1. ROLLER COASTER

1765 Words
“Jadi saya di terima pak?” Chesa bertanya kembali dengan wajah tidak percaya. Alvin mengangguk, “Ini sudah yang ke tiga kali kamu bertanya. Masih belum percaya juga?” Chesa menggeleng cepat, “Saya percaya pak, percaya banget,” ucapnya sungguh. “Ya sudah, mulai besok kamu sudah bisa bekerja. Masih ingat dengan yang saya bilang tadi?” “Masih. Saya mulai bekerja jam 8 pagi lalu pulang jam 6 sore, jangan pakai pakaian yang seksi, jangan banyak bertanya jika bukan hal penting dan saya harus diam kalau Pak Dafandra marah atau kesal. Begitu kan, Pak?” “Satu lagi, kopi kesukaan Pak Dafandra.” “Ah, iya. Satu sendok teh kopi dengan setengah sendok teh gula aren bubuk airnya jangan terlalu panas. Benar kan, Pak?” Alvin tersenyum geli mendengar kalimat terakhir yang selalu di ulang, “Iya benar. Sekarang kamu bisa pulang dan semangat untuk besok.” Chesa bangun dari duduknya lalu kemudian mengulurkan tangannya, “Sekali lagi terima kasih ya, Pak.” Alvin membalas, “Sama-sama.” Senyum semringah terpancar dari wajah Chesa karena di terima bekerja di Big D Departement Store. Perusahaan retail yang tersebar di penjuru negeri bahkan sudah merambah di negara bagian Asia. Posisi Chesa yaitu sebagai sekretaris CEO bernama Dafandra Dewanto berusia 30 tahun perusahaan Big D. *** “Syukurlah kalau lo di terima di sana, Ches. Jadi sekarang lo resmi meninggalkan status pengangguran.” Sita ikut bahagia mendengar sahabat baiknya menceritakan kabar tentang pekerjaan barunya. Setelah hampir tiga bulan menganggur setelah lulus kuliah. Meskipun Chesa belum lama lulus kuliah, tapi waktu tiga bulan sudah membuatnya uring-uringan. Mendapat pekerjaan adalah prioritas utama untuk membantu perekonomian keluarganya. “Makasih ya, Sit. Nah, sekarang kamu bisa pesan makanan apa aja, biar aku yang traktir.” “Yakin nih? Kan lo baru kerja belum juga gajian,” goda Sita. Chesa tersenyum lebar, “Yakin, aku masih ada sisa uang kok. Dulu juga kamu traktir aku waktu gajian pertama. Anggap aja ini syukuran.” “Okee, gue bisa makan puas hari ini,” ucap Sita dengan tergelak bahagia. Setelah pesanan keduanya datang, Chesa dan Sita menikmati menu yang sudah di pilih. Chesa dan Sita berteman sejak awal masuk kuliah karena jurusan keduanya sama. Sebenarnya ada satu sahabat mereka lagi bernama Aiden, tapi sejak bekerja pria itu sangat sulit untuk di ajak bertemu. “Gue kangen deh sama Aiden, udah lama nggak ketemu sama itu anak,” keluh Sita. “Iya, kayaknya pekerjaan dia benar-benar sibuk. Tadi aja aku telpon nggak di angkat.” “Kita nanya dia kerja apa dan di mana malah nggak pernah di kasih tahu.” “Tapi dia nggak kerja yang aneh-aneh kan?” tiba-tiba Chesa si gadis polos berpikir negatif tentang pekerjaan Aiden. “Ya nggak lah. Orang pintar kayak Aiden ngelamar di mana aja pasti di terima dengan mudah. Belum lagi mukanya ganteng bin licin, siapa yang nggak kesemsem,” sahut Sita. Diantara ketiganya, Aiden lah yang memiliki kemampuan yang mumpuni. Pintar tampan dan sangat baik. Walaupun terkadang mampu membuat darah Sita naik karena sikapnya yang sesuka hati. Namun, persahabatan ketiganya tidak perlu diragukan lagi, satu mengalami kesulitan maka yang lain juga ikut merasakan. “Salah satunya kamu kan?” tanya Chesa dengan nada menggoda. Pipi Sita merona merah, “Nggak, Aiden bukan tipe gue Ches.” “Iya deh aku percaya. Sampai kapan pun jawaban kamu itu terus.” “Apaan sih, lo senang banget godain gue.” Sita mendengus kesal. Cheas menjawil hidung Sita, “Ih jangan ngambek atuh.” “Makanya jangan mikir gitu lagi.” “Iya maaf, kan bercanda. Canda sayang canda” goda Chesa sambil menjawil pipi mulus Sita. Sita menghela napas, “Minggu depan kita ajakin Aiden ketemu yuk. Kalau hari minggu masih sibuk juga berarti ada yang nggak beres sama itu anak.” Chesa mengangguk, “Boleh, kalau bisa kita cari saja ke kosnya. Siapa tahu kita nemuin jejak Aiden sama cewek.” “Ah iya. Jangan-jangan selama ini sibuk karena dia punya pacar. Asem banget kalau beneran.” “Biar aja lah. Selama ini dia nolak cewek mulu, di sangka homo kan karena bergaulnya sama kita aja.” Sita tergelak, “Tiap gue inget gimana Mia nabok Aiden terus teriak homo, gue nggak bisa nahan tawa.” “Tapi Aiden jadi nyium aku gara-gara mau buktiin dia bukan homo.” “Ya elah kan cuma cium pipi, nggak bikin perawan lo hilang.” “Tetap aja pipi aku yang suci jadi ternoda.” Sita tidak bisa menahan tawa melihat wajah polos Chesa saat mengenang masa-masa kuliah mereka. *** “Selamat pagi Pak Alvin,” sapa Chesa begitu melihat Alvin datang. Alvin tersenyum kepada Chesa, “Pagi juga Chesa. Saya tidak menyangka kamu datang sepagi ini.” “Bapak juga datang sebelum pukul delapan.” “Sudah jadi kebiasaan saya. Kalau begitu, saya mau masuk ke ruangan Pak Dafandra dulu ya.” Chesa melanjutkan aktivitasnya yaitu mempelajari apa saja yang menjadi tugasnya. Ia sudah melakukan itu sejak kemarin, tapi ia ingin melakukan kembali agar tidak lupa. Belum lagi, Chesa sangat tegang karena akan bertemu dengan CEO untuk pertama kalinya. Chesa sedang melihat catatan agenda apa saja yang akan di lakukan oleh Dafandra. Mulai dari bertemu dengan bagian keuangan, lalu meeting bersama klien dari Australia di Hotel Santika dan beberapa kegiatan lainnya lagi. Sebenarnya jadwal ini sudah di ketahui oleh Alvin tapi sekretaris pribadi Dafandra melimpahkan itu kepadanya. Alvin hanya mengurus hal yang lebih pribadi dan menyangkut hal yang tidak bisa di ketahui oleh orang lain. Entah apa yang di maksud oleh Alvin, Chesa tidak ingin menanyakan lebih jauh. Yang terpenting apa yang jadi tugasnya bisa di lakukan dengan baik. Tidak lama terdengar suara derap langkah membuat Chesa mengalihkan pandangan yang awalnya fokus pada komputer. Sosok pria dengan pakaian rapi berjalan ke arahnya. Chesa segera berdiri dengan badan sedikit membungkuk untuk memberi hormat pada pria yang diyakini sebagai CEO perusahaan ini. “Selamat pagi Pak Dafandra,” sapa Chesa dengan sopan. Dafandra tidak menjawab, ia langsung masuk ke ruangannya yang sebelumnya Alvin sudah masuk lebih dulu. Chesa mendengus kesal karena pria itu memberi kesan tidak bersahabat kepadanya. Ia harus menyiapkan mental untuk menghadapi Dafandra jika rumor tentang pria itu benar. “Sabar, Ches. Kamu harus kuat dan bertahan walaupun dari awal sikapnya nggak ada ramah-ramahnya,” gumam Chesa dalam hati, menguatkan dirinya sendiri. Chesa kembali duduk dan melanjutkan pekerjaan sebelumnya. Tiba-tiba pintu ruangan Dafandra terbuka, menampakkan Alvin yang keluar. “Chesa, tolong buatkan kopi untuk Pak Dafandra. Setelah itu saya akan memperkenalkan kamu dengan beliau,” ucap Alvin. “Baik, Pak. Sekarang saya buatkan,” jawab Chesa. Dengan cekatan Chesa membuat kopi untuk Dafandra. Ia sangat hati-hati karena ini adalah kopi pertama yang ia buat untuk atasannya. Sebisa mungkin menakar dengan benar agar pria itu tidak merasa kecewa. Lebih tepatnya Chesa tidak mau mendapat amukan karena kopi yang di buat tidak sesuai dengan selera Dafandra. Setelah selesai, Chesa membawa nampan kecil yang di atasnya terdapat cangkir kopi untuk Dafa. Sebelum masuk, Chesa menarik napas dan menghembuskan perlahan. “Oke, kamu bisa Chesa. Semangat” ucapnya dalam hati. Chesa mengetuk pintu lalu membuka perlahan. Ragu-ragu ia berjalan masuk karena mendapat tatapan tajam dari Dafanda. Sedangkan Alvin berdiri di sebelah Dafa dengan wajah berbanding terbalik dengan atasannya. “Ini kopinya, Pak,” ucap Chesa sambil meletakkan cangkir di meja kerja Dafa dengan hati-hati. “Silakan duduk” pinta Dafa dingin. “Al, kau bisa tinggalkan kami berdua?” tanya Dafa pada Alvin. Alvin mengangguk patuh, “Tentu.” Alvin keluar dari ruangan Dafa. Dafa menatap Chesa yang masih berdiri kaku. Ia melihat penampilan gadis itu yang jauh di berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Menggunakan kemeja berwarna biru muda dengan luaran blazer hitam dan celana kain berwarna hitam. Polos dan namun tidak terlalu buruk. “Kamu mau terus berdiri di situ? Saya sudah menyuruh kamu untuk duduk, kan?” “Maaf, Pak” jawab Chesa pelan, lalu mendaratkan bokongnya di kursi yang ada di depan meja kerja Dafa. Dafa merubah posisi duduknya yang tadi bersandar, lalu duduk dengan tegak dengan badan sedikit condong ke depan, “Siapa nama kamu?” “Nama saya Chesa Adelia, Pak” “Ceritakan lebih lengkap tentang dirimu?” titah Dafa. Padahal ia sudah melihat CV milik Chesa yang diberikan oleh Alvin. Namun ia hanya ingin berbasa basi dengan sekretaris barunya agar ia tahu bagaimana sikap Chesa. “Nama Chesa Adelia, biasa di panggil Chesa. Umur 23 tahun dan saya baru lulus kuliah jurusan Akuntansi.” “Kenapa tidak bekerja sesuai dengan jurusanmu?” “Saya sudah mencoba mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahlian saya, namun sampai sekarang saya belum mendapat panggilan kerja.” “Lalu apa yang bisa kamu berikan kepada saya?” Mata Chesa membulat saat mendengar pertanyaan Dafa. Apa maksud dari ucapan pria ini? Hal apa yang ingin Dafa dapatkan dari dirinya. “Kenapa diam?” “Maaf, Pak. Maksud pertanyaan Bapak apa?” “Kamu jangan salah paham dengan pertanyaan saya. Maksud saya adalah hal apa yang akan kamu lakukan agar saya percaya kalau kamu bisa melakukan pekerjaan sebagai sekretaris saya?” Chesa menghembuskan napas lega, “Saya akan melakukan apapun yang memang menjadi tugas saya. Saya juga siap menerima perintah dari Bapak dan siap menjaga rahasia perusahaan.” “Kamu yakin?” Chesa mengangguk, “Saya sangat yakin. Saya akan bekerja keras karena ini adalah pekerjaan yang penting bagi saya.” “Kenapa?” “Saya ingin membantu orang tua saya membayar biaya pendidikan adik saya, Pak” “Baiklah kalau begitu, saya harap kamu tidak hanya sekedar membual. Buktikan ucapanmu itu, Chesa," ucap Dafa dengan nada sedikit sinis. “Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi.” Chesa bangun dari duduknya. “Tunggu..” “Kenapa, Pak?” Dafa mengangkat cangkir yang berisi kopi buatan Chesa, lalu menyesapnya perlahan. Raut wajahnya berubah kecut, “Apa Alvin tidak memberi tahu takaran kopi kesukaan saya?” Chesa menelan ludahnya susah payah karena takut melihat ekspresi Dafa setelah menyicipi kopi buatannya, “Pak Alvin sudah memberi tahu saya, Pak. Maaf, saya akan buatkan lagi kalau rasanya tidak enak.” “Apa saya bilang kalau kopi buatan kamu tidak enak?” Chesa nampak bingung, “Bapak tidak bilang, tapi raut wajah Bapak nampak tidak suka,” jawabnya ragu. Dafa kembali menyesapnya, “Tidak buruk, hanya terlalu manis. Jadi lain kali kamu harus menakar gulanya dengan tepat.” Hampir saja nyawanya keluar dari tubuh karena takut, akhirnya Chesa menghela napas lega. Bagaimana bisa di hari pertama bertemu atasannya, perasaan Chesa dibuat tidak karuan. Seperti menaiki roller coaster, mengerikan namun begitu menantang. “Untuk selanjutnya saya akan buat sesuai dengan yang Bapak minta,” ucap Chesa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD