MY LOVELY GHOST
BAB 5
Zelena kembali menjalankan mobilnya, ia memilih untuk menghabiskan hari dengan berkeliling, sesekali gadis itu melihat peta digital untuk menemukan Castel berikutnya. Dan kali ini Castel yang akan ia kunjungi adalah Ayuntamiento De Casares atau yang lebih dikenal dengan Castle Casares.
Zelena melihat ke arah jam tangannya, masih ada sedikit waktu untuk mengunjungi Castle itu sebelum melanjutkan sketsanya.
Beberapa saat kemudian, Zelena telah berada di sana. Ia menatap Castle itu, Castle yang berbeda dari yang sebelumnya, Castle ini mendominasi lembah – lembah, juga perbukitan. Selain itu Castle ini merupakan reruntuhan benteng yang terpelihara. Gadis itu masuk, dan berjalan menapaki lorong – lorong di dalam Castle. Lorong yang hanya mendapat pencahayaan dari sinar matahari sore, yang sesekali meredup ketika awan mendung melintasinya.
Zelena mengusap lengannya, sekalipun gadis itu telah memakai mantel, ia masih merasakan udara dingin yang berhembus melewati tengkuknya. Dan Zelena tahu, dari mana udara dingin ini berasal. Bangunan Castle ini terlihat kuno, sekalipun masih terawat tapi tak menutup kemungkinan akan adanya “penghuni” lain di sini. Terlebih lagi, hanya ada dirinya, satu – satunya pengunjung di lorong Castle itu.
Zelena menyalakan ponselnya, berharap cahaya lampu dari gawai itu dapat memberinya penerangan lebih. Di saat Zelena terus melangkah ke dalam, karena rasa penasaran gadis itu yang sangat besar, netranya menangkap siluet yang berdiri dengan menyandarkan tubuhnya di dinding Castle.
Zelena menyipitkan mata, gadis itu melangkah mundur dan berniat pergi dari sana. Tapi sosok laki – laki bertubuh kekar dengan pakaian kerajaan Spanyol itu menegurnya.
“Kau bisa melihatku?” Suara laki – laki itu terdengar begitu dalam dan penuh wibawa. Zelena terdiam, ia bahkan tak mampu menggerakkan kakinya. Netranya terpaku kepada sosok laki – laki itu, bibirnya terkatup rapat dan seluruh tubuhnya menjadi dingin.
‘Dia berbeda, dia bukan hantu biasa. Dia memiliki karakter yang begitu kuat, serta roh yang dipenuhi ambisi.’ Batin Zelena berbicara, namun mulutnya terasa kelu dan kaku.
Hantu itu berjalan mendekati Zelena, ia bahkan tak peduli dengan sinar senja mentari yang masuk melewati celah – celah besar dinding Castle. Hantu itu menatap Zelena dengan mata cokelat yang dalam, bibirnya kemudian tersenyum lembut, “Kau bisa melihatku?” Tanyanya sekali lagi, kali ini ia menunjukkan ekspresi senang.
“Akhirnya aku menemukan manusia yang bisa melihatku, ini sungguh luar biasa.” Ucapnya kembali dan pandangan mata hantu itu menyapu mata Zelena yang terus menatapnya dengan gemetar.
“Aku tidak akan menyakitimu.”
Zelena tidak menjawab, gadis itu berusaha keras mengumpulkan tenaganya, perlahan ia melangkah mundur dan dengan kekuatan yang ia miliki, Zelena berlari meninggalkan tempat itu, dan sesegera mungkin mencapai mobilnya.
Hantu itu tertawa, menatap kepergian Zelena yang begitu takut akan sosoknya. “Aku akan menemukanmu, di mana pun kau berada.” Tukas hantu itu.
..................
“Apa itu tadi? Tubuhku bahkan tidak mampu melawannya? Dia benar – benar memiliki kekuatan yang tidak biasa.”
Zelena bergegas melajukan mobilnya, gadis itu memilih untuk kembali ke apartemen. Meskipun begitu ia tidak bisa tenang setelah perjumpaannya dengan hantu itu. Zelena takut, jika hantu itu akan mengikutinya ke manapun ia pergi.
Begitu tiba di apartemennya, Zelena buru – buru memasukkan kunci ke dalam lubang pintu kamarnya, gadis itu meletakkan tasnya dan duduk di sofa dengan perasaan tak keruan. Melihat hantu adalah hal yang biasa bagi Zelena, tapi tidak dengan yang itu.
Zelena bergegas meraih ponselnya, ia menghubungi kakaknya, Roland. Karena hanya Roland yang percaya kepadanya jika Zelena memang memiliki kemampuan untuk “melihat” yang tidak terlihat.
“Hai, adikku tersayang, kau tidak bekerja?” Roland menatap Zelena melalui layar ponselnya. Pemuda itu sedang mengerjakan laporan yang akan ia tampilkan di sebuah koran digital di Maroko. Roland baru saja kembali ke rumah setelah mendapatkan berita yang sedang trend di negaranya itu.
“Roland, aku ingin bicara denganmu, apakah kau sibuk?” Ucap Zelena dengan cemas. Roland menoleh ke layarnya, dan melihat jika Zelena begitu pucat.
“Kau sakit, Zelena? Kenapa kau begitu pucat?” Roland berhenti menulis dan perhatiannya kini berpusat kepada adiknya itu.
“Tidak, tapi aku ketakutan, Roland.”
“Katakan padaku, apakah ada orang yang mencoba berbuat jahat padamu di sana? Haruskah aku pergi ke Spanyol malam ini juga, Zelena?”
“Tidak, Roland. Dia bukan manusia.” Ucap Zelena dengan nada sedikit berbisik.
Roland mengernyit, “Kau melihatnya lagi?”
Zelena mengangguk, “Dia berbeda, Roland. Dia menatapku dengan begitu tajam, dia bertanya apakah aku bisa melihatnya? Dan anehnya, bibirku terkatup rapat bahkan kakiku tak mampu bergerak. Dia juga berpakaian aneh, seperti bangsawan Spanyol jaman dahulu.”
“Apakah dia tampak mengerikan, Zelena?”
“Tidak. Dia justru sangat tampan. Aku belum pernah berjumpa dengan laki – laki setampan itu. Tubuhnya kekar dan begitu berkharisma, matanya cokelat gelap serta suaranya begitu dalam.”
“Zelena, kenapa aku merasa jika kau kagum terhadap hantu itu? Apakah kau sedang memujinya sekarang?”
“Roland, ayolah! Mana mungkin aku tertarik terhadap hantu?” Protes Zelena.
“Zelena, apa yang membuatmu takut? Melihat hantu adalah hal yang biasa bagimu? Kau bahkan berbicara dengan mereka dan itu membuat mom tidak suka. Kenapa kau tidak mencari seseorang yang mungkin bisa melepaskanmu dari “mereka”?”
“Siapa? Aku tidak tahu, Roland.”
“Ah, entahlah. Tapi di dalam buku – buku atau film yang kulihat, mereka menemui paranormal untuk membantunya, tapi Zelena, aku tidak menyarankan kau untuk meminta bantuan paranormal, karena kita adalah orang yang hidup dengan logika, dan aku tidak percaya akan hal itu.” Roland tersenyum lembut, “Aku tahu kau kuat, Zelena, dan kemampuanmu itu secara tidak langsung membantu “mereka” untuk menemukan jalannya. Apakah menurutmu hantu itu juga membutuhkan bantuanmu?”
“Astaga, aku tidak tahu. Kalaupun benar, sungguh aku tidak ingin membantunya, Roland.” Zelena tampak putus asa, menatap kakaknya yang hanya bisa ia lihat melalui layar persegi panjang itu.
“Apakah kau ingin kembali saja ke Maroko, Zelena? Aku akan dengan senang hati menerimamu kembali.” Tawar Roland, menatap Zelena dengan harapan jika adiknya itu akan mengatakan Ya!
“Tidak sekarang, Roland. Aku sudah terikat kontrak dengan beberapa perusahaan di sini, dan mereka telah memberiku uang muka yang cukup besar.”
Roland mengangguk mengerti, “Baiklah adikku, mungkin kau bisa membuat dirimu sibuk dan fokus, sehingga tidak ada ruang bagi “mereka”, jangan pernah ragu untuk menghubungiku kapan saja, selarut apapun itu. Jika kau benar – benar butuh bantuanku, aku akan segera terbang ke sana, dan berdiri di hadapanmu untuk menyelamatkan adikku yang tercinta ini.”
Zelena tersenyum kecil mendengar kata – kata Roland yang membuatnya kembali tenang, Roland benar, dengan pesawat kakaknya itu akan tiba di sini secepat mungkin, jadi, apa yang harus ia cemaskan? Ada Roland yang akan menjaganya.
“Terimakasih, Roland.” Ucap Zelena dengan senyum di bibirnya.
“Ya, ampun, kenapa aku merasa kau begitu manis, Zelena? Ha..ha.., kau bahkan mengucapkan terimakasih kepadaku?” Goda Roland dengan tawa yang begitu renyah di sana.
...................
Zelena menutup telephone-nya. Gadis itu baru saja ingin membaringkan dirinya di atas sofa, sembari menyalakan televisi. Tapi lagi – lagi ia dikejutkan dengan suara laki – laki yang duduk tak jauh darinya itu.
“Kakakmu benar, Zelena, kau tak perlu meminta bantuan paranormal untuk mengusir hantu – hantu itu.”
Zelena terperanjat, ditatapnya sosok yang baru saja ia bicarakan dengan Roland tadi, dan sekarang hantu itu sudah berada di dalam apartemennya, dan bahkan duduk di dekatnya. Menatapnya dengan senyum yang begitu manis. Untuk sesaat, Zelena terbius dengan wajah tampan hantu itu, meskipun ia berkulit pucat, tapi tak bisa menutupi kharisma di dalam dirinya.
“Hei!” Hantu itu menjentikkan jarinya, membuat Zelena terbangun dari lamunan panjangnya itu.
“K..k..kau, di..di di sini?” Suara Zelena tergagap, ia benar – benar diselimuti rasa takut yang luar biasa. Baru kali ini, ia tak bisa mengendalikan rasa takutnya itu.
“Xavier.” Ucap hantu itu kemudian.
“A..apa?” Ulang Zelena.
“Namaku Xavier. Kau bisa memanggilku dengan nama itu.”
Zelena masih tidak percaya, jika hantu pun memiliki nama, bahkan nama yang terdengar cukup indah di telinganya.
“Ke..kenapa aku harus memanggilmu?” Tanya Zelena dengan gugup.
“Karena kau akan membutuhkan bantuanku, Zelena.”
“Aku?” Kali ini Zelena tersenyum, tapi ia segera merubah mimik wajahnya itu.
“Ya, kau.” Xavier berdiri, ia berjalan – jalan di sekitar ruangan kecil apartemen gadis itu, “Kau memiliki aura yang sangat kuat untuk mengundang “tamu” lain, bukan?” Xavier menatap gadis itu lagi, setelah ke luar dari dapur kecil Zelena yang letaknya tidak terlalu jauh dari ruang tamunya itu.
“Aku tidak pernah memiliki tamu.” Sahut Zelena, yang entah mengapa rasa takutnya akan sosok Xavier perlahan mulai memudar. Sepertinya, Xavier bukanlah hantu yang jahat seperti yang mendatanginya tempo hari itu.
“Hmm, bukan manusia, tapi hantu.”
“Hantu? Apakah kau sedang bercanda?” Tiba – tiba Zelena tertawa, ia kemudian menatap Xavier yang terlihat menyatukan alisnya itu, “Eh, maksudku, kau menyebut mereka hantu, lalu bagaimana dengan dirimu sendiri?”
Xavier mengulaskan senyum miring di sudut bibirnya, “Aku bukan hantu, tapi aku hanyalah roh yang masih berada di dunia ini. Dan kau adalah satu – satunya manusia yang bisa melihatku setelah 100 tahun aku hidup.”
Zelena memiringkan kepalanya, menatap Xavier dengan heran, “100 tahun katamu? Dan apa tadi kau bilang? Hidup?”
“Ya, aku hidup, Zelena.”
Zelena menangkup mulutnya dengan telapak tangan, gadis itu berusaha menahan tawa yang rasanya ingin meledak begitu saja. Tapi tidak, Zelena tidak mengenal dan tidak tahu siapa Xavier, ia tak boleh membuat dirinya berada di dalam bahaya.
Zelena menatap Xavier, dari ujung kepala hingga ujung kaki hantu itu. Pakaiannya, serta model sepatu yang ia kenakan. Itu menunjukkan jika Xavier bukan berasal dari kalangan biasa.
“Kenapa kau melihatku seperti itu, Zelena?”
“Itu..itu karena, maksudku aku hanya sedang berpikir apakah kau berasal dari sebuah kerajaan? Castle?” Zelena memberanikan diri untuk bertanya kepada Xavier.
“Hmm, kau benar. Aku berasal dari Castle yang kau datangi tadi.”
“Benarkah?”
“Ya, kau tidak percaya?”
“Bukan begitu, aku hanya tidak menyadari jika Castle itu berhantu.”
“Tidak ada hantu di sana, Zelena. Hanya ada aku yang terjebak di sana.” Ucapan Xavier membuat Zelena bingung. Laki – laki itu bersikeras jika dirinya bukanlah hantu. Ia berbeda dari “mereka”.
“Kenapa melihatku begitu? Apakah ada yang aneh?” Xavier membalas tatapan Zelena, dan gadis itu beringsut, menjatuhkan pandangannya ke tempat yang lain. Xavier tersenyum, ia lalu berjalan ke meja kerja Zelena, mengamati sketsa desain yang tergeletak di atas sana.
“Apa ini? Apakah kau orang yang membuat bangunan?”
“Orang yang membuat bangunan?” Zelena tersenyum lebar, baru kali ini ia bertemu dengan hantu yang mengajaknya berbicara panjang lebar layaknya manusia.
“Ya, apa yang kau buat?” Tanya Xavier lagi.
“Sketsa desain bangunan, aku menjual gambar itu dan mengamati proses pendirian gedungnya.” Jelas Zelena.
“Apakah ini yang dilakukan semua orang?”
“Tentu saja tidak. Itu adalah pekerjaanku, dan semua orang memiliki pekerjaan mereka sendiri. Apakah kau seorang pangeran?” Rasa penasaran Zelena semakin besar akan sosok Xavier itu.
“Aku lahir di keluarga bangsawan, orang yang dipercaya raja untuk melakukan banyak hal, tapi aku bukan pangeran. Sekalipun begitu, raja memberiku kekuasaan yang besar. Semua urusan kerajaan ia serahkan kepadaku.” Xavier menatap Zelena dengan senyuman, wajah gadis itu seketika berubah serius.
“Kau melakukan semua itu?”
“Ya, aku melakukannya.” Jawab Xavier.
“Kalau begitu kau bukan hantu yang sembarangan. Eh, maksudku kau bukan orang yang biasa di masa itu. Kau pasti memiliki kecerdasan yang tinggi.”
“Hmm, mereka menyebutku “keturunan dewa” karena aku bisa melakukan apa saja.”
Zelena semakin tertarik dengan obrolan mereka, gadis itu kembali duduk di sofa dan menatap Xavier yang berdiri di hadapannya itu.
“Apa yang kau lakukan di masa itu, Xavier?”
“Aku memutuskan semua yang harus dilakukan istana, aku juga berperang dan kembali dengan kemenangan, tapi sesungguhnya semua itu adalah beban bagiku, karena di saat aku tak bisa memenuhi semuanya, mereka akan menganggap itu sebagai bencana.”
“Wah, pasti itu sangat berat bagimu.”
“Hmm, sangat berat.” Xavier menatap ke langit – langit rumah Zelena dan wajahnya terlihat heran, “Apakah itu lilin?”
“Lilin?” Zelena mengikuti pandangan Xavier, “Ah, itu bukan lilin. Itu lampu.”
“Lampu?”
“Ya, semua orang di jaman ini menggunakan lampu untuk menerangi rumah mereka, dan kau harus rutin membayar listrik agar lampu itu bisa terus menyala.” Jelas Zelena.
“Begitu rupanya, sudah banyak hal yang berubah.”
“Tapi, sampai kapan kau akan berada di rumahku, Xavier?” Zelena bertanya dengan hati – hati. Ia tak ingin membuat hantu itu tersinggung.
“Kenapa? Kau tidak suka aku di sini?”
“Bu..bukan begitu, tapi aku membutuhkan privasi. Aku tidak bisa bekerja dengan baik, tidur dengan nyenyak dan melakukan semua hal jika ada “orang lain” di rumahku. Apakah kau mengerti?”
“Tenang saja, aku tidak akan berada di sini terus menerus, tapi apakah kau yakin?”
Zelena menyatukan alisnya, “Apa maksud dari pertanyaan itu?”
Xavier tersenyum, ia menatap lukisan seekor kuda hitam yang dipasang di dinding ruang tamu, “Mereka sedang menunggu untuk muncul di hadapanmu, Zelena. Benar – benar merepotkan.” Xavier menggelengkan kepalanya dan mulutnya berdecak heran.
“Aku bisa mengatasi itu.” Tukas Zelena dan berjalan ke arah pintu lalu membukanya.
“Aku tidak membutuhkan pintu untuk pergi dari sini, Zelena.”
Zelena tersenyum tipis, bagaimana ia bisa melupakan hal itu?
“Aku akan kembali lagi, Zelena.” Setelah mengatakan itu, Xavier pun menghilang diikuti wangi lavender yang perlahan mulai memudar. Gadis itu menarik panjang dan menutup pintu rumahnya kembali.
“Ah, hantu yang aneh. Dia bahkan berbicara denganku panjang lebar.” Zelena meraih handuk mandinya, gadis itu ingin berendam sebentar sambil menikmati harum lilin aromatherapy yang kemarin dibelinya saat berjalan – jalan di toko pernak – pernik itu.