bc

MY LOVELY GHOST

book_age18+
465
FOLLOW
3.6K
READ
forbidden
love-triangle
independent
drama
bxg
female lead
city
another world
first love
virgin
like
intro-logo
Blurb

Pertemuan dengan makhluk tak kasat mata, membuat kehidupan Zelena banyak berubah. Gadis yang merasa tak pernah mendapatkan cinta dari seorang laki-laki itu, akhirnya menautkan hatinya kepada Xavier, salah satu dari makhluk yang ia jumpai secara tak sengaja.

chap-preview
Free preview
EPISODE 1
My Lovely Ghost Bab 1   Semua ini bukan karena engkau tak layak untuk berada di sisiku, tapi karena aku telah memilih orang lain untuk hidup bersamaku.   Seratus tahun yang lalu Duke Xavier, lelaki yang ditakdirkan untuk lahir dan tumbuh di dalam keluarga bangsawan Spanyol. Ketampanan Xavier tidak perlu diragukan lagi, ia memiliki postur tubuh yang sempurna, tinggi, tegap, dan kekar. Jubah kebangsawanan yang ia kenakan seolah menambah sisi kharisma dari dirinya. Xavier bahkan mendapat gelar Duke karena dedikasinya yang kuat terhadap raja. Raja sangat menyukai Duke Xavier, ia bahkan menempatkan laki – laki itu untuk menjadi penasihat pribadi raja. Duke Xavier, memang memiliki kecerdasan yang tidak dimiliki orang lain. Mereka menyebutnya “keturunan dewa”. Tapi julukan itu ternyata tidak membuat Xavier berbangga diri. Ia justru merasa jika julukan itu adalah beban bagi hidupnya. Ia harus memecahkan banyak masalah yang terjadi di dalam kerajaan. Semua hal seolah berpindah ke pundaknya. Sementara raja, hanya bagaikan “penghias” kerajaan. Karena rasa suka raja yang begitu besar kepada Duke Xavier, raja berniat untuk memberikan putrinya kepada Duke Xavier, namun lelaki itu menolak karena ia telah jatuh hati kepada wanita lain, yang bahkan bukan berasal dari kalangan bangsawan. Kabar itu pun membuat hati sang putri menjadi sangat sedih, ia pun memilih untuk mengurung diri selama berminggu – minggu di dalam kamarnya sendiri, membuat tubuh sang putri menjadi lemah dan akhirnya meninggal dunia. Hal ini tentu saja membuat hati sang raja terluka, kematian putrinya menimbulkan murka yang sangat besar di dalam diri raja, sehingga ia memutuskan untuk menghukum Duke Xavier dengan kematian. Karena hanya kematian yang bisa menghantarkan Duke Xavier kepada putrinya itu. Duke Xavier akhirnya meminum racun sebagai hukuman yang harus ia terima. Dan lelaki itu pun dimakamkan di sisi sang putri.   ........................... Masa kini, di tahun 2021   “Zelena, apa kau yakin dengan keputusanmu untuk pindah?” Ucap Roland, kakak laki – laki yang selama ini selalu menjaga Zelena dengan sepenuh hati itu. “Ya, sampai kapan aku akan bergantung kepadamu jika terus berada di sini?” Sahut Zelena, sambil mengemas barang – barangnya ke dalam koper yang cukup besar itu. “Aku tidak keberatan, sayang. Kau adalah adikku yang sangat kucintai, aku akan melakukan apa saja untukmu. Ayolah, pikirkan lagi.” “Roland, aku tahu kau sangat sayang padaku, tapi aku sudah memutuskannya sejak lama dan aku sangat ingin tinggal dan bekerja di Spanyol.” “Kau tidak peduli dengan Daddy dan Mom?” Roland mengambil sebuah buku arsitektur dari balik kemejanya, menyodorkan buku itu kepada Zelena. “Apa ini?” “Kau tidak bisa membaca? Judulnya tertulis dengan besar di sana.” Ucap Roland membuat Zelena mengerucutkan bibirnya. “Terimakasih, aku akan menjadikan buku ini sebagai referensi.” Zelena memasukkan buku itu ke dalam koper, di tumpukan paling atas. “Ah, Zelena urungkan saja niatmu itu.” Pinta Roland dengan wajah polosnya. “Tidak, Roland. Aku bahkan telah membeli tiket pesawat dan menyewa apartemen di sana. Apakah kau ingin aku membuang semua hasil kerja kerasku selama ini?” Zelena berhenti, menatap kakaknya yang tampak putus asa. “Aku tidak pergi untuk menghilang, Roland. Kau masih bisa menghubungiku via telephone, atau saat kau libur dari pekerjaanmu, kau bisa datang untuk melihatku. Jarak dari Maroko ke Spanyol hanya 1 jam 7 menit, Roland. Tidak terlalu jauh, bukan?” “Apakah Maroko tidak indah bagimu, Zelena?” Roland menjatuhkan diri ke atas tempat tidur Zelena. “Maroko sangat indah, tentu saja. Tapi aku ingin mengunjungi banyak kastil legendaris di Spanyol. Aku akan menemukan bangunan Arsitektur yang megah dan kuno. Aku yakin, pekerjaan arsitek akan banyak dibutuhkan di sana.” Ucap Zelena dengan senyum mengambang di bibirnya. “Hmm, aku harap kau akan bertahan di sana, Zelena.” “Tentu saja, aku bahkan sudah mendapat kontrak bekerja di salah satu perusahaan. Kau tahu enaknya bekerja freelance itu?” “Ya, aku tahu. Tapi kau jangan sampai lelah. Jika kau butuh sesuatu, katakan padaku, aku akan segera mengirim apa yang kau perlukan.” “Ah, Roland, bukankah itu sama saja jika aku akan bergantung padamu?” “Kau memang keras kepala, Zelena. Aku tidak tahu terbuat dari apa adikku ini.” Zelena terkekeh, mendengar ucapan kakaknya itu. Gadis itu meletakkan kopernya di dekat pintu, menatap Roland yang masih berbaring di atas tempat tidur. “Ayo, Roland, waktunya makan malam.” Roland segera bangkit, dan berjalan menyusul Zelena yang sudah turun lebih dulu ke lantai bawah.   “Zelena, kau sudah berkemas?” Tanya ibunya, yang sudah selesai menata meja makan itu. “Yup, semua sudah beres.” Seperti biasa, Zelena duduk di dekat ayahnya. “Pukul berapa pesawatmu berangkat?” Tanya laki – laki paruh baya itu kepada putrinya. “Sekitar pukul sepuluh pagi, Dad. Aku akan berangkat pukul delapan agar tidak tertinggal pesawat.” Zelena mengambil piring dan mengisinya dengan hidangan makan malam. “Kami akan mengantarmu, sayang.” Ucap sang ayah. “Dad, mengapa kau tidak melarangnya?” Protes Roland kepada ayahnya itu. “Roland, biarkan Zelena menentukan hidupnya sendiri, dia sudah dewasa bukan bayi yang bisa kau manjakan lagi. Fokuslah untuk masa depanmu sendiri, carilah kekasih dan menikahlah. Kau sudah layak untuk memiliki keluarga sendiri, bukan?” Zelena tertawa, hampir saja gadis itu tersedak makanannya sendiri. “Benar, Roland, segeralah menikah dan aku akan hadir ke acara pernikahanmu itu.” “Zelena, tidak bisakah kau memanggilku dengan sebutan kakak?” Protes Roland. “Ehm, kita hanya berbeda satu tahun, Roland. Dan semua orang tahu jika kau adalah kakakku, tanpa aku perlu mengatakannya.” Zelena mengangkat gelas yang berisi jus jeruk itu ke hadapan Roland, “Untuk kebahagiaan kakakku, Roland tercinta.” “Kalian ini sampai kapan akan bersikap dewasa.” Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya, mendengar obrolan kedua anaknya itu. “Mom, aku akan merindukan masakanmu.” Zelena tersenyum lucu, dan lelaki paruh baya di sisinya itu mengusap kepala putrinya dengan sayang. “Berjanjilah Zelena, kau akan pulang setiap liburan tiba.” Tukas sang ayah. “Tentu, Dad. Aku akan pulang setiap memiliki waktu. Seperti yang kau tahu, aku tidak hanya bekerja di satu perusahaan. Itu artinya aku akan memiliki banyak proyek. Jangan cemas, aku akan sering menelephone kalian, dan mengirim gambar di mana pun aku berada.” Zelena tersenyum lembut, sesaat suasana tampak begitu hening. Beberapa jam lagi, putri kesayangan keluarga ini akan pergi dari rumah untuk pertama kalinya. “Tampaknya kau sudah merencanakan untuk jarang pulang, Zelena?” Protes Roland, dengan mulut penuh. “Ayolah, Roland, jangan berasumsi sendiri. Aku tidak mengatakan itu. Mom, apakah malam ini kau mau tidur denganku?” Pinta Zelena, gadis itu menatap ibunya sambil mengerjap beberapa kali. “Tentu, sayang. Apakah sebaiknya kita menyewakan kamarmu setelah kau berangkat?” Tukas wanita paruh baya itu membuat Roland terkekeh geli. “Apa? Mom ingin menggantikanku dengan gadis lain? Secepat itu?” Suara Zelena terdengar mengeras. “Mengapa tidak? Mungkin saja gadis yang akan menempati kamarmu adalah calon istriku nanti? Mom, aku setuju denganmu!” Seru Roland penuh semangat. “Roland! Awas saja kau, kalau aku kembali dan menemukan kamarku dimiliki orang lain!” Zelena mengambil potongan kue, melemparkan makanan itu ke arah Roland. “Aduh.” “Zelena!” Wanita paruh baya itu membuka matanya lebar, menatap tingkah putrinya yang terkadang terlihat kekanak – kanakan jika sudah bersama Roland. “He..he, maaf, Mom.” Zelena menyengir lucu, kembali menyantap makanannya dengan lahap. .................... Gadis itu membaringkan dirinya, menatap langit – langit kamar yang dipenuhi dengan bintang – bintang yang bergerak. Bintang yang berasal dari pantulan lampu hias yang berputar dengan teratur. Sebentar lagi, tinggal beberapa jam lagi, Zelena akan meninggalkan kamar ini, rumah ini, dan negara ini. Semua itu demi impian serta cita – citanya yang telah lama ia inginkan. Ketika Zelena berbalik, ia dikejutkan dengan bocah kecil yang duduk di sudut tempat tidurnya. Bocah itu tampak menatap Zelena dengan wajah pucat yang seakan ketakutan. Zelena segera beringsut. Duduk di depan bocah itu, rasa takutlah telah lama lenyap, karena ia terbiasa bertemu dengan roh – roh atau yang biasa disebut hantu. “Kau?” Ucap Zelena, yang tampak tak asing dengan kehadiran bocah laki – laki itu. “Kau akan pergi?” Tanya bocah itu kepada Zelena, raut wajahnya terlihat sedih. “Hmm, aku harus pergi. Ada hal yang ingin kuraih di luar sana.” Jawab Zelena, tersenyum lembut. “Apakah kita tidak akan bertemu lagi, Ze?” “Aku tidak pergi untuk selamanya, aku akan kembali saat liburan tiba. Dan selama aku pergi, kau tidak boleh nakal, ya? Kau tidak boleh membuat keluargaku ketakutan. Kau bisa diam di sini asal tidak membuat keributan.” Zelena mengulurkan ujung kelingkingnya, menautkan jari itu dengan kelingking kecil si bocah. “Kau janji?” “Ya, aku janji padamu. Aku akan diam dan tidak membuat masalah.” Jawab bocah itu, tertawa kecil.   “Zelena!” Zelena terkesiap, saat ibunya tiba – tiba masuk ke dalam kamar gadis itu, dan menatapnya dengan tajam. “Kau bicara sendiri lagi?” Tegur ibunya, merasa tidak suka dengan kelakuan aneh putrinya itu. Wanita setengah baya itu tidak pernah mempercayai adanya hantu atau hal – hal lain yang bersifat tidak masuk akal. “Eh, aku..” Zelena menoleh, tapi bocah lelaki itu sudah tidak ada di sana. “Sudah berapa kali, mom mengatakan padamu untuk tidak melakukan hal itu lagi. Haruskah mom mengawasimu 24 jam, Zelena! Beginikah putriku yang besok akan pergi?” “Ayolah, mom, aku tidak akan melakukannya lagi.” Zelena berdiri, kemudian memeluk dan mencium pipi ibunya. Wanita setengah baya itu tersenyum, bagaimana bisa ia marah kepada putri yang selalu bersikap manja terhadap semua orang itu? “Kau ingin buah?” Tawar ibunya kepada Zelena yang masih bergayut manja di lengan wanita itu. Zelena menggeleng, “Tidak, aku sudah kenyang. Apakah mom membuat camilan yang bisa kubawa besok?” “Tentu saja, mom membuat kue cokelat kesukaanmu. Apakah kau sudah membeli semua peralatan untuk apartemen barumu?” “Ehm, belum semua. Tapi di apartemenku sudah ada lemari pendingin, tempat tidur, lemari pakaian dan juga sofa ruang tamu. Aku tinggal membeli beberapa keperluan dapur saja.” Jawab Zelena. “Baguslah, mom tidak terlalu cemas kalau begitu. Bergaullah dengan baik, Zelena. Mom tidak ingin putri mommy yang cantik ini menjadi gadis kesepian dan berbicara dengan udara.” “Dengan udara?” Zelena tertawa, kemudian naik ke atas tempat tidurnya. “Ke marilah, Mom. Tidur denganku malam ini.” Pinta Zelena, menepuk tempat tidur di sisinya. ................ Pagi – pagi sekali, gadis itu sudah bangun dan merapikan diri. Sementara ibu dan ayahnya sedang mengemas bekal yang akan dibawa putrinya itu. Roland ke luar dari kamarnya, lelaki itu menguap beberapa kali dan mengusap matanya yang masih mengantuk. “Kau bangun pagi, Roland?” Ucap Zelena, yang berpapasan dengan saudara kandungnya itu. “Ya, demi kau, Zelena. Aku harus melihat adikku sebelum pesawat itu membawanya menjauh.” Roland meraih handuknya, dan masuk ke dalam kamar mandi. Zelena tersenyum kecil, cukup terharu dengan ucapan Roland itu. Sekalipun mereka sering berselisih pendapat, tapi Zelena sangat mengasihi saudaranya itu. Zelena tahu, Roland belum bisa menerima perpisahan dengannya, setelah kebersamaan mereka selama 25 tahun. “Zelena, sayang,” Suara ibunya memudarkan lamunan Zelena akan Roland, gadis itu melangkah dengan ceria menghampiri sang ibu. “Mom, ada apa?” “Kau mau membawa ini juga?” Wanita itu menunjukkan sekotak ikan kering kesukaan Zelena. “Wah, iya, itu makanan kesukaanku. Aku akan membuatnya di sana.” Jawab Zelena dengan gembira. “Kalau begitu bawalah dua kotak, juga ini daging beku yang bagus untukmu. Letakkan dalam lemari pendingin begitu kau sampai.” “Baik, Mom. Jangan cemas. Aku akan menemukan supermarket di sana. Aku tidak akan kelaparan di negara itu.” Zelena memeluk ibunya kembali, dan wanita itu tersenyum sambil menepuk – nepuk punggung putrinya.   Zelena melihat jam di tangannya, gadis itu telah meletakkan semua barang ke dalam bagasi mobil, ia juga memeriksa isi tasnya, jangan sampai surat – surat penting itu tertinggal. “Apa kau sudah membawa desainmu?” Roland mengingatkan. “Hmm, semua sudah siap.” Zelena menatap kakaknya yang tampak murung. Lelaki itu bahkan tidak membalas tatapan adiknya. “Ayo, sayang, kita berangkat. Kami semua akan mengantarmu ke bandara.” Lelaki paruh baya itu sudah berada di kemudi mobil, sambil menatap Zelena dengan senyum mengambang.   ♥♥♥♥   Zelena masuk ke dalam pesawat yang akan membawanya ke Spanyol. Ke sebuah kota yang ia impikan, Casares - Spanyol.  Gadis berusia 25 tahun itu tak menyangka jika dirinya akan pergi sejauh ini, meninggalkan hangatnya keluarga yang telah membuatnya menjadi seorang arsitek muda dengan bakat yang luar biasa. Zelena bahkan mendapat kontrak sebelum bertemu langsung dengan CEO perusahaan itu.  Kebebasan di dalam diri Zelena, membuatnya memilih bekerja lepas tanpa terikat dengan satu perusahaan saja, dengan demikian Zelena memiliki penghasilan yang cukup besar di usianya yang masih terbilang muda itu. Zelena membuka buku dari dalam ranselnya, sebuah buku harian yang selalu ia bawa ke mana saja. Buku yang menceritakan segala hal tentang apa yang ia alami. Tentang masa kecilnya, tentang perjalanannya dalam meraih impian hingga seperti sekarang ini, dan tentu saja soal Roland. Kakak yang selalu mendominasi dirinya.  Zelena tersenyum, ketika ia kembali membaca catatan tentang Roland. Semua tak lepas dari kalimat - kalimat yang menunjukkan kejengkelannya, tapi sekarang Zelena akan merindukan omelan Roland,  juga wajah lelaki itu saat berusaha memberikan nasihat - nasihat bagi dirinya.  Gadis berambut pirang bergelombang itu menyandarkan punggungnya di kursi pesawat, sembari menatap ke luar jendela pesawat yang belum juga terbang karena menunggu beberapa penumpang yang sedang naik ke dalam.  Ketika Zelena masih menatap ke luar jendela, ia dikejutkan dengan laki-laki yang meletakkan koper ke atas laci di dalam kabin pesawat, tepat di atas kepala Zelena.  "Maaf, aku harus meletakkan ini di dalam laci." Lelaki itu tersenyum lembut dan Zelena hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.  Lelaki itu kemudian duduk di samping Zelena, sambil membawa gulungan yang tampak seperti kertas untuk melukis, dan ia memeluk benda itu cukup erat.  Zelena menutup buku hariannya, saat menyadari jika lelaki di sampingnya itu sekilas menatap ke arah bukunya. Buku yang ia letakkan di pangkuannya.  "Maaf, aku tak berniat untuk membaca. Tapi buku itu begitu manis." Katanya lagi, membuat Zelena segera membuka ranselnya dan memasukkan bukunya ke dalam lalu menutup ransel itu rapat-rapat. Lelaki itu kembali tersenyum, melihat apa yang dilakukan Zelena. Ia kemudian meraih sesuatu dari dalam saku mantelnya, dan menawarkan beberapa butir permen kepada Zelena.  "Tidak, terimakasih." Zelena menolak tawaran itu dengan halus.  "Nona, aku tidak akan berbuat jahat padamu. Tapi tampaknya kau merasa tidak nyaman denganku." Ucap lelaki itu, dan membuka sebutir permen untuk dirinya sendiri. "Tidak, aku tak bermaksud membuatmu tersinggung." Sahut Zelena setenang mungkin.  "Tidak masalah, apa ini pertama kalinya bagimu melakukan perjalanan?" Zelena mengangguk, dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela saat pesawat yang ia tumpangi mulai bergerak ke atas.  Lelaki itu pun menyandarkan punggungnya setelah pesawat itu terbang dengan aman. Tidak ada goncangan yang cukup berarti. Zelena bersyukur, karena hari ini ia mendapat cuaca yang sangat baik. Zelena sempat cemas tentang perjalanan udara yang ia lalui, tapi ternyata semua itu tampak menyenangkan dan baik – baik saja. Lelaki di sisinya, sesekali menatap wajah cantik Zelena. Tampaknya ia berniat untuk merekam wajah gadis itu di dalam memori otaknya. Zelena beringsut, saat mengetahui jika lelaki itu memperhatikan dirinya. Gadis itu berharap pesawat akan segera mendarat dengan cepat. “Kau berasal dari mana?” Tegurnya lagi, membuat Zelena terpaksa menjawab. “Maroko, tentu saja. Bukankah pesawat ini terbang dari Maroko?” Jawab Zelena, memainkan gantungan kunci boneka yang tergantung di tas ransel miliknya itu. Lelaki itu tertawa kecil, “Kau benar, tapi tidak semua penumpang pesawat ini adalah penduduk asli Maroko. Seperti aku. Aku pergi ke Maroko untuk melukis dan kembali ke Spanyol. Apakah kau berlibur ke Spanyol?” Zelena menggeleng, “Tidak, aku mendapat pekerjaan di sana. Jadi, kau seorang seniman? Pelukis?” “Ya, aku pelukis dan tinggal di Spanyol. Kurasa kita bisa berteman baik.” Lelaki berkulit cerah dan  bermata cokelat yang sedikit sipit itu kembali tertawa, dan Zelena hanya tersenyum kecil membalas ucapan laki – laki itu. Zelena menegakkan tubuhnya, ia memberanikan diri untuk menoleh sedikit, melihat dengan lebih jelas wajah laki – laki itu. lelaki itu memiliki bentuk wajah yang sempurna, hidung mancung, rambut bergaya modern, rahang yang tegas, serta bibir merah muda yang seksi. Pakaian yang ia kenakan pun terlihat modern, seperti lelaki muda pada umumnya. Lelaki itu tersenyum tipis, “Bagaimana apakah aku tampan, Nona?” Ucap lelaki itu membuat Zelena tersentak dan seketika kulit wajahnya merona begitu saja. “Kau salah paham, aku memperhatikan anak kecil yang duduk berseberangan denganmu.” Elak Zelena dengan senyum mengambang di bibirnya. Lelaki itu menoleh, mengikuti telunjuk Zelena yang tadi menunjuk ke arah bayi perempuan yang duduk di pangkuan ibunya. Bayi itu tampak menatap ke arah mereka. “Astaga, aku terlalu percaya diri.” Katanya, sambil menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jemari tangannya itu. Zelena berusaha menahan tawa, ia memalingkan wajahnya ke jendela pesawat. Sampai pada jam di mana pesawat yang ia tumpangi mendarat ke tempat yang dituju. Spanyol! Zelena turun bersamaan dengan lelaki itu. Lelaki yang tak ia ketahui namanya sampai akhirnya mereka berpisah di luar bandara. Zelena memilih menggunakan taxi sekalipun lelaki itu menawarkan tumpangan kepada dirinya. “Necesito un taxi, por favor.” Ucap Zelena kepada laki – laki itu dengan senyum semanis mungkin. Lelaki itu membuka kedua lengannya dengan senyum lebar, “Baiklah, Nona. Bahasa Spanyolmu cukup lumayan. Senang bertemu denganmu, kita pasti akan bertemu kembali, Nona.” Zelena tidak menjawab, gadis itu segera membuka pintu taxi-nya ketika sebuah taxi menghampiri dengan cepat dan memberikan secarik kertas yang berisi alamat di mana apartemennya berada. Alamat rumah Zelena tak begitu jauh dari bandara, ia sengaja memilih lokasi itu agar memudahkannya ketika harus bepergian menggunakan pesawat. Serta lokasi di mana apartemen Zelena berada adalah lokasi yang cukup strategis. Sehingga ia tak akan mengalami kesulitan di negara yang masih asing ini. Taxi itu akhirnya berhenti di sebuah apartemen yang cukup bagus, di sebuah kota bernama Casares. Hampir seluruh bangunan di kota itu bercat putih, yang memang menjadi simbol dari kota Casares. “Cuanto cuesta?” Tanya Zelena ketika ia hendak membayar tarif taxi itu. Setelah memberikan sejumlah uang, Zelena pun turun dengan koper besar dan ransel di punggungnya. Setelah berbicara dengan penjaga apartemen dan mendapatkan kuncinya, Zelena bergegas naik ke atas, ke lantai di mana kamarnya berada. Gadis itu masuk, apartemen yang ia sewa telah dilengkapi dengan tepat tidur, almari pakaian, sofa, lemari pendingin yang terletak di dapur serta sebuah televisi. “Astaga, nyaman sekali.” Ucap Zelena, dan segera membongkar isi kopernya untuk ia pindahkan ke dalam almari dan juga dapur. Setelah selesai berbenah, gadis itu memutuskan untuk mandi dan menikmati secangkir teh hangat sambil memandang hijaunya pepohonan di bawah sana. Zelena membuka gorden jendela di ruang tamu kecilnya, kemudian duduk dan mengirim pesan kepada Roland, yang mengatakan jika ia telah tiba dengan selamat.   “Aku kira kau akan lupa memberi kabar, Zelena.” Balas Roland diikuti emoticon marah. Zelena tersenyum membaca pesan itu, dan kembali membalasnya, “Aku harus mandi dan berbenah, Roland. Tolong sampaikan juga kepada Mommy dan Daddy. Aku mencintai kalian.” “Tentu, Zelena. Jaga dirimu baik – baik. Jika aku ada waktu, aku akan berkunjung ke sana. Sering – seringlah membalas pesanku, gadis nakal!”   Zelena meletakkan ponselnya dan kembali menyesap teh yang ia bawa dari rumahnya itu sambil menyalakan televisi. Sejenak gadis itu menatap ke seantero ruangan, sepertinya ia tak melihat “mereka” di tempat barunya ini. “Ah, syukurlah. Aku mulai lelah jika harus dikejutkan dengan kehadiran mereka tanpa mengenal waktu.” Gumam Zelena, dan menyandarkan tubuhnya di sofa sembari menikmati siaran televisi yang berbeda dari yang ia tonton di Maroko.            

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.5K
bc

My Secret Little Wife

read
97.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook