PART 2

745 Words
"Kau mencari Kiara? Dia baru saja dibawa pergi oleh teman lelakinya. Kudengar ia pingsan. Jadi mungkin dia dibawa kerumah sakit", seru salah satu pengguni kamar lain. "Kau tahu dirumah sakit mana ia dibawa?",tanya ku. "Mungkin tak jauh dari sini. Aku lupa namanya , tapi ada rumah sakit disamping taman kota. Coba saja kau kesana. Itu rumah sakit terdekat dari sini", jawabnya. "Aku tahu itu dimana. Terimakasih sebelumnya", seruku. Aku berlari dan segera saja membawa mobilku dengan kecepatan diatas rata-rata menuju rumah sakit itu. Nafasku memburu mencari letak kamar inap Kiara. Dan tepat disana kulihat lelaki itu kembali. Tapi dia mengenakan sebuah jas dokter. Apa dia seorang dokter? Aku segera saja berlari menghampirinya. "Bagaimana keadaan Kiara?", aku bertanya padanya. Dia hanya terdiam menatap heran kearahku. "Kudengar Kiara dibawa rumah sakit. Bagaimana keadaannya? Apa dia baik baik saja?", tanya ku tanpa henti kepadanya. "Siapa kau?", jawabnya sembari menatap tajam kedua mataku. "Aku teman sekantornya. Bisa aku melihatnya? Kumohon", jawabku. Dia hanya terdiam dan tak lama dia menganggukkan kepalanya sembari membuka pintu kamar dimana Kiara dirawat. Aku terdiam melihat keadaan Kiara saat ini. Tepat didepan mataku dia terbaring lemah dibantu selang oksigen untuk bernafas. Dia seperti bukan Kiara yang kukenal selama ini. Selama ini tak pernah kudengar bahwa Kiara sakit atau ijin dari kantor,bahkan tahun lalu ketika ia demam ia tetap bersikeras untuk masuk kerja. Tapi sekarang dia benar-benar terbaring tak berdaya. Sebenarnya apa yang telah terjadi padanya. "Dia terlalu banyak minum obat penenang. Tapi sekarang keadaannya sudah mulai membaik. Jangan khawatir", seru dokter itu disampingku. "Obat penenang? Apa maksudmu?" "Maaf, aku tidak bisa memberitahumu. Kau tunggu saja dia sadar dan tanyakan sendiri padanya. Tapi ingat, jangan memaksanya jika ia tidak mau bercerita", jawab nya sembari menepuk pundakku pelan dan melangkah pelan menuju pintu keluar kamar Kiara. Kulangkahkan pelan kedua kakiku menuju kamar rawat Kiara sembari membawa satu kantong makanan dan segelas kopi hangat. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam dan diluar sana lagi-lagi hujan tak kunjung berhenti sedari sore tadi. Langkahku terhenti tepat diambang pintu, ketika kulihat Kiara sudah sadar dan duduk terdiam melihat kearah luar jendela. "Kau sudah bangun?", kututup pelan pintu kamar itu sembari berjalan pelan tepat disamping ranjangnya. Kiara tak menjawab dan hanya terdiam menatap ku dengan mata terkejut. "Kau baik-baik saja? Kubawakan beberapa buah,kau mau makan yang apa biarku kupaskan untukmu", seru ku sambil tersenyum padanya. "Kenapa kau ada disini? Dari mana kau tahu aku ada disini?" , tanya nya lirih padaku. Aku hanya tersenyum dan memulai mengupas satu buah apel untuknya. Kiara masih menatapku penuh dengan tanda tanya dikepalanya. Aku terdiam menatap wajahnya yang masih sedikit pucat. Kuletakkan kembali buah apel tadi yang belum semua selesai kukupas diatas meja. "Seharusnya itu pertanyaan untukmu. Bukan untukku.Kenapa kau ada disini? Bagaimana bisa kau ada disini?" Tatapan mata kami bertemu tak ada jawaban yang keluar dari mulutku ataupun Kiara. Hening hampir lima menit lebih,yang terdengar hanya suara nafas kami berdua yang memenuhi kamar rawat ini. Tak berselang lama Kiara memutuskan tatapan kami, dia terduduk dan menghirup nafas berat dan bersikeras mencoba menahan sesuatu untuk jatuh dikedua pipinya. Dan usahanya berhasil, dia kembali menatapku dan tersenyum manis padaku dan berkata, " aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan. Jangan khawatir aku baik-baik saja". "Jangan tersenyum seperti itu, aku tahu kalau kau tidak baik-baik saja. Lebih baik kau menangis dari pada tersenyum seperti itu. Senyum itu sangat menyakitkan untukku". Perlahan aku pun bangkit dan terduduk tepat dipinggir ranjangnnya. Kugenggan tangan Kiara dengan perlahan dan dapat kurasakan bahwa tangannya mulai bergetar. Kueratkan genggamannku dan seketika kutarik tubuh Kiara kedalam pelukanku. Dapat kurasakan tubuh Kiara mendadak kaku dengan pelan kuusap punggungnya secara perlahan mencoba menghilangkan terkerjutannya. Dengan pelan semakin kueratkan pelukanku padanya. Dan aku mulai membisikkan sesuatu tepat ditelinga. "Aku tidak akan bertanya apa pun tentang masalah ini. Aku akan menunggumu ketika kau siap untuk bercerita padaku. Tetapi aku mohon padaku, selama waktu menunggu itu jangan pernah berbohong padaku. Jangan katakan kau baik-baik saja ketika kau ternyata sedang tidak baik. Jangan menampilkan senyum palsumu dihadapanku. Jangan bertingkah seperti itu. Itu sangat menyakitkan untukku. Menangislah jika kau merasa tidak baik. Menangislah dihadapanku. Aku tidak akan bertanya apapun. Cukup menangislah padaku. Hanya dihadapanku" "Dengan begitu beban ataupun luka yang kau simpan akan hilang secara perlahan. Tidak semuanya bisa kau tutupi dengan senyuman. Sampai tiba saatnya, ketika kau lelah untuk menangis dan kau sudah siap untuk berbagi lukamu padaku, aku akan dengan senang hati menyambut luka itu. Bisakah kau melakukannya?" Kiara terdiam tidak mengeluarkan satu kata pun sama sekali. Kedua bola matanya terpejam, dapat kudengar isakan kecil tertahan dimulutnya. Pertahanan yang mati-matian ia buat akhirnya runtuh juga. Isakan itu semakin lama terdengar sangat jelas memenuhi ruangan ini. NEXT...... 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD