1. Nama Belakang

1717 Words
Ruam kemerahan dengan sensasi gatal dan panas muncul beberapa saat setelah Rich menyelesaikan makan siang. Dia baru saja menemui salah seorang kolega bisnis ayahnya, Nick Schneider, saat Diamant Cruise Line singgah di daratan Indonesia. Awalnya semua terasa biasa saja, namun tubuhnya mulai bereaksi saat ia kembali naik ke atas kapal. "Ini terlihat seperti reaksi alergi, Kapten," ucap seorang lelaki yang menjabat sebagai Staff Captain. "Oh God," jawab Rich seolah membenarkan praduga itu. "Kita panggil dokter kesini atau anda mau turun ke bawah?" tanya Kai. Rich masih diam seraya menimbang. Dia sejenak membenarkan kerah baju yang semula sempat ia longgarkan. Gatal-gatal di permukaan kulitnya sudah menjalar hingga leher dan juga lengan bagian atas. Seusai seragam putihnya sudah kembali rapi, Rich lantas menyugar rambut yang sedikit berantakan ulah jemari tangan yang tadi sempat menggaruk kulit rambut. Setelahnya, Rich kembali menyematkan sebuah topi di kepala. Walau lelaki satu ini tak menjawab pertanyaan Kai, tapi Kai tentu bisa paham bahwa kaptennya ini akan memilih untuk turun sendiri ke unit kesehatan. "Tetap di sini. Saya akan kembali sebelum kita berlayar. Tidak akan lama," ucap Rich seraya beranjak dari tempat duduknya. Sebagai wakil nahkoda, Kai-lah yang memanggul tanggung jawab untuk menggantikan posisi Rich saat dia tidak ada. Dia harus selalu siap kapan pun juga, terlebih saat Rich mengalami kondisi darurat seperti ini. "Baik, Kapten." Rich turun menaiki tangga kecil dengan langkah cepat setengah berlari. Tak perlu membutuhkan banyak waktu, dia kini sudah berdiri di depan ruang fasilitas kesehatan. Namun alih-alih masuk, Rich justru tertegun saat mengingat nama dokter yang berjaga. Rich mengenalnya. Dia mengenal dengan baik. Ralat, dengan sangat baik. Ralat lagi, pernah mengenal dengan sangat baik. Pernah. Dulu. Beberapa tahun yang lalu. *** "Jangan terlalu banyak minum, Freddy," ucap Feyra pada suaminya yang kini tersambung dari balik telepon. Sama halnya dengan Feyra, Freddy juga mengembangkan karirnya di dunia pelayaran. Dia bekerja sebagai Third Officer di sebuah kapal pesiar berbendera Eropa. Kabarnya, Freddy kini sedang dalam perjalanan dengan rute benua Amerika dan tengah singgah di Florida. "Nggak usah ngelarang gitu," jawab Freddy dari seberang. "Ya tapi kamu kan-" "Fey, udah lah. Kamu ganggu tau nggak," balas Freddy memotong ucapan Feyra. "Ganggu?" "Iya, ganggu. Aku lagi sama ... temen-temen aku. Fey, kita sama-sama kerja di atas kapal. Kamu juga pasti ngerti kalo kita butuh refresh, butuh quality time." Percekcokan dan perdebatan kembali terjadi di antara sepasang suami istri itu. Niat awal, Feyra hanya ingin sekedar memberi kabar saat cruise tempat ia bekerja singgah di Indonesia. Sayangnya, selalu ada saja hal kecil yang membuat keduanya bertengkar hebat. Mereka selalu seperti itu. Sudah bertahun-tahun menikah, sangat jarang keduanya akur dan sejalan. Tak boleh berlarut-larut dalam problematika pribadi, Feyra lantas menyambar seragam putihnya dan segera keluar dari kabin. Sebagai seorang dokter, dia tetap harus bekerja sebaik mungkin bagaimanapun kondisinya. Tetap harus melayani dengan hati saat kondisi hatinya sendiri saja sedang porak poranda. Bertepatan dengan saat Feyra masuk, seorang lelaki paruh baya datang dalam keadaan lemas. Dia mengeluhkan mual dan juga sakit kapala yang tidak kunjung mereda. Walaupun sudah menguras habis seisi perut, namun tetap saja sakit di perutnya belum berkurang. Setelah Feyra menyelesaikan pemeriksaan, dia kemudian meminta salah seorang perawat untuk memandu pasien tentang bagaimana cara mengonsumsi beragam obat yang ia resepkan. Sambil membenarkan letak stetoskop yang mengalung di leher, Feyra lantas berbalik. Perawat yang lain bilang, ada pasien lagi yang datang. "Kapten Heinrich," terang perawat tadi tanpa perlu Feyra tanya siapa pasien mereka kali ini. Feyra tentu sudah tahu siapa lelaki itu. Heinrich Schneider. Tidak mungkin salah. Walau kebenarannya sudah ada di angka seratus persen, namun sebagian otak Freya tetap saja ingin menyangkal. Jarak yang tidak lebih dari lima meter entah mengapa terasa jauh. Langkah kaki Feyra terasa berat. Dia seperti merasa tidak siap. It's ok. Harus professional, ucap Feyra dalam hati. Feyra sudah menata hati di waktu yang singkat Ini. Walau begitu, saat pada akhirnya dia menyibak tirai ruang periksa, dia tetap tidak bisa untuk tidak tertegun. Feyra mematung menahan napas saat kedua matanya menangkap sosok lelaki yang kini tengah duduk dan menolehkan kepala ke arahnya. Rich. Dia. Lelaki itu. Kapten kapal ini. Setelah sekian lama tidak bersua, akhirnya semesta kembali mempertemukan mereka dalam jarak yang sedekat ini. Saat kapal mulai berlayar dari Thailand beberapa hari yang lalu, Feyra memang sudah bertemu Rich, tetapi saat itu dia hanya melihat dari kejauhan. Tidak sampai sedekat ini. Tidak sampai harus berinteraksi seintens ini. Oh Mein Gott, batin Feyra lagi. Ekspresi wajah Rich masih datar seperti biasanya. Bertambahnya usia sepertinya membuat Rich terlihat menjadi lebih dewasa dan juga matang. Wajahnya masih setampan dulu dengan manik mata berwarna abu-abu. Tidak ada banyak perubahan yang berarti kecuali seragam putih yang kini membalut tubuhnya yang tinggi besar. Jujur saja, Rich yang sekarang terlihat jauh lebih berwibawa. "Dokter Feyra," panggil Rich memecah kebekuan. "Anda tetap mau berdiri disitu? Saya rasa anda paham bahwa anda tak boleh terlalu banyak membuang waktu." "Ah, iya. Maaf, Kapten," balas Feyra. Sambil menahan gemuruh dan debaran jantung yang detaknya tidak beraturan, Feyra lantas berjalan mendekat. Matanya berusaha fokus pada ruam merah yang kini sudah menciptakan sedikit bengkak di beberapa area wajah. Benaknya terus berupaya mengenyahkan segala bayang kebersamaan dengan lelaki yang pernah dan masih ia cintai hingga saat ini. Sejujurnya, setelah bertahun-tahun tak pernah menjalin komunikasi, Feyra merasa sangat canggung saat harus berhadapan dengan Rich lagi. Apalagi sebagai dokter dan pasien. Sebagai bawahan dari seorang Kapten. Bukan lagi sebagai ... sepasang kekasih. "Ini alergi makanan," ucap Feyra yang masih berusaha setengah mati untuk bersikap biasa saja. "Ada keluhan lain seperti mual mungkin?" "Sedikit," jawab Rich singkat. Feyra lantas kembali mendekatkan diri ke arah Rich. Tangannya sedikit gemetar saat harus menyentuh rahang tegas di hadapannya. Merasa keadaan jantungnya masih belum aman, Feyra kemudian kembali menjauhkan lagi jemarinya dan hanya meminta Rich untuk membuka mulut. Feyra ingin memastikan tidak ada pembengkakan di area tenggorokan. Sambil menata napas, Feyra berbalik dan kembali dengan beberapa tablet obat-obatan. Beberapa ia masukkan ke dalam plastik, dan yang satunya ia sodorkan ke arah Rich. "Saya kasih obat, silakan diminum," ucap Feyra. "Biasanya akan bereaksi setelah tiga puluh menit." Rich mengangguk sedikit. Dia juga menggumamkan kata terima kasih walaupun tidak terlalu terdengar dengan jelas. Feyra jadi ingat, Rich pernah mengalami hal serupa saat dulu mereka makan malam di sebuah restoran. Tepat setelah mereka keluar dari restoran, Rich mengalami gatal-gatal seperti ini. Itu adalah kali pertama Feyra tahu bahwa Rich mempunyai alergi. "Pasti kamu abis makan udang," celetuk Feyra yang tiba-tiba mengubah gaya bahasanya menjadi informal. Freya sampai membulatkan kedua bola matanya sendiri saat menyadari kalimat yang baru saja ia ucapkan. Bodoh! Bisa-bisanya dia hanyut dalam suasana seolah mereka masih memiliki hubungan dekat. Wajah Feyra yang memerah ia tundukkan. Kedua bibirnya ia lipat seperti sedang menyesali perkataannya tadi. Dia sampai harus berpura-pura menuliskan sesuatu dalam jurnal buku periksa agar tidak terlalu terlihat salah tingkah. "Mungkin iya." Mendengar Rich yang ternyata menjawab ucapannya, Feyra lantas menghentikan laju pena yang sejak tadi tergores mengeluarkan tinta. Ia kemudian mendongakkan kepala, dan lagi-lagi Feyra harus menenangkan pemberontakan dalam hatinya saat kedua mata mereka saling tatap. "Sebaiknya anda bisa lebih hati-hati, Kapten." "I know. Tadi, ada seorang rekan bisnis menjamu saya untuk makan siang. Dia tidak mungkin tahu kalau saya alergi udang, dan saya juga tidak berpikir kalau makanan itu mengandung udang," jawab Rich. Feyra spontan tersenyum saat mendengar deretan kata yang keluar dari bibir merah muda gelap di hadapannya. Walau terkesan sepele, tapi entah mengapa Feyra merasa bahagia saat Rich mau repot-repot menjelaskan apa yang terjadi padanya hingga dia berakhir di ruangan ini. "Persis kayak ayah kamu. Dia juga alergi udang, 'kan?" tanya Feyra yang kembali menggunakan bahasa tidak formal. Tak seperti tadi, reaksi Rich kali ini tampak jauh lebih dingin. Dia sepertinya mulai merasa bahwa pembicaraan mereka mulai keluar dari konteks komunikasi antara seorang dokter dan pasien. Merasa tidak perlu berinteraksi lebih banyak lagi, Rich lantas memakai kembali topi yang sempat ia lepas saat masuk ke ruangan ini. Dia sedikit memundurkan badan kemudian bersiap untuk berdiri. "Anda bisa beristirahat di sini dulu sambil menunggu reaksi obat," ucap Feyra yang kini ikut berdiri. "Tidak perlu." "Baik. Jika gejalanya belum hilang atau bahkan memburuk, anda bisa datang lagi atau telepon kami untuk kembali memberikan pengobatan," papar Feyra. "Iya, terima kasih." Hati Feyra seolah dihantam saat mendapati Rich bersikap sedingin ini. Feyra paham, bahwa mereka memang tidak bisa sehangat seperti saat dulu mereka masih menjalin kasih, tapi tatap saja ada segores luka yang tercipta saat lelaki ini bersikap seolah mereka tak tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Feyra memang sudah tidak berhak mendapatkan respon manis dari Rich. Otaknya sudah berusaha mengedepankan logika. Sialnya, sebagian besar hatinya masih meneriakkan kata tidak rela. Seperti rasa tidak terima karena ternyata di mata Rich, dia bukan lagi siapa-siapa. Rich sudah hampir membalikkan badan. Dia rupanya benar-benar ingin keluar dari sini walau wajahnya masih menampakkan ruam merah. Mungkin Rich tidak ingin berlama-lama meninggalkan pekerjaannya, atau ... dia tidak ingin terus satu ruang bersama wanita yang menyandang status mantan. "Kapten," lirih Feyra yang membuat Rich seketika berbalik. Saat kembali menatap wajah Rich, deretan kata yang semula sudah Feyra susun seolah buyar. Dia mendadak tidak tahu harus berkata apa. "Iya?" tanya Rich setelah sekian detik membiarkan Feyra terdiam. "Semoga lekas sembuh," ucap Feyra canggung. Diam-diam Feyra merutuki ucapan basa-basi ini. Dia mendadak bodoh walaupun otak pintarnya sudah diakui sebagai mahasiswa kedokteran dengan lulusan terbaik di salah satu universitas terbaik di Jerman. "Makasih," jawab Rich yang kemudian kembali berbalik. "Kapten," panggil Feyra lagi. "Ada lagi?" "Saya akan memesankan makan malam yang cocok dikonsumsi untuk perut anda jika masih mual. Anda tetap harus makan dengan baik walaupun sedang sakit. Malam nanti sa-" "Dokter Feyra," potong Rich tiba-tiba. "Iya?" "Saya harap anda bisa lebih profesional." Dahi Feyra sontak mengernyit. Dia tidak mengerti dengan ucapan Rich kali ini. "Saya merasa saya sudah profesional." "Kalau begitu, sebaiknya pelajari lagi job desk anda. Menyiapkan makan malam bukan tugas anda. Anda sudah melewati batasan sebagai seorang dokter," pungkas Rich dengan tegas. Feyra sontak mematung dengan mulut yang sedikit terbuka. Ada seberkas cahaya yang memantul dari kilau matanya yang mulai berkaca. "Satu lagi," ucap Rich lagi. "Semoga cincin yang melingkar di jari manis itu tidak membuat anda lupa bahwa anda adalah seorang istri, Feyra Walter," lanjut Rich. Dia sengaja menekankan nada suaranya saat menyebut nama Walter. Nama belakang yang Feyra sandang sejak ia menikah dengan seorang lelaki berdarah Jerman bernama Freddy Walter.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD