Prolog
“Ayo, kita menikah.”
Satu kalimat itu berhasil membuat Namira tersedak minuman yang baru saja melintasi tenggorokannya.
“Kamu gila, ya?” tanyanya kemudian seraya menahan agar pekikannya tak keluar.
Pria yang duduk di hadapan Namira hanya menggelengkan kepalanya dengan raut wajahnya yang tampak tak merasa berdosa sama sekali setelah melontarkan ajakan tersebut.
“Enggak. Saya cuma pengen nikah sama kamu. Anggap saja itu sebagai pertanggungjawaban kamu karena sudah menabrak saya.”
Namira menghela napas panjang seraya mengibaskan tangannya di sekitar wajahnya, merasa kepanasan walaupun pendingin ruangan di kafe ini dalam kondisi menyala. Perkataan polos pria itulah yang membuat dirinya merasa gerah seperti ini. Bagaimana bisa pria itu mengajaknya menikah segampang itu? Hanya karena ia menabrak mobil pria itu sampai membuat bagian depan mobilnya nyaris hancur, ia harus menikah dengan pria aneh itu. Yang benar saja. Tanggung jawab, sih, tanggung jawab, tetapi tidak dengan cara menikah juga. Memangnya menikah itu hanya sekadar ijab kabul saja apa.
“Aku rasa pembicaraan ini sudah selesai,” ucap Namira seraya mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan untuk membayar minuman yang ia beli lantas meletakkannya di atas meja.
“Kamu mau ke mana?” tanya pria itu saat melihat Namira yang sudah bangkit dari duduknya.
“Pulang.”
“Biar aku antar.”
“Enggak!” teriak Namira yang berhasil membuat seluruh pasang mata menoleh ke arahnya. Ia lalu meringis pelan karena merasa malu sebelum berderap meninggalkan pria itu dengan kakinya yang melangkah cepat.
Sepeninggal Namira, pria itu mendesah pelan sebelum menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi lantas menggulung lengan kemejanya sampai siku. Bagaimanapun juga, ia harus membuat Namira menikah dengannya dan menjadi istrinya.