1] Zhafran Aldric Dewa Anggara

1546 Words
                             -Tunggu saja, aku akan mencuri hatimu- Zhafran sedang memandangi wajah wanita yang tertidur lelap sambil memeluknya. Tangan kanan wanita cantik itu menindih dadanya, sedang kakinya bertumpu pada kaki Zhafran, membelitnya dengan erat. Wajahnya begitu damai. Tidak ada sedikit pun raut wajah datar yang biasa ditampilkannya di depan Zhafran. Sungguh berbeda jika dia dalam keadaan sadar. Entah kenapa, Zhafran lebih menyukainya yang seperti ini. Lebih manis. Zhafran membelai rambut hitamnya yang panjang dengan sebelah tangan yang bebas, setiap helainya lembut. Pandangannya jatuh pada bibir merah menggoda milik wanita itu. Insting lelakinya mendorong otaknya untuk segera mencicipi bibir itu. Dia mengecup bibir itu sekilas lalu berbisik tepat di telinga wanitanya. "Bangun, Sayang." "Eummm." Mata wanita cantik di pelukannya mulai terbuka. Wanita itu memandanginya sebentar. Sadar bahwa tangan dan kakinya membelit tubuh Zhafran, wanita itu langsung menjauhkan tangan dan kakinya. Beringsut mundur. Menjauhi Zhafran. Wajah datar yang sudah familier ditunjukkan lagi pada Zhafran. Zhafran mencekal pergelangan tangan wanita itu begitu ia bermaksud turun dari ranjang. "Mau kemana?" tanya Zhafran pelan. "Mandi," jawabnya cepat. Zhafran menggeleng dengan tegas. Menyampaikan maksud bahwa wanita itu tidak boleh beranjak dari ranjang. Zhafran menarik tubuh wanita itu agar mendekat lalu menyapu bibirnya dengan lembut. Mata wanita yang menatap Zhafran tajam, menyiratkan penolakan. Tanpa peduli dengan tatapan mengancam yang diberikan, Zhafran langsung melanjutkan aktivitasnya. Cukup satu ciuman saja, maka setelahnya wanita itu tidak akan menolak apa pun yang akan Zhafran lakukan. “Z...” Suara indah wanita itu membuat Zhafran tersenyum dan menjadi lebih semangat untuk berbuat lebih. Sepanjang pagi, Zhafran memuja wanita itu. Dia begitu menyukai ekspresi wajah wanita itu saat memangil namanya. Hanya saja Zhafran tahu diri, sebanyak dan sesering apapun Zhafran memujanya, Zhafran tetap tidak akan bisa menyentuh hatinya. Ada jarak yang begitu lebar antara hati Zhafran dan hati wanita itu. Mereka berdua menarik napas berkali-kali karena sempat kekurangan pasokan oksigen. Wajah wanita disamping Zhafran sudah kembali berubah datar. Zhafran bahkan sering berpikir apakah yang menemaninya barusan adalah tembok cina? Bukan seorang wanita. Karena wanita yang seringkali menemaninya di masa silam, ekspresinya sangat menyenangkan untuk dilihat tidak datar seperti wanitanya itu. Wanita di sampingnya beranjak turun dari ranjang dengan selimut tebal yang dililitkan menutupi tubuhnya. Mata Zhafran mengekori langkah wanita itu sampai dia masuk ke kamar mandi. Beberapa detik kemudian, suara tangisan terdengar sampai ke telinganya. Begitulah wanita itu, sejak enam bulan lalu, berulang kali melakukan hal yang sama. Menarik diri lebih dulu setelah aktivitas mereka selesai dan diam-diam menangis di kamar mandi. Membuat Zhafran semakin ingin mencekik lehernya sendiri. Apakah dia tidak menikmati apa yang terjadi antara kami? Tetapi kenapa wajahnya justru mengisyaratkan bahwa dia sangat menikmati perlakuanku?  Dan Zhafran terus saja bertanya-tanya. Zhafran masih termangu di atas ranjang saat pemilik wajah tanpa ekspresi itu keluar dari kamar mandi. Matanya sembab karena habis menangis. Zhafran turun dari ranjang dan menghampirinya.         "Ada apa?" Pertanyaan sama yang dilontarkan Zhafran sejak enam bulan lalu setiap kali wanita itu menangis. Jawaban sama berupa gelengan kepala juga terus saja dia terima.  Wanita itu kemudian melenggang keluar kamar dengan santai, seakan tidak terjadi apa-apa. Meninggalkannya yang terdiam sambil memandangi kepergian wanita itu. Zhafran menarik napas lelah lalu masuk ke kamar mandi. Dia memerlukan air dingin untuk membuat otaknya kembali dingin. Selesai mandi dan berpakaian Zhafran menuju ruang makan. Makanan untuk sarapan sudah tersaji. Dia duduk berdampingan dengan wanita itu. Wanita itu mengambil piringnya lalu mengisinya dengan nasi goreng yang dibuatnya. Seperti biasa,  menjalankan perannya dengan baik. Mereka makan dalam diam.  "Kamu mau ke butik?" Wanita itu mengangguk pelan. "Aku antar kalau begitu." Wanita itu memperlihatkan kunci mobil yang berada di tangan kanannya. Niat baik Zhafran ditolak. "Aku berangkat sendiri saja." Zhafran mengangguk, mengiyakan keinginannya. Zhafran harus tahu diri bahwa ini adalah penolakan lagi untuknya.  Zhafran menarik tubuh wanita itu agar merapat padanya lalu mencium bibirnya sekilas. "Hati-hati di jalan," ucapnya setelah mengakhiri ciuman. Mereka berjalan bersama menuju carport. Menaiki mobil masing-masing. Zhafran membiarkan mobil wanita itu lebih dulu keluar. Baru mobilnya menyusul di belakang. *** Begitu sampai di depan ruang kerjanya, Zhafran langsung membuka pintunya dan membantingnya agar tertutup. Tidak dipedulikan lagi sekretarisnya yang berjengit kaget karena kerasnya suara pintu hasil bantingannya, dinding pun ikut bergetar. Bahkan jika pintu itu rusak pun dia tidak peduli. Suasana hatinya selalu buruk setiap kali wanita itu menolaknya. "Kau menakuti pegawaimu, brother." Zhafran memberikan tatapan malas pada lelaki yang sedang berbicara dengannya. Tanpa disuruh, lelaki sudah duduk didepan Zhafran sambil melipat kedua tangannya di d**a. "Kau masih belum bisa menaklukan wanitamu itu? Ini sudah enam bulan bro. Mana sifat penakluk yang kau bangga-banggakan dulu itu? Sudah lenyap, huh?" "Diamlah, Rivanno! Atau kau lebih suka kutendang dari kantor, hah?" "Like i care, huh? Aku masih punya kantor sendiri meskipun kau tendang dari sini," cibirnya meremehkan Zhafran. "Akui saja jika wanita itu membencimu, Z. Lalu serahkan yacht senilai enam milyar itu padaku." "Tidak semudah itu bro, tunggu saja tanggal mainnya," balas Zhafran percaya diri. Kehilangan yacht senilai enam milyar? Mana mungkin aku rela. Aku harus bisa mendapatkan hatinya. Harus! "Waktumu tinggal dua bulan lagi, brother," seru Rivanno mengingatkannya. Zhafran mengangguk pelan tanda mengerti. "Bagaimana gadismu? Masih betah di luar negeri?" Zhafran menyeringai saat mengeluarkan pertanyaan mematikan itu. Rivanno mengangkat bahu dengan malas. Wajahnya berubah muram. Tentu saja dia harus prihatin pada dirinya sendiri sebelum mengejek Zhafran habis-habisan.  Perlukah Zhafran menceritakan tentang lelaki di depannya? Rivanno Alamsyah Dipa Auriga—putra sulung Om Oca dan Tante Andien—yang punya nama sama panjang dengannya, karena orang tua mereka tidak pernah mau kalah—yang juga tetangganya karena rumah mereka bersebelahan. Usianya selisih dua tahun dengan Zhafran, Zhafran yang lebih tua. Tetapi karena Rivanno mewarisi gen Tante Andien yang suka loncat-loncat kelas saat sekolah, akhirnya Rivanno sekelas dengannya saat SMA. Saudaranya itu juga sedang mati-matian mengejar gadis yang terang-terangan menolaknya sejak SMA. Nasib mereka berdua sebelas-dua belas. Bedanya adalah meskipun tidak mendapatkan hatinya, Zhafran sudah berhasil mendapatkan raga wanita yang dia kuinginkan. Sedang Rivanno tidak mendapatkan keduanya, baik hati maupun raga gadis itu. "Cari gadis lain saja," ucap Zhafran memprovokasi. Dia bukannya berniat jahat pada saudaranya sendiri, dia justru kasihan karena Rivanno terus saja menunggu gadis yang sama selama tujuh tahun lebih. Sedangkan gadis yang dia tunggu mengabaikannya terus-menerus. "Kau sendiri tidak mencari gadis lain?" ucap Rivanno mencetuskan pertanyaan yang dia sendiri tahu jawabannya. Zhafran mengangkat bahu sebagai balasan untuk pertanyaan saudaranya. Intinya mereka sama, sama-sama bernasib buruk dan hanya mencintai satu orang saja meskipun di luar sana banyak yang mengejar mereka. Banyak yang bilang mereka b******k karena sering berganti wanita, tetapi orang lain tidak tahu bahwa tingkah liar mereka hanyalah pelampiasan dari hati mereka yang terluka. *** Rivanno sudah keluar dari ruangannya sejak satu jam yang lalu. Seperti biasa, Zhafran tidak membiarkan siapapun masuk ke ruangannya jika tidak penting. Bahkan kepala staf yang ingin menyampaikan hal penting hanya berani mengutarakan kepentingannya lewat telepon. Zhafran terkenal arogan dan keras kepala di sini. Hanya Rivanno tahan dengannya dan bebas keluar masuk ruangannya. Kadang kala, pegawainya malah menitipkan pesan pada Rivanno langsung. Zhafran sedang mengecek laporan bulanan saat ponselnya di atas meja bergetar. Ia melirik caller id lalu menjawab panggilan dengan cepat. "Ada apa?" “....” "Ya." Zhafran beranjak dari kursi panasnya dan melangkah menuju pintu. Pemilik wajah yang membuatnya gila setiap harinya langsung terlihat begitu dia membuka pintu. Wajahnya lagi-lagi datar ditambah dengan sorot matanya yang menyiratkan kekesalan. Paduan yang sempurna. Harimau saja akan lari jika melihatnya. Sayangnya Zhafran lebih tangguh dari harimau itu sehingga dia bisa bertahan selama enam bulan ini dengan sosok yang berada di hadapannya sekarang. Zhafran menoleh pada sekretarisnya yang memasang wajah ketakutan. Sepertinya mereka berdua sempat bersitegang. "Lain kali biarkan dia langsung masuk!" Sekretarisnya mengangguk dalam-dalam. "Masuklah, kita bicara di dalam." Wanita itu berjalan di depannya. Zhafran menutup pintu lalu menyusulnya. Zhafran menghampiri kulkas mini di ruangannya lalu mengambil dua kaleng softdrink dan meletakkannya di atas meja. Kemudian mengambil posisi duduk di sofa pojok ruangan—tempat wanita itu juga duduk.  "Ada apa?" Tanya Zhafran tanpa basa-basi. Dia sudah mengenal betul wanita di depannya sekarang. Wanita itu tidak akan mau repot-repot menemui dirinya jika tidak ada hal penting. Jadi kedatangannya pasti membawa kabar penting. Dan itu pastilah berhubungan dengan dirinya. "Aku mau ke Paris dua hari lagi. Sendirian," jawabnya dengan malas. "Sendirian? Fashion show lagi?" tanya Zhafran lagi. Maksudnya sendirian sebenarnya adalah 'kau tidak boleh ikut!' Jadi secara tidak langsung dia tidak menginginkan Zhafran mengikutinya. Tentu saja Zhafran tidak akan membiarkannya pergi sendirian. BIG NO! Wanita itu mengangguk. "Biarkan aku pergi!" "Kalau aku tidak mengizinkan?" Zhafran memicingkan mata untuk melihat ekspresi wanita itu.  "Aku akan tetap pergi. Kamu tidak punya hak melarangku!" sahutnya tegas. Zhafran mencengkeram kedua lengan wanita itu lalu memberikan tatapan membunuh. "Aku tidak punya hak melarangmu, kamu bilang? Kamu lupa siapa aku, Kamillia?" Wanita yang dipanggil Kamillia itu balas menatap Zhafran, tidak takut sedikitpun dengan aura membunuh yang menyebar di sekeliling mereka. "Lalu apa maumu?" "Kau yakin ingin mendengar mauku, Kamillia?" Kamillia kembali mengangguk. "Cepat katakan sebelum aku berubah pikiran!" "Pergi bersamaku atau tidak sama sekali," ucap Zhafran memberikan penawaran. Kamillia terlihat berpikir lalu mengangguk lemah. Mungkin dia sadar bahwa Zhafran akan sulit untuk dibantah. Jika Zhafran tidak pergi bersamanya, dia juga tidak akan bisa meninggalkan negara ini. Zhafran pasti menjamin hal itu. Zhafran lepaskan tangannya dari bahu Kamillia. Ditariknya tubuh Kamillia mendekat lalu berbisik ditelinganya.  "Kau tidak akan kemanapun tanpaku, Kamillia. Jangan lupa kalau aku adalah suamimu, Hon!” ***                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD