EPISODE 2

2869 Words
MY LOVELY GHOST BAB 2   Zelena membuka matanya, gadis itu terjaga di malam yang larut ini. Udara dingin masuk melalui jendela yang belum ia tutup, angin yang berhembus cukup kencang itu mengibarkan gorden putih yang terpasang di sana. Gadis itu mengusap matanya, berusaha untuk menyadarkan diri, ia lalu melangkah dan menutup jendela itu dengan cepat. Ketika Zelena hendak mengunci jendelanya, ia merasakan hawa dingin berhembus melewati tengkuknya. Meskipun ini bukan hal baru bagi Zelena, tapi tetap saja ia tak bisa mengatakan jika dirinya tidak pernah merasa takut. Terlebih lagi jika ia adalah sosok dengan wujud yang cukup menakutkan. Sesungguhnya, Zelena tidak pernah siap untuk menerima kelebihan itu. Gadis itu tidak berani berbalik, sudut matanya menangkap sosok bergaun panjang yang berdiri di sana. Zelena menutup kedua matanya, napasnya mulai terdengar tak beraturan. “Tidak! Jangan lagi!” Katanya dengan suara yang cukup keras. “Zelena...” Zelena terkejut, saat ia mendengar suara sosok itu, yang bahkan memanggil namanya. Suara seorang wanita, yang kedengarannya sedang menangis. Gadis itu memberanikan diri, perlahan ia menoleh ke belakang, dan melihat seorang wanita dengan wujud normal di sudut kamarnya itu. Untuk sesaat Zelena menarik napas lega, ia beruntung karena hantu wanita itu tidaklah menakutkan. Sosok itu justru terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin yang dikenakannya. “Siapa? Kenapa kau datang padaku?” Zelena menatap hantu wanita itu dengan mata membulat, ia berusaha menyembunyikan semua rasa takutnya itu. “Kau bisa melihatku?” Hantu wanita itu tersenyum, kemudian mulai mendekati Zelena. “Tunggu! Tetaplah di tempatmu!” Tegur Zelena, dan bergerak mundur dengan sisa – sisa tenaga yang ia miliki. “Aku senang, karena akhirnya ada seseorang yang bisa melihatku. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Zelena.” Zelena mengusap tengkuknya, sekalipun hantu itu adalah hantu yang cantik, tapi tetap saja suaranya terdengar sedikit menakutkan. “Apa yang ingin kau katakan?” Zelena merapatkan tubuhnya di dinding, ia melihat jam yang tergantung di sana. 4 jam lagi ia harus segera pergi untuk melihat bangunan – bangunan kuno di kota ini. Karena pagi adalah waktu di mana kota belum terlalu ramai. Tapi kedatangan hantu itu, tentu saja membuat jam tidurnya terganggu. “Bisakah kau menyampaikan pesan kepada suamiku? Katakan padanya jangan lagi terpuruk di dalam kesedihan. Izinkan aku pergi dengan tenang. Dan, sampaikan padanya jika aku sangat mencintainya.” Ucap hantu itu dengan sedih. “Apa? Astaga, ke mana aku harus mencari suamimu itu? Aku bahkan baru semalam tiba di negara ini, dan kau sudah membuatku kesulitan.” Zelena tampak jengkel mendengar permintaan hantu itu. Tapi lagi – lagi hantu itu menangis, seakan menunjukkan kesedihan yang teramat dalam. “Aku mohon padamu, Zelena, sekali saja. Setelah itu aku akan pergi dan kau tidak akan melihatku lagi.” Setelah ia mengatakan itu, aku melihat selembar kertas melayang di udara, juga sebuah pena yang menulis di atasnya. Sungguh, pemandangan itu membuat Zelena tak habis pikir. Ia diam sampai saat kertas itu jatuh tepat di bawah kakinya. Zelena mengambil kertas itu, kertas yang menunjukkan ke mana ia harus pergi. “Kau akan bertemu dengannya di sana, berikan saja kertas itu, ia akan mengenali tulisan tanganku.” Pesan hantu itu, yang kemudian pergi melewati dinding kamar Zelena dan menghilang begitu saja. Zelena menatap tulisan di atas kertas itu, ia kemudian tersenyum kecut, “Baru satu hari Zelena, dan mereka sudah merepotkanmu. Kau cukup terkenal rupanya, Zelena, sampai hantu Spanyol pun mengenalimu.” Ucap Zelena dan kembali naik ke atas tempat tidur untuk kembali melanjutkan mimpinya.   ..................   Zelena meraba – rada ke atas nakas, mematikan alarm yang dirasa terlalu cepat berdering. Gadis itu berusaha bangun dan mengeliat untuk membuang rasa kantuk yang masih bergelayut di kelopak matanya. “Ah, sepertinya aku tidak tidur semalam.” Zelena menatap dinding kamarnya, tempat di mana hantu wanita itu menghilang semalam. Gadis itu memijit bahunya yang terasa berat, semalam ia telah mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara dengan hantu itu, dan semua terasa sangat melelahkan. Zelena berdiri, ia meraih handuk dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Kamar mandi itu berada di luar kamar tidurnya, berdekatan dengan dapur yang tidak terlalu luas. “Aku kira di sini aku akan aman, tapi ternyata sama saja. Haruskah aku menemukan seseorang yang bisa membantuku agar terlepas dari semua hal itu?” Gumam Zelena, sembari membiarkan air hangat dari shower itu membasahi tubuhnya.   Tak butuh waktu lama bagi Zelena untuk mematut diri, wajahnya yang cantik hanya membutuhkan sedikit riasan untuk membuatnya semakin mempesona. Hari ini, dia akan pergi untuk melihat castle di Casares, setelah itu ia akan bertemu dengan seorang pemilik perusahaan untuk menandatangani kontrak atas sebuah proyek besar yang akan dibangun. Zelena berhasil mengalahkan beberapa orang arsitek untuk proyek itu. Tentu saja ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi Zelena. Ketika Zelena hendak berangkat, pandangannya jatuh kepada kertas itu. Gadis itu melengguh, meraih kertasnya dan menyelipkan kertas kecil itu ke dalam saku celana jeansnya. “Baiklah, aku akan pergi setelah semua urusanku selesai hari ini. Aku bahkan tidak tahu di mana tempat itu.” Zelena yang merasa kesal, akhirnya memilih untuk turun dan memesan sebuah taxi. “Anda ingin ke mana, Nona?” Tanya sopir taxi itu dengan ramah. “Alcazar” Sahut Zelena, dan mengulaskan senyuman untuk membalas keramahan laki – laki itu. Zelena terlihat sangat senang, ia begitu menikmati perjalanan pertamanya di Casares. Bangunan – bangunan bercat putih tertata dengan begitu indah, menonjolkan kesan yang khas. Zelena tiba di Alcazar, setelah 20 menit perjalanannya menggunakan taxi itu. Hari masih pagi, matahari bersinar hangat menerpa wajah Zelena yang kemerahan. Gadis itu tersenyum lebar, membentangkan kedua tangannya untuk menyambut Castle pertama yang ia kunjungi. Sebuah pencapaian yang cukup memuaskan bagi Zelena.  Ketika Zelena hendak melangkah untuk mengunjungi Castle itu, pandangannya jatuh kepada sosok laki – laki yang pernah ia lihat sebelumnya. Lelaki bertopi hitam itu sedang melukis, bukan melukis Castle tapi melukis gadis yang berdiri di dekat Castle dengan gaya yang sensual. Gadis bergaun merah selutut, dengan rambut ikal hingga ke pinggang. Gadis itu memperlihatkan bagian tubuhnya yang menggoda. Zelena mengernyit, mencoba mengingat kembali di mana ia pernah melihat laki – laki itu. “Ah! Benar, dia adalah laki – laki yang kujumpai di dalam pesawat. Astaga, aku tak menyangka akan melihatnya di sini.” Zelena tersenyum tipis, “Pelukis? Jadi itu yang dia lukis? Kukira dia akan melukis gedung atau apa, ternyata perempuan!” Gadis itu berjalan melewati lelaki itu, dan kemudian masuk ke area Castle untuk membeli tiket. Castle ini dibuka pagi – pagi sekali, karena biasanya para pengunjung ingin menikmati matahari terbit dari bagian atas Castle, sekalipun mereka tidak diizinkan untuk mengambil gambar atau berfoto di dalam sana. Setelah mendapatkan tiket untuk dirinya, Zelena melangkah masuk ke dalam, ia menatap seluruh bangunan di dalam Castle dengan rasa kagum yang luar biasa. Perlahan ia menyentuh dinding Castle itu, meraba bebatuan yang begitu halus dengan ujung jari jemarinya. “Luar biasa, di sinikah tempat raja tinggal dulu?” Tanya Zelena kepada dirinya sendiri. “Benar, Castle ini adalah kediaman utama raja Castile. Castle ini menjadi benteng pertahanan di masa perang kala itu.” Zelena menoleh seketika, dan ia melihat lelaki itu berdiri tak jauh darinya sembari mengulaskan senyum yang terlihat mempesona. “Kau?” Zelena tampak terkejut, ia sampai tak menyadari jika lelaki itu sudah berada di dalam Castle dan sangat dekat dengan dirinya. “Hai, apa kabar?” Lagi – lagi ia tersenyum lebar dan mengangkat telapak tangannya ke atas untuk menekankan kalimat sapaannya tadi. “Kau ingat kepadaku?” Zelena berbicara dengan kalimat formal, terhadap orang yang baru dijumpainya. “Tentu saja, aku tidak akan melupakan wajah cantikmu itu. Karena aku melukisnya di sini.” Lelaki itu menunjukkan buku sketsa yang berada di tangannya. “Apa?” Zelena tampak tak percaya dengan kalimat itu. Lelaki itu membuka bukunya, dan menunjukkan buku itu kepada Zelena sambil menatap gadis itu lekat. “Hah? Kapan kau melakukannya?” Zelena semakin heran, ketika ia melihat lukisan wajahnya berada di atas kertas putih itu. benar – benar mirip. “Setelah aku tiba di sini, aku buru – buru melukis wajahmu, karena sayang jika dilewatkan begitu saja. Apakah menurutmu kita berjodoh? Hanya dalam waktu satu hari, kita bertemu lagi, bukan?” “Jodoh katamu? Tentu saja tidak!” Zelena tertawa kecil, menyingkirkan rambutnya ke belakang telinga. “Jangan begitu, kau bisa saja jatuh cinta kepadaku.” Lelaki itu pun tertawa, dan Zelena mengerucutkan bibirnya untuk menanggapi kalimat itu. Zelena kembali berjalan dan lelaki itu memilih untuk mengikutinya. “Apakah pekerjaanmu sudah selesai?” Tanya Zelena basa – basi. “Pekerjaanku?” Ulang lelaki itu, dan menatap Zelena. “Ya, aku melihatmu sedang melukis gadis itu. Di halaman Castle.” “Oh, aku belum menyelesaikannya.” Jawab lelaki itu tak acuh. “Belum? Kenapa? Bagaimana dengan gadis itu?” “Karena aku melihatmu melintas, jika aku tidak menemuimu sekarang, aku akan kehilangan kesempatan. Aku akan melukis gadis itu nanti.” “Aku tidak tahu apa maksudmu? Kesempatan apa?” Zelena melipat kedua tangannya di depan d**a, menatap lelaki itu dengan alis menyatu. Lelaki itu mengulurkan tangannya, “Calvino Gaspar!” Kata lelaki itu memperkenalkan dirinya. “Zelena.” Balas Zelena, kali ini dengan nada yang lebih ramah. “Nama yang cantik, seperti pemiliknya.” “Hah, kau terus saja merayuku. Tapi itu tidak akan berguna.” Zelena tertawa renyah dan kembali berjalan masuk lebih dalam lagi. “Apa kau bekerja di sini? Kenapa kau mengunjungi Castle, apakah kau sedang cuti?” Tanya Calvino secara detail, membuat wajah Zelena berubah heran. “Aku hanya ingin tahu.” Jelas Calvino lagi. “Ini pekerjaanku.” “Ehm, maksudmu?” Calvino tampak tidak mengerti. Zelena berhenti, menatap Calvino dengan senyum yang lembut, “Aku seorang arsitek, dan datang ke sini untuk melihat secara langsung desain Castle ini ,serta bahan apa yang mereka gunakan. Aku hanya ingin menggunakannya untuk inspirasiku.” “Wow, luar biasa. Ternyata kita memiliki kemiripan. Lalu di mana kau bekerja?” “Aku bekerja secara freelance, di beberapa perusahaan.” “Wah, itu terdengar keren.” Puji Calvino dengan mata membulat. “Terimakasih.” Ucap Zelena sopan. “Aku tahu beberapa Castle yang menarik di sini, jika kau mau aku bisa...” “Aku bisa menemukannya. Aku memiliki ini.” Zelena memperlihatkan peta wisata di tangannya kepada Calvino, dan lelaki itu tersenyum sambil mengangkat bahu. “Kurasa aku ingin menikmati Castle ini sebelum pergi. Selamat tinggal, Calvino.” Zelena melangkah menjauh dari Calvino, dan lelaki itu tersenyum saat mendengar ucapan itu. “Sampai jumpa, Zelena!” Teriak Calvino di belakang punggung gadis itu. “Kau gadis yang dingin, tapi aku suka.” Gumam Calvino senang.   ............   Zelena terus berjalan, lebih dalam lagi dan menikmati setiap ukiran yang terpahat di dinding Castle, sementara Calvino ke luar untuk kembali menemui gadis itu. “Kau membuatku menunggu, Cal.” Gadis itu cemberut, menatap Calvino dengan tak sabar. “Maaf, aku hanya sebentar untuk menemui seorang teman.” Calvino kembali duduk di depan kanvas lukisnya dan gadis itu sudah berada di posisinya semula. “Kau harus membayarku dengan harga yang mahal, Cal! Karena membuatku menunggu.” “Tentu saja, jangan cemas.” Calvino tertawa, dan segera mengayunkan jemarinya yang lincah untuk melukis gadis itu. “Kapan kau akan membuka pameran lagi di galerimu. Cal?” Tanya gadis itu, menatap Calvino yang tampak begitu serius dengan lukisannya. “Beberapa minggu lagi, aku harus menemukan banyak objek untuk kulukis. Oh, pertahankan dirimu, jangan bergerak.” Gadis itu menarik napas panjang, gaun yang ia kenakan terasa begitu ketat membalut tubuhnya. Tidak terasa, hari sudah semakin siang. Calvino tersenyum puas dengan hasil lukisan itu. “Bagaimana? Apakah aku terlihat cantik di sana?” Gadis itu mengusap tengkuknya yang terasa pegal dan duduk di dekat Calvino. “Tentu saja, kau cantik dari sisi manapun.” Puji Calvino, dan mulai membereskan alat – alat lukisnya itu. lelaki itu kemudian mengambil beberapa lembar uang kertas dan memberikannya kepada gadis itu, “Terimakasih, kerja bagus.” “Panggil aku kapan saja kau butuh, Cal.” Gadis itu mengecup pipi Calvino, dan melenggang pergi dengan pinggulnya yang gemulai.   “Ck..ck..ck, kurasa kau terbiasa menerima kecupan seperti itu.” Ucap Zelena yang tiba – tiba sudah berada di sana. “Kau melihatnya?” Calvino tertawa, “Itu hanya sekedar ucapan terimakasih. Tidak berlebihan, bukan?” “Ah, terserah, bukan urusanku. Aku harus pergi.” Zelena bersikap tak acuh kepada Calvino, dan berjalan melewati laki – laki itu.   “Iya, aku akan ke sana!” Zelena berkata dengan kesal, dan Calvino menatapnya dengan heran. Ia yakin, mendengar gadis itu berbicara seorang diri. ...............   Zelena menghentikan sebuah taxi, dan memberikan alamat yang tertulis di atas selembar kertas kecil itu. Hantu wanita yang meminta bantuan Zelena pun ikut masuk ke dalam taxi dan duduk di sisinya. Hantu itu terus saja menatap Zelena dengan matanya yang tak berkedip. “Astaga, kenapa menatapku begitu? Dan kenapa kau harus duduk di sini?” Protes Zelena. “Untuk memastikan apakah kau benar – benar akan menemuinya.” Sahut hantu wanita itu. “Tentu saja aku akan ke sana, kau bahkan tidak membiarkanku bernapas!” Bentak Zelena, karena tak tahan lagi terhadap hantu itu. “Nona? Kau berbicara denganku?” Sopir taxi itu menoleh sedikit ke belakang, ke arah Zelena. “Ah, maaf, aku hanya sedang kesal dengan pesan seseorang di ponselku.” Zelena menyengir lucu, dan kembali menatap hantu itu dengan kesal. ................ Zelena berjalan, memasuki gang – gang sempit di daerah itu. Rumah – rumah yang berada di sana tampak berhimpit namun memiliki penataan yang cukup indah. Tanaman – tanaman hias berjajar di sisi kanan kiri pintu setiap rumah. “Di mana?” Tanya Zelena kepada hantu itu. Hantu itu mengulurkan tangannya, menunjuk sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka. Perlahan, Zelena memanggil tapi tidak ada jawaban. Gadis itu kemudian membuka pintu rumah dengan sangat hati – hati sambil terus mengucapkan salam. Ketika Zelena tiba di ruang tengah, ia melihat seorang laki – laki sedang duduk menghadap jendela, dengan pakaian putih serta ikat kepala berwarna putih. Lelaki itu hanya diam, bahkan saat Zelena menyapanya. Hantu wanita  menatap lelaki itu, yang tak lain adalah suaminya. Suami yang baru saja ia nikahi itu. Terlihat raut kesedihan di wajahnya yang pucat. “Tuan,” Sapa Zelena kembali, “Saya ingin menyampaikan pesan dari istri anda.” Kata – kata Zelena itu seketika membuat lelaki bertubuh jangkung itu menoleh, ia menatap Zelena dan mengerutkan keningnya. “Siapa kau?” Katanya dengan nada tidak suka. “Saya adalah orang yang bisa melihat keberadaan istri anda.” Zelena berusaha berbicara dengan sangat hati – hati. Ia tahu, tak mudah untuk menyakinkan seseorang akan hal ini. “Istriku? Apa maksudmu, kau jangan bermain – main denganku!” Zelena bergerak mundur, ketika lelaki itu terlihat tidak senang dengan penjelasannya. “Saya tidak...” Ketika Zelena belum selesai berbicara, hantu itu mengulurkan tangannya dan vas bunga yang berada di atas meja itu jatuh di lantai dan pecah berkeping – keping. “Apa itu tadi?” Lelaki itu tersentak, terkejut bukan main. Dan pandangannya kembali beralih kepada Zelena dengan pupil yang melebar. “Itu bukan aku, tapi istri anda. Dia ada di sini.” Lelaki itu menatap ke seluruh ruangan, hanya ada Zelena di sana.   “Kau mungkin tidak akan bisa melihatnya, tapi dia yang menuntunku sampai ke rumah ini. Apakah kau mengenali tulisan tangannya?” Zelena memberikan secarik kertas itu, dan lelaki itu tiba – tiba menangis dengan keras. “Tuan..” “Benar, ini tulisan tangan istriku! Kau benar – benar melihatnya?” Suara laki – laki itu tampak gemetar, ia lalu jatuh terduduk di kursi dengan lunglai. “Dia tidak ingin anda larut di dalam kesedihan, Tuan. Dia ingin anda melanjutkan hidup dan melupakannya, karena jika anda terus begini, anda hanya menghalangi jalannya untuk pergi.” “Itukah yang dia katakan?” Zelena mengangguk. “Tanyakan padanya kenapa dia meninggalkanku seusai pernikahan kami? Tanyakan itu padanya!” Zelena menoleh ke arah hantu wanita itu, dan melihatnya menitikkan air mata. Hantu itu mengulurkan tangannya, mengusap kepala suaminya yang tak lagi bisa ia sentuh. “Seseorang telah meletakkan racun di dalam cangkir minumanku. Dia, adalah kekasihmu. Perempuan itu tak ingin melihatku menikah denganmu.” Mendengar perkataan hantu itu, Zelena terkejut bukan main. Bibirnya setengah terbuka dan menatap lelaki yang kini masih terisak itu. “Katakan kepadanya, Zelena!” Hantu itu berbalik dan menatap Zelena yang kini juga terlihat pucat. “Haruskah aku mengatakannya?” Zelena tampak menimbang, sepertinya hal itu adalah sesuatu yang sangat sensitif dan cukup mengerikan. Hantu itu mengangguk, “Kau sudah sampai di sini, Zelena. Kau tak bisa menghindar lagi.” “Sial!” Umpat Zelena pelan. “Tuan, istrimu memberitahuku kalau kematiannya disebabkan oleh seseorang.” Lelaki itu berdiri, menghadap Zelena dengan tubuh tegak, “Apa? Siapa?” Zelena bergumam lirih, membuat lelaki itu terpaksa mencondongkan tubuhnya ke depan, “Kekasihmu.” “Apa? Kau bercanda!” Wajah lelaki itu berubah pucat, dan matanya menatap Zelena dengan pandangan tidak suka. “Aku sudah menyampaikan pesan istrimu. Kurasa dia sudah pergi sekarang. Buka kembali kasus kematian istrimu itu dan berikan keadilan untuknya.” Zelena mengangguk satu kali, kemudian berbalik dan ke luar dari rumah itu dengan jantung berdegup kencang. Ia tak menduga, jika kematian wanita itu sungguh tragis dan meninggalkan luka di hatinya. “Ah, kau bahkan pergi tanpa mengucapkan terimakasih kepadaku.” Zelena tersenyum, dan melangkah meninggalkan tempat itu dengan langkah yang lebih ringan.                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD