5. KECANTIKAN ABADI

1243 Words
“Akhirnya datang juga tuan muda kita yang ganteng dan sibuknya ngalahin pejabat negara” sambutan Sita begitu Aiden mendaratkan bokongnya di kursi yang di apit oleh Chesa dan Sita. Aiden tersenyum mendapat sambutan yang lebih tepatnya sindiran dari sahabatnya. Berbeda dengan Sita, Chesa justru terlihat senang karena bisa bertemu Aiden setelah hampir satu bulan tidak berjumpa. “Sory nunggu lama ya” “Nggak kok. Kita juga baru sampai” jawab Chesa. “Gue sama Chesa udah pesan makanan, lo mau pesan apa?” tanya Sita. “Samain aja sama kalian” “Biar aku yang pesenin ya” Chesa meninggalkan meja tempat duduk untuk menambah pesanan buat Aiden. Chesa selalu menjadi malaikat di antara Sita dan Aiden. “Lo kok sibuk banget sih? Nggak kangen sama gue dan Chesa?” tanya Sita. “Kangenlah tapi mau gimana lagi. Gue sibuk sama kerjaan dan ini kerjaan pertama gue jadi harus dilakukan dengan baik” “Aku kira karena kamu punya pacar makanya sibuk” celetuk Chesa begitu kembali dari memesan makanan untuk Aiden. “Kalian kayak nggak kenal gue kayak gimana. Mana mungkin punya pacar sembunyi dari kalian” Aiden terkekeh geli mengetahui sahabatnya berpikir sejauh itu. “Kali aja lo berubah” Aiden menangkup pipi Sita dengan kedua tangannya lalu menekannya karena gemas, “Lo pikirannya negatif mulu sama gue” Sita segera melepas tangan Aiden dari pipinya, “Tangan lo bau jangan nempel-nempel di kulit gue deh” ucapnya ketus. Chesa tersenyum geli melihat tingkah dua sahabatnya. Apalagi saat melihat wajah Sita bersemu merah karena perlakuan Aiden. Chesa yakin sebenarnya Sita ada perasaan dengan Aiden hanya saja Sita terlalu gengsi mengakui hal tersebut. Aiden mendengus kesal, “Enak aja tangan wangi begini di bilang bau. Hidung lo tuh ada tainya makanya bau” Sita mencubit Aiden, “Lo lemes banget sih kayak cewek” “Lo juga tenaganya kayak cowok, cubitannya nyakitin banget” “Kalian baru ketemu udah kayak tikus sama kucing, nggak pernah akur” Chesa hanya bisa geleng-geleng melihat adegan di hadapannya. “Beda emang sama Chesa, dia selalu bikin gue nyaman. Nggak pernah di marahin kayak sama lo” “Ih jangan bawa-bawa aku deh” Chesa tidak ingin terlibat dalam perdebatan dua makhluk di hadapannya. “Alah, palingan kalau ada masalah lo nyari gue” sindir Sita dengan pedas. “Udah deh jangan berantem mulu. Aiden, kenapa sih kamu nggak pernah mau cerita kerja di mana? Aku aja langsung cerita sama kamu, kenapa kamu malah sembunyi-sembunyi?” “Iya nih, sok misterius” sambar Sita. Aiden menghela napas, “Gue nggak ada niat nyembunyiin apapun dari kalian. Tapi nanti kalau posisi gue udah bagus, gue akan cerita dimana dan apa pekerjaan gue” “Tapi kamu nggak kerja yang aneh-aneh kan?” “Aneh-aneh gimana maksud lo?” “Jual diri maksudnya” celetuk Sita. Chesa mendelik, “Sita, omongan kamu itu nggak bisa di saring?” Sita hanya menampakkan cengiran nakal, “Canda kok” “Lo kira gue gigolo masa gue dikira jual diri. Otak lo benerin deh, Sit” Aiden kesal dengan Sita yang selalu ngomong ceplas ceplos. “Maaf kali, lo makin sensi aja lama nggak ketemu” Sita kembali menggoda Aiden. Melihat pria itu manyun membuat Sita merasa gemas. Aiden tidak menanggapi ucapan Sita. Kini fokusnya teralih pada Chesa yang duduk di sebelahnya, “Lo betah kerja di sana?” “Betah kok, emang kenapa? Apa muka aku kelihatan tertekan?” “Nggak gitu sih, tapi lo nggak pernah di marahi sama atasan lo?” Chesa menggeleng, “Nggak Aiden, dia baik kok. Walaupun agak dingin dan ketus. tapi sejauh ini aku merasa baik-baik saja” “Kenapa sih kok lo kayak khawatir banget? Perasaan waktu gue pertama kerja, lo nggak sekhawatir ini” Sita merasa heran dengan sikap Aiden. “Gue juga khawatir kok tapi bandingin lo sama Chesa, lo itu tangguh nggak lembek” “Jadi menurut kamu aku ini lembek?” protes Chesa tidak terima di anggap lemah oleh Aiden. Aiden menepuk keningnya sendiri, entah kenapa dua wanita ini selalu mengambil kesimpulan saat dirinya belum selesai mengutarakan pendapat. “Gue nggak bilang lo lembek, tapi lo ini perasa banget. Jadi apa-apa yang nggak berjalan sesuai rencana lo akan down terus lo bakalan nangis, ngerasa terpuruk” Chesa mengerucutkan bibirnya, “Iya aku emang begitu tapi kalau urusan pekerjaan, kayaknya aku harus tahan banting. Aku nggak mau kehilangan pekerjaan ini, Aiden karena ini berarti buat aku dan keluargaku” “Makanya gue khawatir sama lo. Tapi karena lo bilang semuanya baik-baik aja, ya gue lega jadinya” “Benar juga yang di bilang Aiden, kita tahu gimana sifat lo selama ini. Pokoknya jangan nyerah gimana pun sulitnya. Kalau ada masalah, lo harus cerita ke gue atau ke Aiden” Seketika Chesa tidak bisa menahan air matanya karena ucapan Aiden dan Sita. Dua sahabatnya ini begitu memikirkannya, begitu sayang dan peduli. Walaupun mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tapi tidak pernah melupakan persahabatan mereka. “Kalian baik banget. Nggak tahu deh gimana nasibku kalau nggak ada kalian berdua, makasih ya” ucap Chesa tulus. “Udah deh jangan drama nangis, nanti cantik lo ilang” goda Aiden. “Ini kecantikan abadi nggak akan luntur apalagi musnah karena air mata” Chesa tidak kalah sombong. Sita berdecak, “Ck, terlalu percaya diri sekali anda ya” *** Chesa masuk ke ruangan Dafa untuk mengantar berkas yang perlu di periksa dan di tanda tangani. Serta ia ingin menyampaikan jadwal apa yang menanti Dafa hari ini. “Ini berkas yang akan di ambil sebelum jam makan siang dan yang satunya harus di periksa sebelum di kembalikan ke divisi marketing” ucap Chesa sambil meletakkan berkas yang di maksud di atas meja. “Hari ini setelah jam makan siang, Bapak ada meeting dengan dengan divisi keuangan dan setelah itu ada pertemuan dengan kepala cabang yang ada di Bandung” karena Alvin ijin cuti selama dua minggu karena orang tuanya sakit, jadi Chesa yang menyampaikan semua jadwal kepada Dafa. “Sepadat itu pekerjaan saya?” gumamanya pelan. “Maksud Bapak?” Chesa tidak percaya baru kali ini mendengar Dafa mengeluh dengan pekerjaannya. Dafa menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, lalu menghembuskan napas lemah. Ia menatap Chesa yang berdiri di sebelahnya, “Bukan apa-apa. Kamu bisa keluar sekarang, kalau ini sudah selesai akan saya panggil” “Baik, Pak” Chesa berbalik, namun ia ingat satu hal, “Pak Dafa nanti mau makan siang apa?” Dafa memandang Chesa, “Saya belum memikirkan itu jadi lihat nanti saja” “Baik, Pak. Saya permisi dulu” Chesa meninggalkan ruangan Dafa dengan wajah bingung. Sejak pagi sikap Dafa tidak seperti biasanya. Saat ia membawakan kopi, Dafa juga tidak memberi tanggapan apa-apa. Hampir sebulan ia kerja di sini, baru kali ini atasannya begitu kalem. “Pak Dafa kenapa ya, kok tumben aneh begitu. Lebih enak lihat dia cerewet banyak maunya daripada lihat mukanya kusut kayak jemuran baru kering” batin Chesa. Chesa kembali melanjutkan pekerjaan, menyiapkan perlengkapan atau materi yang akan di gunakan dalam meeting Dafa bersama dengan divisi keuangan dan cabang. Satu jam berlalu, telepon yang ada di meja kerja Chesa berdering, Chesa segera menjawab, “Iya, Pak Dafa?” jawabnya. “Chesa tolong pindah jam meeting dengan divisi keuangan menjadi sebelum jam makan siang. Dan berkas dari divisi marketing sudah selesai silakan kamu ambil” “Baik, Pak. Saya akan hubungi divisi keuangan dan marketing” jawab Chesa dengan tegas. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD