7. Jalan Buntu

1174 Words
"Ibu... Bu...." Ayah segera memapah tubuh ibu yang terduduk. Aku dan Laras segera membantu Ayah. "Tolong Pak RT, istri saya mempunyai penyakit jantung. Dia pasti terkejut dengan berita ini. Saya harus segera membawanya ke rumah sakit." "Ibu-ibu...Tolong bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Kita akan membahas masalah ini nanti. Saya harap ibu-ibu berpikir dengan kepala dingin jangan terbawa emosi." "Pokoknya kita harus segera menyelesaikan masalah ini Pak RT. Jangan sampai nama kampung kita tercemar karena ulah si Rani", ucap Bu Broto dengan berapi-api. "Benar tuh Pak RT", sahut ibu-ibu yang lainnya. "Baik-baik. Untuk sekarang saya mohon pengertiannya." "Ibu-ibu, saya mohon ibu saya harus segera mendapat pertolongan. Saya mohon kebaikan ibu-ibu. Saya bersedia menerima semua sanksi tapi untuk sekarang biarkan kami membawa ibu saya ke rumah sakit terlebih dahulu", ucapku sambil berlinang airmata. "Iya, kasihan itu Bu Ambar. Ayo kita pulang dulu." "Iya, iya", sambung yang lain. Barulah ibu-ibu itu mau membubarkan diri dan kami bergegas memanggil taksi menuju rumah sakit terdekat. Segera kami sampai di rumah sakit dan membawa ibu ke ruang IGD. Dokter segera menangani ibu kami yang menahan sakit di dadanya. Kami menunggu di ruang tunggu dengan perasaan cemas. Tak ada satupun yang bicara sampai akhirnya ada panggilan dari suster. "Keluarga Ibu Ambar. Silahkan masuk." Kami berjalan masuk ke ruangan dan menemui dokter yang menangani ibu. "Saya suami Ibu Ambar. Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" "Saya dokter Dita, Bu Ambar memerlukan penanganan yang intensif. Jadi untuk sementara waktu, kami akan memindahkan Ibu Ambar ke ruang ICU. Kita akan melihat perkembangan beliau dalam 2 hari ini." "Baik Dok. Terimakasih." Ayah pergi mengurus administrasi dan surat-surat yang diperlukan sedangkan aku menunggu di ruang tunggu. "Ras, ini semua salah Mbak. Ibu jatuh sakit seperti ini. Andai Mbak bisa menggantikan ibu yang sakit, Mbak mau. Harusnya Mbak saja yang menanggung semua kesalahan ini." Aku bersandar di pundak Laras sambil menangis sesegukan. "Mbak, kita hadapi semua masalah sama-sama. Kita ini keluarga jadi kita harus selalu mendukung." Laras merangkul pundakku dan menepuk-nepuk lembut. "Gak Ras. Mbak akan selesaikan masalah yang Mbak lakukan. Mbak tidak ingin kalian terluka." Tiba-tiba Ayah sudah berdiri di hadapan kami. "Ayah telah gagal mendidik putri Ayah. Ayah sungguh kecewa dengan kelakuanmu. Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan tapi Ayah tidak bisa membantu. Pergi. Ayah hanya mempunyai 1 putri sekarang yaitu Laras." Ucapan Ayah menghujam jantungku. Bibirku gemetar dengan airmata yang terus mengalir. "Ayah, Laras percaya Mbak Rani difitnah. Mengapa Ayah sekejam ini? Mbak Rani sedang terpuruk, kita harusnya membelanya bukan seperti ini." "Kamu lihat ibu terbaring di ICU. Ayah tidak ingin kehilangan ibu. Ayah harus bertindak setegas ini karena Ayah menyayangi kalian. Bila benar ini fitnah, maka dia harus membuktikan dirinya sendiri barulah Ayah akan memaafkannya. Tapi bila ini benar, menurutmu apa yang akan terjadi kepada ibu?" "Tapi Yah?" "Sudah Ras. Jangan membela Mbak lagi. Ayah benar Mbak harus bertanggung jawab. Mbak harus pergi agar ibu tidak terbebani dengan masalah Mbak." "Ayah, Rani minta maaf. Rani sungguh bukan pelakor dan Rani akan membuktikan itu. Rani pamit, Yah." Aku mencium punggung tangan Ayah lalu membalikkan tubuh. Aku berjalan secepat mungkin tanpa menoleh ke belakang. Aku memanggil taksi lalu pulang ke rumah untuk mengambil barang-barang. Airmataku masih terus mengalir mengingat setiap ucapan Ayah, mengkhawatirkan keadaan ibu dan semua yang terjadi bercampur aduk. ***** "Bim, apa yang terjadi sama lu dan Rani di villa? Lu udah lihat video yang viral di media sosial." "Nic, congrats atas kelahiran putri pertama lu. Tapi lu heboh banget. Emang ada video apa?" Nico segera mengirim video tersebut ke Bima. "Gua udah kirim, lu lihat sendiri deh." Bima segera membuka video yang berdurasi kurang lebih 5 menit itu. "Sial, dasar wanita itu. Apa maunya dia?" "Siapa maksud lu?" "Claudia. Semalam dia melaporkan gua ke kantor polisi atas tuduhan perselingkuhan dan gua udah minta dia tidak melanjutkan kasus ini. Gua akan menuruti apa saja yang dia mau tapi dia malah bertindak sejauh ini?" "Jadi benar lu dan Rani tidur bareng? Gua gak percaya. Apa lu memperkaos si Rani?" "Sembarangan lu. Justru Rani yang merangsang gua. Dia membuat gua b*******h dan akhirnya kita melakukannya." "Gak mungkin. Setahu gua Rani itu polos dan lugu. Dia juga sudah mempunyai pasangan dan gua dengar dia dilamar dan mau menikah." "Justru yang polos dan lugu itu menghanyutkan. Dia hebat di ranjang dan gua puas banget. Andai gua kenal Rani lebih awal sebelum Finna. Gua akan milih Rani." "Bim, Bim....Kalau sampai Om Kuncoro tahu masalah ini. Bisa digorok leher lu." "Papih masih di luar negeri dan gua rasa dia gak bakal tahu kalau gak ada yang bocor." "Maksud lu, gua gitu?" "Bukan... Udah lu baru jadi Bapak. Lu jaga anak istri lu. Gua bakal urus masalah ini. Jadi lu gak usah khawatir." "Okelah. Gua percaya lu aja." Nico mengakhiri panggilannya kepada Bima. ***** Aku baru saja turun dari taksi dan ingin masuk ke halaman namun tiba-tiba Bu Broto melempar sebutir telur ke kepalaku. "Bau amis apa ini? Oooo, bau bau pelakor ini. Ibu dan anak sama saja tukang rebut laki orang." "Bu Broto, tolong jangan bawa-bawa nama ibu saya. Saya akan berkemas dan segera pergi. Jadi saya harap masalah ini selesai, jangan ganggu keluarga saya lagi." "Cihhh, yang pengganggu itu ibu kamu. Kalau tidak ada ibu kamu, saya pasti yang jadi istri Mas Tio. Rasain sekarang dia dapat karmanya." Airmataku yang mengering mulai berkaca-kaca. "Bu, tolong jaga ucapan ibu. Saya menghargai ibu karena Anda lebih tua. Jangan melewati batas." Bu Broto membuang mukanya. Lalu datanglah sebuah mobil dan itu mobil Mas Ryan. Tubuhku seketika kaku, mataku mengarah ke arah mobil. Mas Ryan turun dari mobil dan segera menghampiriku. "Rani, semua itu tidak benar kah? Video itu pasti bukan kamu? Wanita itu hanya mirip dengan kamu? Ran, katakan semua yang aku ucap benar." Mas Ryan menatapku dengan mata sendu dan memegang kedua lenganku lalu menguncang-guncangkan pelan. Mataku yang berkaca-kaca akhirnya tumpah ruah. Bibirku tak dapat berucap. Aku tidak menyangka video itu menyebar luas dengan cepat dan momen ini, aku belum siap menghadapi Mas Ryan. "Si Rani emang benar pelakor. Video itu buktinya. Dia sudah menjual diri ke bosnya. Ibunya sampai kena serangan jantung karenanya." Sahut Bu Broto yang membuat suasana diantara kami menjadi panas. "Ran..... Aku ingin mendengar jawabanmu. Jawab Ran." "Mas, aku tidak menepati janji kita. Maaf.... " Mas Ryan seketika melepas tangannya dari lenganku dan melangkah mundur. "Tidak...., tidak mungkin." Mas Ryan menarik rambutnya, berpaling dariku dan masuk ke mobilnya lalu melaju meninggalkanku yang terus menatapnya berharap Mas Ryan percaya kepadaku tapi ternyata dia malah pergi. "Rasain.... " Aku tak menghiraukan Bu Broto dan segera masuk ke rumah. Aku membersihkan telur yang mengotori rambutku lalu berkemas. Aku meninggalkan rumah dengan menjinjing tas sedang berisi beberapa pakaian. Aku berjalan menelusuri jalan di pandangi tetangga-tetangga yang berbisik. Kepalaku terasa pusing, sedari pagi belum ada makanan yang masuk tapi aku terus berjalan tanpa arah tujuan. Pikiranku kacau, hatiku hancur, semua berubah hanya dalam semalam. Aku merasa semua jalan terasa buntu. Tanpa sadar aku telah berada di pinggir rel kereta api. Dan terlintas dalam pikiranku untuk mengakhiri semua ini. Aku berjalan menuju perlintasan kereta api dan berdiam di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD