Bab 3

1334 Words
Suara papan ketik yang saling bersahutan di ruangan berukuran tiga kali empat meter. Tatapan fokus dan sesekali tangannya meraih botol minum didekatnya. Desiran kipas angin di pojok ruangan mendinginkan ruangan kecil tersebut dari terpaan panas sang surya di kala siang hari ini. Dering ponsel disakunya menghentikan, jemarinya menari di atas papan ketik tersebut. “Assalamualaikum” "Waalaikumsalam Nak, gimana nanti pulang kan?" “Iya, Mah. Pulang kok nanti sore ini ngebut buat laporan kasus kemarin” "Gimana luka kamu? Udah di obati belum. Ganti perbannya jangan lupa" “Udah mendingan kok, Mah. Gak usah khawatir” “….” “Sudah tadi, Mamah sehat-sehat juga” “Wassalamualaikum Nak" “Iya, Waalaikumsalam Mah” . . Di lain tempat, di salah satu kantor redaksi di Jakarta, terlihat seorang gadis tengah berkutat dengan dua komputer yang menyala bersama. Ketikan di papan ketik terus berlanjut disertai gerutuan malas menahan kantuk. “Dih, kapan kelarnya ini berita, perasaan dari tadi nambah terus” keluhnya dengan mata fokus ke layar yang menampilkan tulisan “Sabar kali Ray, di sini editornya cuman tiga orang, lagi pada sibuk juga. Jadi, bantuin divisi gue, Ray. Loe juga pantesnya ngeditor aja dah” sergah Maya saat memasuki ruangan dimana Raya berada “Males mbak, ini aja kalau bukan permintaannya Pak Abi males. Duduk doang natap layar, capek. Mending kerja di lapangan, bisa jalan-jalan gretong” sambar Raya masih dengan fokus pada layarnya “Loe jadi item gitu iih Ray. Dan lagi kemapuan edit loe lumayan mumpuni tau Ray. Sayang gak di gunain" bantah Maya “Udah makanan sih mbak, kalau edit-edit gini tapi kalau seabrek gini di tambah berita yang di liput lagi viral bikin dobel capeknya” keluh Raya yang kembali menyambar gelas kopi susu “Iya sih, apalagi lu dari kemaren belum balik ya?” tanya Maya yang melihat kantung mata hitam di bawah kedua mata Raya Raya hanya mengangguk dan tetap fokus pada layarnya “Balik aja dulu sono, ntar agak sore balik lagi bawa amunisi sekalian” saran Maya “Tinggal dikit mbak, nanggung. Habis ini pulang besok aja balik kesini” jawab Raya singkat “Terserah dah. Eh habis lu edit koreksi layout-nya yang buat kolom online ya sekalian” minta Maya sebelum keluar dari ruangan “Hm” dehem Raya dengan tetap fokus pada layar -- Di pagi yang cerah, sinar matahari masih belum menyengat kulit. Awan putih melintas. Semilir angin menerbangkan rambut seorang anak laki-laki. Dia tengah berlari. “Gawat, udah siang ini. Di amuk Raya ini” keluhnya Segera ia percepat pergerakan kaki kecilnya. Menyusuri pinggiran sungai dengan riak pelan terkena hembusan angin. Sampai di tanah lapang tempat ia sering bermain “Hooshh… hosshh” napasnya tersengal karena berlari tadi “Kok Bang Rahmad baru nyampek sih?” gerutu Raya kesal “Maaf Ray, lagi bantu emak benerin atap kandang ayam” jawab Rahmad merasa tidak enak “Huh, ya udah deh. Tapi, gak lupa kan sama pesenannya Raya?" tanya Raya penuh harap “Ada, aman dah. Nih” kata Rahmad sambil memberikan kotak berlapis kertas kado berwarna biru Mata Raya berbinar senang. Segera ia membuka kotak tesebut dan memekik kaget. “Aaaaaaaa” Sontak tawa Rahmad menggema. Menarik perhatian kawan-kawannya yang lain. Mereka bergerumun di sekitar Raya. Melirik isi kotak yang sempat di lempar oleh Raya. “Wah, parah nih si Rahmad” kata Tio “Huh, Bang Rahmad tega. Udah tau Raya takut sama kodok masih dikerjain” kata Ruri sambil mengusap punggung Raya yang menangis sesenggukkan Kawan yang lain menatap Rahmad dengan pandangan berbeda. Ada yang merasa kesal namun, ada juga yang ikut tertawa atas ulah jahil Rahmad. “Eh maaf Ray, asli cuman bercanda. Maaf ya” mohon Rahmad yang tidak enak Namun, diabaikan oleh Raya. Menyeka air matanya, Raya segera pergi ke arah pondok cangkruk di sudut lapangan diikuti bocah perempuannya lainnya. “Gak lucu Mad” seru Tio diangguki Dewa sebelum menyusul Raya dan yang lainnya “Udah, ayo samperin sana baikkan Mad” saran Rendi “Gila, seru dong Mad, mantap. Gue pinjem ya ntar tuh mainan” ujar Fandi sambil memungut kodok karet yang tadi sempat di lempar Raya. Rahmad hanya tersenyum masam. -- Di lapangan tembak di salah satu Satuan Komando, Rahmad atau Letda Rahmad tengah mengawasi anggotanya. Persiapan lomba antar matra yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Peluhnya menetes di terpa sinar mentari pagi menuju siang. Matanya tidak lupa menatap jam di lengan kirinya. “Raya udah mau pulang belum ya?” lirihnya bertanya Segera tangan kanannya merogoh ponsel yang ada di saku celana. Di saat akan men-dial speed nomor Raya, “Izin, Komandan” sergah suara mendekatinya Rahmad mengangguk kecil tanda menerima salam hormat dari salah satu anggotanya tersebut. “Ada apa, Gus?” tanya Rahmad langsung “Izin, latihan selesai dan ini laporannya” jawabnya sambil menyerahkan papan dengan lembaran kertas diatasnya Rahmad menerimanya dengan tangan kanan, membaca sekilas dan mengangguk. “Baik, nanti saya pelajari laporannya. Sekarang silahkan istirahat siang dan nanti jam tiga dilanjutkan” komando Rahmad “Siap, Komandan. Mohon izin mendahului” ucapnya pamit undur diri Rahmad mengangguk sebagai persetujuan. Anggotanya tadi segera meninggalkan Rahmad yang masih berdiri di pinggir lapangan mengamati anggotanya yang bersiap istirahat. -- Pukul sebelas lewat tiga puluh empat menit Seseorang sedang melakukan perenggangan tubuh dari posisi duduknya. Menguap sekilas dan menggosok wajahnya yang pasti sudah kusut. “Hoamz… ngantuk banget !!” gerutunya “Masih wangi gak ya gue? Dari kemarin belum mandi” katanya sambil membaui bajunya di sekitar ketiaknya Cklekk Suara pintu di buka dari luar. Masuk seorang laki-laki dan melihat aksi Raya membaui baju yang di pakainya. “Dih jorok loe Ray. Cewek gitu banget” ejek Dimas yang memasuki ruangan Sekilas Raya menatap Dimas. Laki-laki yang sempat membuatnya terpesona, tapi itu dulu sebelum ia tahu bahwa si cowok manis dan tinggi tak lupa lesung pipi di masing-masing pipinya. Yah, Dimas Gay Fakta mencengangkan yang Raya dapat dari gosip-gosip receh di kantor redaksinya. Gedung berlantai tiga ini tidak muat menampung gosip yang beredar selama ini. Hingga telinga sensitifnya mampu mendengarnya, meski tidak sengaja. Raya kecewa tentu saja, laki-laki rupawan menurut Raya ini tidak doyan cewek. Raya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya merasa heran sekaligus tidak menyangka “Lah, kenapa itu kepala geleng-geleng? Mabok ngedit loe?” cerca Dimas saat melihat Raya menatapnya sambil bergeleng ria “Ck… basi loe Dim” ujar Raya malas sambil merebahkan diri di meja depan komputer yang menampilkan gelembung warna-warni dengan latar hitam “Dih, loe tuh!!” elak Dimas Hanya ditanggapi dengan deheman lirih dari Raya yang tengah menutup mata sejenak. Mencoba mengistirahatkan matanya yang minta diperhatikan Dimas yang berjiwa usil, menghampiri Raya diam-diam. Mengendap-endap, “Gak usah usil deh” lirih Raya yang masih merem Dimas yang mendengar lirihan Raya langsung terdiam, dan mendengus sebal. “Alah, pura-pura tidur nih bocah” pekik Dimas sambil mengacak gemas rambut Raya Sontak Raya membuka mata dan menatap tajam si pelaku. Tatapan garang di tambah belekan di sudut matanya, membuat Dimas yang mulanya sedikit takut mendadak menyemburkan tawanya. Sepersekian detik Raya terpesona dengan tawa Dimas, manis. “Ihhh ogah doi Gay” lirih Raya namun mampu menghentikan tawa Dimas “Hah? Ngomong apaan tadi? Gay? Sapa?” tanya Dimas setelah berusaha menghetikan tawa diikuti sisa tawanya “Tukang Bajigur depan kantor” jawab Raya asal sambil beranjak meninggalkan Dimas yang masih terpaku di tempat duduknya “Heh!? Singa rambut loe, Ray” teriak Dimas “Bodo amat” balas Raya Brakkk Suara bantingan pintu membuat Dimas terlonjak kaget. Mengusap dadanya pelan “Dih, PMS apa ya?” monolongnya sambil kembali mencari kertas yang ia butuhkan -- Laju roda hitam besar beradu dengan panasnya aspal siang itu. Mobil hitam besar membelah jalanan ibu kota. Menyalip beberapa motor dan mobil didepannya. Sampai di lampu lalulintas yang berwarna merah, ia menghentikan laju mobilnya. Mendongak menatap detik penghitung lampu merah. Matanya menatap sayu saat ingatannya kembali ke masa kecilnya. Delapan belas tahun yang lalu. Ingatannya kembali ke masa lalu, teman masa kecilnya yang cantik juga atraktif. Namun, tiba-tiba memori yang sudah lama ia lupakan kembali melingkupinya. Hembusan nafas berat mengalun dari hidung bangirnya. Rahang tegasnya mengeras mengingatnya. Tin…tin…tin… Seketika ia tersadar, menatap sekilas lampu lalulintas yang sudah berubah hijau. Segera ia melajukan mobilnya sebelum klakson pengendara lain dibelakangnya menggila. Saat mobilnya sampai ditikungan perempatan jalan, dari arah depan melaju kencang sebuah motor. Dia yang tidak siap membanting stir ke kiri dan seketika menabrak tiang listrik yang ada di kiri jalan. “Sh*t!!” pekiknya . . . Holaaa Hasil revisi nih Jangan lupa tap love juga follow akun ku yaa Bedankt :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD