bc

My Forever Ex

book_age16+
1.7K
FOLLOW
31.6K
READ
arranged marriage
goodgirl
independent
confident
inspirational
sweet
lighthearted
first love
like
intro-logo
Blurb

Ditinggal sendiri tanpa kejelasan, membuat Gladys Amara tidak lagi percaya adanya cinta.

Janji lelaki itu untuk menikahinya menguap begitu saja, seiring dengan harapan yang hancur berantakan. Setelah hilangnya Evander Yudiswara secara mendadak, satu-satunya hal yang Gladys simpulkan adalah—bahwa lelaki itu tidak pernah mencintainya. Tidak sama sekali.

Berjuang melalui kesendirian hingga bangkit berdiri, Gladys tidak pernah menduga akan menatap manik yang sama lagi ketika sepasang calon pengantin memasuki toko rotinya. Mendapati Evander hadir di pelupuk mata, Gladys tidak mengerti mengapa lelaki itu tidak mengenalnya sama sekali.

Benarkah semua kenangan tentang mereka sudah terhapus waktu? Apakah tidak sedikit pun tersisa di hati lelaki itu cinta untuknya, seperti yang ia jaga untuk Evan selama ini?

My Forever Ex: Akankah kau mengingatku jika kita bicara tentang masa lalu?

chap-preview
Free preview
Chapter 1 - Thunder
"Ditemani derasnya hujan dan kilatan petir, aku memilihmu. Sebab takkan pernah kubiarkan mata ini tertutup meski sebentar, jika kau berpaling dari sisiku." ~Evander Yudiswara. *** Evander tentu tahu segala konsekuensi dari apa yang sedang ia lakukan. Tidak memedulikan hujan yang masih mengguyur deras kota mereka, saat waktu kini mulai menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Deru napas lelaki itu memburu, mengalirkan hawa panas yang amat berbanding terbalik dengan kesejukan yang dibawa air hujan ke bumi. Kedua tangannya terkepal erat, bahkan Evan--sebagaimana dia biasanya dipanggil, mungkin tidak menyadari bahwa kukunya mulai menancap pada kulit. Kemarahan terlihat jelas dari sorot mata lelaki itu yang bahkan menjadi berkedip lebih jarang, selaras dengan tubuhnya yang mencoba menahan gemetar. Bagaimanapun, yang dia hadapi malam ini bukanlah orang sembarangan. "Aku tidak akan melakukan hal itu, Ayah!" Suara Evan menggelegar, memecah keheningan yang sempat menyerupai simfoni tenang di sekitar mereka. Tidak peduli dengan apa yang dia sedang pertaruhkan, Evander tidak merasa ayahnya berhak atas kehidupannya. Tommy Yudiswara berdecih. Percampuran antara kemarahan dan sesuatu yang membuatnya jengah, membuat lelaki paruh baya itu kini menautkan kedua tangan di belakang punggung. Sengaja menghadap pada jendela besar yang menampilkan suasana gelap dan sedikit berkabut akibat hujan di luar sana, lelaki itu bergeming. Tidak pernah ia menduga akan sesulit ini berbicara dengan putranya sendiri. "Apakah perlu Ayah mengulangi apa yang Ayah katakan tadi, Evan?" Balasan dari ayahnya membuat Evander semakin mengepalkan tangan. "Bukankah sudah jelas pilihan yang Ayah berikan padamu? Perempuan itu, atau kehidupanmu?" Evander membisu. Kepalan tangannya semakin mengerat, Sebab ia tidak pernah berpikir akan dihadapkan dengan pilihan seperti ini. Di tengah kekalutan yang menyelimuti sang putra, Tommy Yudiswara berbalik badan. Membiarkan maniknya menatap ke arah Evan kini, dan lelaki paruh baya itu tahu dengan jelas bahwa Evan pastilah kesulitan memilih. Sang pebisnis itu memberi satu seringai meremehkan. "Tunjukkan pada Ayah di sisi mana kau berdiri, Evan," ucap lelaki itu dengan nada tegas. "Setelah dibesarkan dan memikul tanggung jawab sebagai penerus perusahaan raksasa ini, apakah kau masih berniat untuk bermain-main dengan perempuan yang takkan memberikan keuntungan sama sekali bagimu?" "Ayah!" "Tinggalkan dia!" Seakan tidak ingin dibantah, bahkan Tommy juga tidak memberikan kesempatan bagi Evan untuk mengutarakan pendapatnya. "Kini kau hanya punya dua pilihan. Dia, atau kehidupanmu." Evander mencoba menahan gemuruh di dalam sana, yang hampir saja meledak. Kepulangan ayahnya hari ini dari Singapura ternyata membawa sesuatu yang berniat untuk memporak-porandakan hidup Evander, saat lelaki itu berpikir tadinya sang ayah mungkin hanya ingin menyapa. Jika tahu seperti ini yang akan dia hadapi, Evander mungkin akan memilih untuk tidak datang. "Ayah tidak berhak memintaku untuk memilih antara hidupku atau dia." Mencoba menjaga nada suaranya untuk tidak meninggi, Evander setidaknya menyadari bahwa ia masih harus bersikap sopan pada ayahnya sendiri. "Gladys dan aku memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar kebersamaan. Aku mencintainya, Ayah, lebih dari apa pun di dunia ini, aku menginginkannya tetap bersamaku." "Kau tidak tahu itulah kesalahan terbesar yang kau lakukan?" desis Tommy membalas. Raut wajahnya jelas sekali menunjukkan bahwa dia tidak suka, baik pada pembahasan ini maupun pada pembahasan perempuan yang dicintai Evander. "Dia tidak memiliki apa-apa, Evander!" seru Tommy berang. "Hanya seorang gadis yang berasal dari kalangan biasa, tanpa kedudukan, tanpa kekuasaan, dan tanpa pengaruh yang akan membuat hidupmu lebih baik ke depannya. Sampai kapan pun, dia tidak akan pantas, kau mengerti?!" Menekan nada suaranya pada kata 'tidak akan pantas', Tommy Yudiswara telah mendeklarasikan terang-terangan betapa ia tidak akan memberi persetujuan pada kisah cinta Evander yang dianggapnya hal sepele belaka. Hal itu pulalah yang membuat Evander kini semakin menggelengkan kepala, menyadari bahwa ayahnya memang tidak pernah berada di sisinya untuk memberi dukungan. "Aku tidak memerlukan itu!" Evander menegang. "Tidak sama sekali, sebab semua yang Ayah sebutkan tadi belum tentu akan membuat hidupku bahagia! Aku tidak ingin hidup lebih baik dari Ayah, aku hanya ingin bahagia, Yah!" Manik kedua lelaki berbeda usia itu masih saling memandang, dengan kilat amarah yang terpancar jelas dari bola mata Evander. Hening menyelimuti mereka untuk beberapa saat, ketika kini Tommy melangkah untuk memperpendek jarak antara dia dan sang putra. Berhenti tepat tak jauh dari tubuh Evander yang masih berdiri tegak, lelaki itu menarik napas dalam-dalam. "Kau punya sekali lagi kesempatan untuk memilih," kata Tommy setengah berbisik. "Pikirkan baik-baik sebelum menentukan pilihanmu." "Aku tak bisa!" Evander masih menegang sempurna, berusaha menjaga agar gemuruh di dalam dirinya tidak keluar dan membuatnya bertindak bodoh di depan sang ayah. "Kau tidak bisa meninggalkan dia?" Tommy memperjelas. "Gadis sialan itu?!" Evander benar-benar ingin meledak. "Gladys bukan gadis seperti itu, Ayah!" seru Evander. "Aku mencintainya! Dan akan kupertaruhkan apa pun untuk menjaganya, Ayah mengerti?!" Tidak, ini takkan berhasil. Dua kepala Yudiswara yang kini bertaruh takkan pernah mencapai kesepakatan jika terus begini. Dan mengingat bagaimana kedua lelaki itu teguh pendirian, saatnya Evan menyudahi ini semua. "Evander!" "Jika Ayah memaksaku untuk memilih, maka aku akan memilihnya!" Evander tahu, ia telah mempertaruhkan semuanya. Hidupnya, dan segala kemewahan yang ia miliki demi perempuan itu. Manik Tommy menyipit, merasa sedikit terkejut bahwa putranya akan dengan lantang memilih seseorang yang bahkan tak pernah ia anggap sama sekali. "Kau akan menyesali ini, Evander!" Tommy berseru hingga suaranya memenuhi ruang kerja itu. "Cepat atau lambat, kau akan merengek dan kembali pada Ayah!" Evander menggeleng tegas. Tidak, sebab dia telah benar-benar memilih. Tak ada seseorang pun di muka bumi ini yang berhak menghakimi cintanya pada Gladys, dan meski harus kehilangan semuanya, Evander akan mempertaruhkan hal itu asalkan dia bisa tetap bersama Gladys. "Tidak akan," desis Evander lantang. "Ayah yang memaksaku untuk mengambil keputusan ini, dan aku takkan sama sekali mengubahnya hingga kapan pun!" "Kau akan menyesal!" "Tidak, Ayah." Kali ini Evander menarik sudut bibirnya guna membentuk sebaris senyum. "Tidak akan pernah." "Baiklah jika itu keinginanmu," balas Tommy tak mau kalah. "Tinggalkan semua yang kau miliki, dan jangan pernah berharap untuk kembali lagi ke sini!" Jika Tommy beranggapan kalimat ancaman itu akan membuat Evander mengubah pendiriannya, maka lelaki itu harus kecewa sebab hal itu tidak sama sekali memengaruhi apa-apa. Mengendurkan cengkraman tangannya di samping tubuh, Evander kini merogoh pada saku belakang celana jeans branded yang ia kenakan. Mengeluarkan serenteng kunci yang merupakan kunci dari tiga mobil pribadinya, lelaki itu bergerak untuk menaruh kunci-kunci itu di atas meja. "Akan kukembalikan apa yang bukan menjadi milikku," desis Evander tanpa sedikit pun gentar. Di depan sang ayah yang masih menatapnya lekat, Evander sudah menentukan pilihan. Tak hanya menyerahkan kembali mobil sebagai kendaraan yang ia gunakan selama ini, kini Evander merogoh pada saku depan celananya. Mengeluarkan sebuah dompet hitam yang juga berlogo brand ternama, lelaki itu mencabut beberapa kartu sakti yang menjadi pegangannya selama ini. Gerak mata Tommy mengikuti persis saat sang putra mengeluarkan kartu-kartu itu dan meletakkannya ke atas meja, hingga tidak ada satu pun yang tersisa di slot dompetnya kini. Bagaimana lelaki muda itu mengembalikan semua fasilitas yang selama ini dia gunakan, sungguh membuat Tommy merasa hatinya mulai tercoreng. Sebab dirinya, ternyata tak lebih berharga dari perempuan yang dipilih Evander atas semua kehidupannya. "Kau masih boleh berubah pikiran, Evan." "Terima kasih untuk semuanya, Ayah," Evander membalas dengan satu bisikan. "Tetap sehat hingga kapan pun." Tidak memberikan ruang bagi sang ayah untuk membalas kalimatnya terakhir kali, Evander berbalik badan untuk melangkah menjauh dari sana. Dengan gemuruh dan badai yang menerjang hatinya, lelaki itu bertekad takkan pernah berbalik. Gladys adalah hadiah paling indah yang pernah dititipkan semesta untuknya, dan lelaki itu tentu tahu apa yang telah ia lakukan. Tangan kokoh Evander yang memiliki ukiran tato nama Gladys di pangkal urat nadinya mengulur untuk kini menggenggam gagang pintu, saat lelaki itu tampak mengambil jeda beberapa detik. Memberikan harapan bagi Tommy agar sang putra berbalik di detik terakhir, namun yang terdengar kemudian adalah suara pintu yang tertarik nyaring. Evander melangkah pergi. Menutup pintu besar berwarna kecokelatan itu, sang pewaris jaringan hotel Yudiswara yang terkenal telah meninggalkan semua yang dia punya di belakang sana. "Aku akan selalu memilihmu, Glad," bisiknya pada diri sendiri, saat kini langkah kakinya berirama menuruni tangga. Bahkan Evan tidak lagi berbalik menuju kamar untuk membawa satu barang pun. "Mudah untukku melepaskan semua yang aku miliki, Glad," gumam Evander saat langkahnya mencapai lantai pertama kediaman Yudiswara yang megah. "Namun melepaskanmu hanya akan membuatku remuk redam, dan aku takkan sanggup menghadapi itu semua." Tidak sama sekali memelan, Evander terus memacu langkah. Bahkan lelaki itu tidak sama sekali melirik pada tiga mobil sport berbeda warna dan seri yang terparkir gagah di parkiran luar. Berbelok untuk menuju arah pagar tinggi nan menjulang di depan sana, Evander tidak menghiraukan tetes hujan yang kini menerpa tubuhnya. Tak butuh waktu lama pastinya untuk membuat baju dan tubuh lelaki muda itu basah kuyup. Sapaan dan panggilan dari penjaga pos depan tidak sama sekali dihiraukan oleh Evander, yang kini hanya bisa melongo sebab tak pernah melihat tuan muda mereka berjalan melewati gerbang saat mobilnya masih terparkir gagah. Di tengah hujan deras dan petir yang menyambar, Evander telah menentukan jalan kehidupannya. Cukup lama ia berdiri menunggu sebuah taksi yang melintas, sebelum kemudian lelaki itu membungkuk untuk memasuki taksi tersebut. Memberitahukan tujuannya pada sang supir, Evander menikmati sensasi dingin yang kini menerpa seluruh tubuh. "Aku datang, Glad," gumam lelaki itu dalam hati. Pandangannya lurus ke depan, mendapati kabut dan kegelapan masih menjadi temannya malam itu. "Untukmu, aku pasti datang, Sayang." ~Bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook