Bab 1

2649 Words
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Namira sesaat setelah gadis itu turun dari mobil. Matanya melebar karena terkejut dengan serangan yang sangat tiba-tiba itu. Dan tangannya sontak memegang pipinya yang terasa perih karena tamparan tersebut cukup kuat. Matanya langsung menoleh ke seseorang yang dengan seenaknya menampar wajahnya sedemikian rupa. “Maksud lo apa?!” teriaknya kemudian, merasa tak terima dengan perlakuan orang tersebut. “Jangan coba-coba deketin Kana lagi,” jawab lawan bicaranya dengan nada mengancam dan mata yang menyipit tajam. “Siapa yang deketin Pak Kana? Suami lo itu yang ngebet banget ngajak gue kawin.” Wanita yang tak diketahui namanya oleh Namira itu tampak menggeram kesal sebelum pergi begitu saja tanpa menyahuti lebih lanjut perkataannya barusan. Entahlah, ia berpikir bahwa wanita itu malu karena selama ini memang suaminya yang gemar mendekatinya, bukan Namira. Namira memberikan pelototan tajamnya kepada beberapa orang yang tengah menatapnya. Sial, gara-gara wanita itu, ia menjadi pusat perhatian saat ini. Bagaimana tidak, ia baru saja sampai di salah satu restoran untuk makan siang, tetapi seorang wanita asing yang tak ia kenal langsung menyerangnya begitu saja. Ia kemudian mendecak kesal saat merasakan perih yang belum hilang dari wajahnya. Tamparan wanita itu benar-benar luar biasa. Seharusnya ia membalasnya tadi. Selain mendapat tamparan keras, ia juga dituduh melakukan hal yang tidak-tidak. Menyebalkan sekali. “Jadi makan, nggak?” Satu suara itu berhasil membuat Namira sadar bahwa ia tidak pergi sendirian. Ia bersama seorang pria yang juga membuatnya kesal semenjak pertemuan pertama mereka. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, pria itu terlihat santai-santai saja setelah kejadian memalukan tadi. Bukannya menolong, pria itu malah berdiri diam di sampingnya—seolah-olah tak ada kejadian apa pun yang terjadi. “Nggak!” jawab Namira dengan ketus seraya kembali masuk ke dalam mobil. Suasana hatinya berubah menjadi buruk saat ini. Seleranya untuk menyantap makan siang telah menguap habis. Pria yang pergi bersama Namira yang bernama Kevan tersebut hanya mengangkat kedua bahunya saja sebelum menyusul gadis itu yang sudah berada di dalam mobil. “Kamu yakin nggak mau makan? Bukannya tadi kamu bilang kamu laper,” tanya Kevan setelah ia berada di balik kemudi, tepat di samping Namira. “Nggak usah banyak tanya. Anterin aku pulang aja, buruan.” Kevan menghela napas panjang seraya mengubah posisi duduknya menjadi miring ke kiri, menghadap ke arah Namira yang saat ini tampak begitu kesal. “Kalo kamu mau nikah sama—“   “Bisa nggak kamu nggak usah ngomongin soal nikah? Aku baru aja kena musibah. Seharusnya kamu hibur aku,” potong Namira langsung yang kini tengah menatap Kevan dengan kesal. Kevan memilih untuk diam dengan tatapan matanya yang mengarah lurus ke arah Namira. Dan gadis itu menyadari kalau Kevan tengah menatapnya dengan lekat sehingga membuat dirinya sedikit risi. Ia lalu mendengkus pelan sebelum melayangkan pandangannya ke luar jendela, menjauhi tatapan Kevan. Namun, beberapa detik kemudian, Namira dibuat terkejut ketika Kevan tiba-tiba saja memegang dagunya sebelum mengarahkannya untuk menghadap ke arah pria itu. "Pipi kamu merah. Kuat banget ya tamparannya?" tanya Kevan seraya menatap pipi sebelah kiri Namira dengan salah satu tangannya yang masih bertengger di dagu gadis itu. Namira menelan ludahnya kelu saat merasakan tangan Kevan yang begitu lembut menyentuh dagunya. Ia akan kalah kalau pria itu terus bersikap selembut ini kepadanya. Padahal, semenjak Kevan melontarkan ajakan untuk menikah dengannya, ia langsung memasang pertahanan dalam dirinya agar tidak terpengaruh dengan ajakan tersebut. Jujur saja, awal bertemu dengan Kevan saat ia tanpa sengaja menabrak mobil pria itu karena terlalu banyak memikirkan sesuatu yang membuat kepalanya mendadak pusing, ia sempat terpesona dengannya. Dari bagaimana cara pria itu begitu rendah hati memaafkannya tanpa meminta biaya bengkel atas mobilnya yang ia tabrak yang kondisinya bisa dibilang cukup memprihatinkan. Saat pertama kali melihatnya, jujur saja pria itu sangat menarik bagi Namira dari segi penampilan, dan kebaikan hatinya. Namun, buyar sudah kekaguman Namira akan Kevan yang dianggapnya bak malaikat setelah keesokan harinya pria itu menghubunginya dengan alasan meminta ganti rugi atas insiden tabrakan yang ia lakukan.  Namira mungkin masih akan merasa biasa saja terhadap pria itu kalau yang Kevan minta untuk ganti rugi berupa uang, tetapi sialnya pria itu meminta tebusan dalam bentuk lain, yaitu sebuah pernikahan. Karena kegilaannya itu, Namira menobatkan Kevan sebagai pria paling tidak waras di abad ini. Namira bahkan tak pernah mendengar tentang seseorang yang meminta ganti rugi dengan cara menikahinya setelah menabrak mobilnya. Itu benar-benar tidak masuk akal. “Kita ke apartemen saya aja, ya? Di mobil nggak ada obat apa pun,” usul Kevan dengan tangannya yang sudah mengusap lembut pipi Namira yang membuat gadis itu langsung menahan napasnya. Kevan benar-benar merasa kasihan dengan Namira. Wajah gadis itu terlihat sangat merah dengan sedikit goresan luka yang ia yakini berasal dari cincin yang dipakai oleh wanita asing tersebut. Sejujurnya, ia sudah tahu apa yang membuat gadis yang ingin dinikahinya ini mendapat serangan seperti itu. Menurut penyelidikannya dengan bertanya pada sahabat dekat Namira, gadis itu sering menjalin hubungan dengan suami orang. Katanya itu merupakan hobinya.   Awalnya ia juga tidak percaya dengan hal tersebut, tetapi setelah melihat apa yang baru saja terjadi, ia percaya. Gadis ini benar-benar aneh. Di saat gadis lainnya memilih untuk mencari seorang pria yang masih lajang, gadis yang satu ini malah mencari pria beristri. Ada-ada saja. Itulah sebabnya ia tidak berusaha untuk menolong Namira, ia yakin gadis itu lebih tahu apa yang harus dilakukannya karena ia yakin Namira sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti itu. Namira berdeham pelan seraya menyingkirkan tangan Kevan dari wajahnya setelah menyadari bahwa mereka sudah terlalu lama berada dalam posisi seperti itu. “Pulang aja,” ucapnya kemudian, menyahuti usulan Kevan sebelumnya. Kevan menghela napas panjang seraya mengubah posisi duduknya seperti semula lantas menyalakan mesin mobilnya. “Saya masih pengen ngomong sama kamu. Apartemen saya aja, ya?” “Pulang, Kevandra. Aku mau pulang,” jawab Namira seraya menahan agar pekikannya tak keluar dengan matanya yang sedikit melebar saat menatap Kevan. “Iya-iya pulang,” Kevan terkekeh pelan seraya mengacak rambut Namira. Namira langsung menepis tangan Kevan. “Jangan pegang-pegang, bukan mahram,” ketusnya kemudian yang lagi-lagi membuat Kevan tertawa. “Pokoknya saya nggak bakal nyerah sebelum kamu terima ajakan saya untuk nikah sama saya,” Kevan berkata dengan penuh tekad seraya menjalankan mobilnya. Namira hanya memutar kedua bola matanya sembari membuang pandangannya ke luar jendela mobil. Kalau Kevan begitu gigih untuk mengajaknya menikah, maka ia begitu teguh untuk menolaknya. Sampai detik ini pun ia tidak tahu apa tujuan pria itu begitu ingin menjadikan dirinya sebagai istrinya selain karena alasan dirinya yang harus bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan pada pria itu sekitar seminggu yang lalu. Intinya, apa pun alasannya, ia tidak akan pernah menerima permintaan konyol Kevan. Lagi pula, pria itu masih asing dalam hidupnya. Bisa saja Kevan adalah seorang penjahat. Atau yang lebih menyeramkannya lagi, pria itu merupakan narapidana yang sedang kabur. Pemikiran itu berhasil membuat Namira bergidik ngeri. Namira sudah hampir membuka pintu mobil sesaat setelah Kevan memarkirkan mobilnya di pekarangan rumahnya, tetapi pria itu lebih dulu menahan lengannya. Hal itu sontak membuat Namira mengalihkan pandangannya ke arah Kevan dengan alis yang melengkung ke atas. “Apa?” “Biar saya aja yang buka,” jawab Kevan dengan cengiran lebarnya. Awalnya Namira bingung apa yang dimaksud oleh Kevan. Namun, setelah melihat pria itu dengan sigap turun dari mobil lantas membukakan pintu mobil untuknya, seketika ia tersadar bahwa Kevan ingin bersikap layaknya pria gentle pada umumnya yang malah membuat dirinya geleng-geleng kepala. Pria itu terlalu berlebihan, dan tentu saja konyol. “Kamu pulang aja. Besok-besok aja ngomongnya. Aku mau istirahat,” usir Namira setelah ia keluar dari dalam mobil.   Sungguh, setelah kejadian tadi, rasa malasnya untuk melakukan apa pun semakin bertambah. Sejujurnya, ia tidak ingin pergi bersama Kevan tadinya karena hari ini merupakan hari minggu, hari di mana ia akan menghabiskan waktu selama satu harian di rumah untuk beristirahat. Namun, ibunya bilang tidak sopan menolak ajakan Kevan setelah ia menabrak mobil pria itu dan belum memberikan ganti rugi apa pun. Katanya hitung-hitung sebagai penebusan dosa. Ya, setelah pertemuan mereka seminggu yang lalu, Kevan nekad datang ke rumahnya saat ia sengaja mengabaikan seluruh panggilan pria itu. Namira tahu betul ujung dari pria itu yang ingin bertemu dengannya tak lain tak bukan adalah untuk mengajaknya menikah, dengan embel-embel kalau ia harus bertanggung jawab. Kalau saja bisa, Namira mungkin sudah melemparkan segepok uang kepada pria itu sebagai ganti rugi. Sayangnya Kevan terlalu banyak akal hingga membuat Namira tak bisa merealisasikan niatnya agar terbebas dari ketidakwarasan pria itu. Belum lagi sikap sok baiknya di hadapan kedua orang tua Namira yang pada akhirnya  membuat mereka menaruh simpati pada Kevan. Apalagi saat pertama kali bertemu dengan orang tuanya, Kevan membocorkan kejadian di mana Namira menabraknya hingga membuat mobilnya masuk bengkel dan membutuhkan biaya yang mahal untuk memperbaikinya. Makin tak enak hatilah orang tua Namira pada Kevan. Pria itu memang pintar sekali mengambil hati kedua orang tuanya. “Saya masih pengen ngomong sama kamu, Namira.” Namira memutar kedua bola matanya. Ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh Kevan nantinya. Pasti tak jauh-jauh dari keinginannya untuk menjadikan dirinya sebagai istrinya. Rasanya membosankan sekali jika mereka bertemu hanya untuk membicarakan soal itu. Pria itu gigih sekali. Padahal, ia sudah menolaknya berulang kali—dari mulai menggunakan cara yang halus sampai cara yang kasar sekalipun. Namira sudah membuka mulutnya, bermaksud untuk mengeluarkan kalimat pengusiran lainnya agar Kevan enyah dari hadapannya. Namun, suara lain sudah lebih dulu menginterupsi mereka berdua sehingga membuat mulutnya kembali terkatup rapat. “Lho, kok udah pulang? Cepet banget jalan-jalannya?” tanya ibu Namira yang saat itu baru keluar dari dalam rumah bersama suaminya. “Om, Tante,” sapa Kevan seraya menyalami tangan kedua orang tua Namira. “Hari minggu rame banget, Tante. Jadi, kita mutusin untuk ngobrol di sini aja,” tambahnya, menjawab pertanyaan ibu Namira sebelumnya. “Oh, gitu. Ajak masuk dong Kevan-nya, Nami. Mami sama Papi mau arisan dulu,” titah sang ibu yang membuat Namira mendengkus pelan seraya memberi isyarat kepada Kevan untuk ikut masuk bersamanya lewat tatapan matanya yang tak terlihat ikhlas sama sekali. Bagus, Kevan telah benar-benar berhasil mengambil simpati kedua orang tuanya. Otak pria itu memang cerdas sekali. Dan sialnya, ia akan kembali mendengar segala bujuk rayu Kevan yang terus berusaha untuk membuatnya menerima ajakan untuk menikah dengannya.   “Kamu mau ngomong apa? Ngomong aja sekarang. Aku buat minum dulu,” ucap Namira setelah mereka berada di ruang tamu. Ia lalu membuka sepatu bertumit rendahnya terlebih dahulu sebelum meninggalkan Kevan seorang diri. Kevan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum mengambil duduk di salah satu sofa yang ada di sini. Ia lalu tersenyum geli saat mengingat perkataan Namira yang menyuruhnya untuk berbicara sekarang saja. Jadi, Namira menyuruhnya untuk berbicara di saat gadis itu sedang tidak bersamanya? Ada-ada saja. Sekian menit Kevan menunggu sembari melihat-lihat isi rumah Namira, gadis itu akhirnya kembali dengan nampan yang berisi segelas minuman dingin dengan beberapa toples yang berisi kue kering. “Udah selesai ngomongnya?” tanya Namira seraya mengambil duduk di hadapan Kevan setelah menyusun apa yang ia bawa dari dapur di atas meja. Kevan terkekeh pelan. “Kamu nyuruh saya ngomong sama tembok?” “Iya. Aku males dengerin omongan kamu. Pasti nggak jauh-jauh dari ngajak kawin,” Namira memutar kedua bola matanya di akhir kalimatnya. “Saya ngajak kamu nikah, Namira. Bukan kawin.” Lagi-lagi Kevan terkekeh pelan. Namira mendengkus pelan lantas menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa sebelum melipat kedua tangannya di depan d**a dan menatap Kevan dengan malas. “Sama aja. Lagian, alasan kamu untuk nikahin aku itu nggak jelas.” Kevan meminum minuman yang diberikan oleh Namira terlebih dahulu sebelum menyahuti perkataan gadis itu. “Apanya yang nggak jelas? Well, selain karena kamu harus bertanggung jawab, saya ngajak kamu nikah karena saya tertarik sama kamu. Dan umur saya udah nggak muda lagi sekarang. Saya nyari istri, dan saya maunya kamu yang jadi istri saya. Kurang jelas apa lagi alasan saya barusan?” “Tapi aku nggak mau nikah, Kevandra. Dan alasan kamu itu nggak masuk akal. Pernikahan itu nggak main-main. Salah satu penopang yang harus ada di dalam sebuah pernikahan itu cinta. Sedangkan kamu cuma tertarik sama aku.” “Cinta bisa datang kapan aja,” sahut Kevan dengan santai. Namira menatap Kevan tak percaya seraya memilih untuk tak melanjutkan percakapan ini. Rasanya percuma saja ia mengatakan segala macam hal kepada Kevan, pria itu akan terus membalasnya dan mematahkan semua alasan yang terlontar dari bibirnya. Terjadi keheningan selama beberapa saat karena keduanya sama-sama memilih untuk bungkam. Namun, tak lama kemudian Kevan kembali membuka suaranya. “Namira,” panggilnya kemudian. Namira menolehkan pandangannya ke arah Kevan dengan malas. “Apa?” “Bapak kamu pilot, ya?”   Mulut Namira sontak terbuka setengah dengan matanya yang sedikit melebar setelah mendengar pertanyaan Kevan barusan. Ia tahu pertanyaan itu tidak mengarah pada arti yang sebenarnya karena ia tahu Kevan sudah tahu apa pekerjaan ayahnya. Dan rasanya ia ingin mengubur dirinya saat ini juga setelah yakin bahwa pertanyaan Kevan barusan bermaksud untuk menggombalinya. Ya Tuhan! Hidup di zaman apa pria yang satu ini? “Kok tahu?” Dan Namira benar-benar ingin mengubur dirinya saat pertanyaan tersebut keluar dari mulutnya. Entahlah, ia hanya ingin memastikan apakah pikirannya barusan benar atau tidak. “Karena kamu telah menerbangkan hatiku,” jawab Kevan dengan cengiran lebarnya—seolah tak merasa malu sama sekali setelah mengatakan kalimat tersebut. Namira memasang wajah datarnya, tak merasa terharu ataupun bahagia sama sekali setelah mendengar rayuan Kevan barusan. Yang ada malah ia ingin sekali mengacak-acak wajah pria itu karena telah merayunya dengan rayuan basi seperti itu. “Kamu nggak suka, ya?” Kevan meringis pelan setelah menyadari ekspresi yang ditunjukkan oleh Namira. Namira memejamkan matanya sejenak sembari menghela napas panjang untuk meredakan kekesalannya karena pria yang satu itu telah berhasil membuang waktunya untuk hal yang sia-sia. “Kamu pulang sekarang aja,” ucapnya kemudian, kembali memberikan pengusiran kepada Kevan. Kevan tersenyum kecil, merasa tak enak hati dengan Namira. “Maaf, saya pikir semua perempuan suka dirayu seperti itu.” Sungguh, Namira benar-benar tak mengerti dengan Kevan. Pria itu terlihat begitu polos—seakan-akan tidak tahu bagaimana caranya merayu perempuan dengan baik dan benar, sesuai dengan perkembangan zaman. Dan saat itu pula rasa ingin tahunya akan sosok Kevan mendadak muncul dalam dirinya. Hanya ada tiga kemungkinan kenapa Kevan bersikap seperti itu; yang pertama, pria itu merupakan tipe pria kaku yang tidak peduli akan hal-hal seperti itu. Yang kedua, pria itu tidak pernah pacaran sama sekali. Dan yang ketiga, pria itu merupakan seorang gay. Namira bergidik ngeri saat membayangkan kemungkinan yang ketiga. “Ada lagi yang mau kamu omongin?’ tanya Namira, mengubah topik pembicaraan sebelumnya. “Menikahlah dengan saya, Namira. Saya serius,” balas Kevan dengan sungguh-sungguh. Dan Namira dapat melihat keseriusan di raut wajahnya. Namira menghela napas panjang lantas menatap Kevan dengan lekat. “Aku nggak bisa nikah sama kamu, Kevan.”   Namira benar-benar bingung harus menolak Kevan dengan cara apa lagi. Ia bisa dikategorikan tidak waras jika menikah dengan orang yang baru ia kenal selama satu minggu ini. Mengerikan saat membayangkan pernikahan tanpa adanya sebuah cinta di dalamnya. Ia hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Dan ia ingin menikah dengan orang yang benar-benar dicintainya, bukan dengan orang seperti Kevan yang mengajaknya menikah dengan alasan yang tidak masuk akal. “Kalau saya bilang saya mau menikah dengan kamu karena saya cinta kamu, apa kamu bakalan terima?” Namira menatap Kevan seraya menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Mana ada orang jatuh cinta sementara mereka baru saling kenal selama satu minggu. “Lebih baik kamu pulang aja,” ia kembali mengusir Kevan untuk yang kesekian kalinya. “Saya cinta kamu,” ucap Kevan dengan lugas, tak menanggapi pengusiran Namira sama sekali. “Pulang, Kevan. Aku bilang pulang,” sahut Namira yang mulai kesal dengan pria itu. Kevan bangkit dari duduknya dengan pandangan yang masih mengarah lurus pada Namira yang terlihat sedang menunggu apa yang akan dilakukannya setelah ini. “Oke, saya pulang. Besok saya datang lagi. Saya nggak akan nyerah gitu aja, Namira.” Kevan menepuk pelan puncak kepala Namira sebelum bergegas pulang, meninggalkan Namira yang merasa pusing dengan kegigihan pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD