Bab 2

1364 Words
Semilir angin menerpa wajah putih dengan jejak air mata yang masih terlihat. Senggukan dari bibirnya yang bergetar dan sesekali menyedot ingus yang keluar. Beda lagi dengan kaos bergambar domba dengan celana pendek warna hijau kontras dengan keadaan wajahnya yang basah akan air mata “Udeh sih Ray, gak usah nangis lagi” ucap Rahmad mencoba menghibur Raya “Tapi Bang Arya gak ngasih kabar ke Raya, tiba-tiba rumahnya udah kosong. Padahal kemarin janji main sama-sama” jawab Raya dengan sesekali menyeka ingus yang keluar meski dengan terbata “Udah, main aja yuk Ray. Tuh si Dio udah bawa bolanya. Mumpung masih belum sore banget. Ntar emak dateng gak jadi maen kita” keluh Rahmad yang mengingat emak garangnya Bocah yang lain hanya mendengarkan. Ada beberapa bocah laki-laki dan perempuan mengelilingi Raya. Senggukan Raya masih terdengar meski air matanya sudah berhenti. Jejak kering diwajahnya juga sudah samar terlihat. Segera ia menghapus sisa air mata dan berdiri “Ayokk lah, keburu emak dateng” pekik Raya tiba-tiba Rahmad yang melihatnya hanya geleng-geleng kepalanya, tidak paham dengan mood perempuan. Ajaib -- Sigap Raya menompang tubuh yang tengah memeluknya karena hampir luruh terjatuh. “Anda tidak apa-apa pak?” Tanya Raya lirih karena ia masih syok Terdengar erangan dan makian dari bibir polisi tersebut. Raya mencoba kuat meski dirinya sedikit bergetar “Saya sudah bilang di sini masih belum aman, segera keluar dari area ini” lirihnya sambil melepaskan diri dan menjauh dari Raya “Iya pak, maaf saya salah. Tapi, bapak harus ikut saya keluar area ini. Obati luka itu” kata Raya sambil mencoba mendekati sang polisi lagi Gio yang melihat dan merasa akan ada adu mulut kembali, segera memberikan kode pada kru lain untuk keluar area dan menunggunya di mobil. “Udah Ray, ayo balik di sini belum aman” saran Gio yang sudah di samping Raya “Iya tau Bang, tapi tuh pak polisi kita bawa sekalian. Gak lihat apa punggungnya kena peluru dan tadi kalau gak salah lihat ada luka di lengannya juga” jelas Raya “Kalian keluar sekarang!!” kata sang polisi lagi dengan sedikit menunduk menahan sakit dan tak mengindahkan ucapan Raya Dari arah belakang polisi terlihat anggota polisi lainnya menghampiri mereka “Lapor Komandan, keadaan belum bisa diatasi pelaku masih melawan dan masih ada baku tembak" ujarnya setelah memberi hormat “Baik, ayo segera kembali kesana” jawabnya dan akan pergi “Tapi, komandan di suruh menepi dan Kapten Bagas yang menggantikan. Anda di suruh menuju medis untuk diobati” cegah anggota polisi tersebut “Nah kan bener, ayo pak kita ke tempat medis dulu. Ngeyel sih” timpal Raya membuat sang komandan dan anggotanya menoleh Gio yang masih berdiri di samping Raya menepuk keningnya pelan "Bocah gemblung” lirih Gio heran Dengan gesit tangan kecil Raya menghentikan lengan sang komandan yang terlihat akan menjauhinya “Dasar batu ya Anda, ayo keluar segera obati lukamu komandan” ujar Raya sambil menarik lengan kekar sang komandan menuju mobil medis Bimo -sang komandan- yang kaget tidak bisa menghentikan tarikan Raya dilengannya. Dirinya pasrah saja di tarik “Tolong lepaskan tangan saya nona” geram Bimo sembari menahan perih “Gak, sebelum Anda ditangani medis. Itu luka tembak sudah ada dua dan masih ngeyel bertugas. Kepala batu” ucap Raya santai dan tetap menarik lengan Bimo Bimo akan menjawab omelan Raya, namun baru saja akan membuka mulutnya, “Udah gak usah banyak omong, keluar ayo” seret Raya menuju tim medis yang rupanya telah siaga . . Pukul 17.00 Raya baru sampai di kantor redaksi, perlahan membuka pintu dan menutupnya. “Ekhm!!” deheman keras terdengar di balik punggungnya Raya merasakan aura mencekam dari belakang. Menengok perlahan melewati bahu. Kedua mata Raya langsung dihadapkan dengan tatapan tajam sang editor, Maya. Raya hanya nyengir kuda dan menggaruk rambut pendeknya. “Eh mbak Maya, udah sore makin cakep aja” Maya yang di sanjung demikian hanya mendelik tajam dan memandang datar wajah Raya dari balik kacamatanya. “Jam berapa ini?” Tanya Maya dengan nada rendah namun terkesan intimadasi, membuat bulu kudu Raya merinding Ia merutuki dirinya yang larut dalam evakuasi korban di tempat kejadian perkara, dan jangan lupakan komandan keras kepala yang sok kuat - Gerutu Raya “Raya jangan dumel sendiri, sudah telat balik dan buat Gio kelimpungan ngerjain laporan. Masih mau kerja ndak kamu itu…” omel Maya Raya yang sudah sangat hafal tabiat Maya, hanya menunduk dan mendengarkan. Meskipun sembila puluh lima persen omelan (baca:nasehat) Maya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Dari sebuah ruangan, keluar seorang laki-laki dengan kemeja hitamnya. Dan melihat salah satu wartawannya sedang di marahi karyawannya yang lain “Sudah May, laporannya juga sudah diselesain sama Gio tadi. Kamu Raya bantu Maya edit berita aja sana. Dan hari ini lembur ya? Nulis berita tentang kamu yang viral tadi, bantuin komandan yang tertembak dengan menerobos palang polisi” ujar Pak Abi yang berjalan menuju arah pantry “Bantuin apa? Maksa itu pasti si Raya” gerutu Maya yang hafal tindak tanduk Raya “Udah May, dan kamu Ray bantuin Maya ya” lerai Pak Abi lagi “Hehe, makasih pak Abi, makin ganteng aja loh” puji Raya dengan cengirannya “Halah kamu bisa aja Ray, maaf saya gak punya recehan” timpal Pak Abi menanggapi guyonan Raya “Gak ada receh yang lembar merah juga boleh” kata Raya sambil berlari menuju ruang editor Maya “Raya, udah gak usah gombalin Pak Abi. Di sergap Bu Rena tau rasa kau ya” teriak Maya dari Pantry dengan logat Bataknya “Palingan diajakin ngeborong lagi mbak” ujar Raya dengan teriakan juga “Udah kalian ini, kok teriak-teriak. Ayo kembali kerja. Kita di kejar dateline ini” lerai Pak Abi lagi . . Malam yang dingin menusuk kulit putih Raya. Kelopak matanya serasa lengket. Mulunya tidak berhenti menguap. Tubuhnya mulai lelah seharian di lapangan, dan malamnya harus lembur. Sambil menunggu air panasnya mendidih, Raya mendudukkan diri di kursi pantry. Berharap seduhan kopi dapat membuatnya tetap terjaga malam ini. Kepalanya terkulai di atas meja, kedip terbuka kelopaknya menahan kantuk “Hooaamm!! Ngantuk banget elahh. Jam berapa ya ini?” gumam Raya sambil menguap Mata lima wattnya melihat jam dinding yang terpasang di atas lemari. Jarum pendek di angka duabelas dan panjang di angka lima “Huh, udah pagi” keluh Raya Tiupan ketel di atas kompor memecahkan kantuk Raya. Segera ia berdiri dan mengambil ketel berisi air panas dan menuangkannya ke dalam gelasnya. “Loh Ray, belum balik?” tanya sebuah suara yang tak asing “Lembur, Bang Gio” jawab Raya singkat dan kembali duduk di kursinya “Elah, sana udah balik. Besok kan siaran siang loe” ucap Gio “Gue skip siaran besok. Di suruh ngedit berita Bang” jawab Raya sambil memejamkan mata “Lah besok siapa yang siaran lapangan sama gue?” tanya Gio yang sudah duduk di kursi tak jauh darinya “Sama Dizty kali Bang” tebak asal Raya “Alah males gue, ribet anaknya” omel Gio tidak terima Tidak ada jawaban lagi dari Raya. Gio yang sedang menuangkan kopi dan gula menoleh. “Eh molor nih anak. Dasar bocah loe Ray” gumam Gio “Emang masih bocah gue” sahut Raya dengan mata terpejam Gio hanya tersenyum. Segera ia menyeduh kopinya dan menghampiri Raya yang terduduk dan terkulai tidur di meja pantry. Kopi yang tadi di seduh tergeletak di atas kepalanya dan asapnya masih mengepul. Tangan Gio segera memencet nomor di layar ponselnya Saat terdengar suara di seberang, “Lagi molor nih” ucap Gio langsung “…” “Katanya lembur tadi, ngedit berita buat besok” “…” “Kagak, besok aja loe jemput. Pules kasihan dia" “…” “Iye, dari pagi sama gue” “…” “Salah paham aja sih, udeh kok. Biasa si Raya emang gini. Tukang eyel pan?!" “…” “Tanya aja besok, tadi gue tinggal Raya ada kerjaan lain” “…” “Terserah dah. Oke” Setelah menutup telepon, Gio menekuri kopi yang tadi dibuatnya. Mengelus rambut Raya sekilas. Rekan kerja yang sudah dianggapnya adik sendiri. . . Di sudut ruangan dengan penerangan minim. Seseorang tengah berkutat dengan komputer dihadapannya. Matanya tampak fokus. Helaan napas sarat emosi sesekali terdengar. “s**l!!” Tangannya meraba kantong celananya dan mengambil gawainya. Segera jarinya memencet satu angka dan menempelkannya ke telinga. “Bereskan” “…” “Cih!!? Harus aku yang harus turun? Gak becus kalian” geramnya “…” “Oh benarkah? Oke saatnya mainkan rencana B segera" titahnya Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, ia langsung mematikan sambungan. Senyum tipis dengan pandangan menusuk terlukis di wajahnya. “Tunggu saja ajalmu” Gemeletuk gigi menahan emosi dan kepalan tangan menggebrak meja pelan namun, cukup terdengar menggema Suara jangkrik bersahutan dengan kodok menambah kengerian gelapnya malam. . . . Holaa Habis di revisi Enjoy it gengs Oh jangan lupa tap love juga follow akun ku Bedankt :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD