. “Kamu sekolah di mana?” “SD Sentosa, Kak.” “Ya udah, bareng aja,” Arjuna meraih tas Nagita yang ada di atas meja. “Yah, nggak ada uang jajan,” Nagita bergumam pelan. “Apa?” “Uang jajan Nagita belum dikasih Bunda.” “Jajan di sekolah nggak ada yang sehat. Nggak usah jajan!” Arjuna kemudian berjalan menuju pintu depan. Ia merogoh saku celananya dan memasukkan uang sepuluh ribuan ke dalam tas tersebut. ☀☀☀ Arjuna memarkirkan motornya di depan gerbang SD Sentosa yang ramai dengan ibu-ibu. Arjuna jadi gerah saat mereka memperhatikan Nagita. Diraihnya pergelangan tangan Nagita dan menerobos kerumunan ibu-ibu itu. Sebagian dari mereka berbisik sambil menunjuk-nunjuk Nagita. Nagita hanya tersenyum dan menyapa anak perempuan yang berpapasan dengannya. Suasana hatinya sedang sangat gembira detik ini, siapa sangka ia akan diantar Arjuna, kakak laki-laki yang selama ini menghindarinya di rumah. “Kamu tunggu di sini bentar.” Arjuna menyuruhnya untuk duduk di bangku panjang dekat koridor. Arjuna keluar masuk ruang guru untuk mencari wali kelas Nagita. Ia udah berkeliling sana sini dan guru yang dicari-carinya itu entah ke mana. Bete juga mutar-mutar di sekolah kayak gini. Dari jauh, ia bisa melihat Nagita duduk sendiri di tengah keramaian murid-murid baru. Sepertinya, Nagita sedang berusaha mendekatkan diri dengan beberapa anak perempuan, tapi mereka menolak dan berlari ketakutan saat kupluk Nagita terlepas dan menampakkan kepalanya yang botak. “Udah dibilang nggak usah sekolah juga.” Arjuna mencibir lalu kembali ke kantor guru. “Wali kelasnya Nagita Falevi yang mana ya?” teriaknya gemas. “Saya!” Seorang wanita berjilbab biru mengangkat tangannya. Arjuna mendesis bete. “Kelasnya yang di mana ya, Bu?” tanya Arjuna sopan. “Nagita Falevi, ya? Hmm… kelas 1 C.” “Oke.” Tanpa mengucapkan terima kasih, Arjuna keluar kantor dan berlari kecil menghampiri Nagita. “Ayok, Kakak anterin ke kelas.” Setibanya di kelas, Arjuna langsung berdiri di depan sambil memegang bahu Nagita. Seisi kelas tentu saja memperhatikan mereka. Tak berapa lama, guru wanita tadi datang, ia berdiri di depan pintu sambil mengamati Arjuna yang sedang berbicara dengan wajah serius. “Adek-adek semuanya, kenalin… ini namanya Nagita Falevi. Pokoknya, siapa yang nggak mau temenan sama dia, malamnya didatengin pocong setiap hari! Ingat ya! Setiap hari didatengin pocong! Jadi, kalau nggak mau didatengin pocong, baik-baik sama Nagita,” Arjuna kemudian berlalu diiringi tatapan bingung bercampur takut dari tiga puluh dua murid SD di depannya. “Hai, Nagita!” seorang anak perempuan menghampiri Nagita, lalu disusul oleh anak lainnya. Mereka menyapa Nagita dan mengajaknya untuk duduk. "Abang kamu punya temen Pocong, ya? Ih, takut!" "Makanya, kita harus temenan sama Nagita biar temannya abang Nagita nggak datengin kita!" “Jagain adek saya ya, Bu. Dia nggak seperti yang lain,” kata Arjuna sambil lalu pada guru itu. Ia tersenyum pada  Arjuna yang kemudian berlari ngebut di koridor. ☀☀☀
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD