3. Jelmaan Dewa

1552 Words
Pagi-pagi saat matahari terbit, Feyra berjalan-jalan di sekitar sundeck dengan tubuh yang sudah rapi berbalut seragam. Matanya awas menatap ke arah timur di mana matahari mulai memberi warna pada langit yang semula gelap. Cukup lama Feyra berdiri sambil berpegangan pada pagar berwarna putih. Dia sibuk menghirup udara laut dan menikmati terpaan angin yang tidak terlalu kencang. Semua terasa tenang dan tentram hingga Feyra pada akhirnya mendengar suara langkah seseorang. "Rich," lirih Feyra dengan ekspresi kaget yang cukup kentara. Lelaki berseragam putih itu sama-sama terlihat terkejut saat melihat Feyra. Rich sempat membelalakkan mata dengan langkah kaki yang tiba-tiba terhenti. Kemungkinan napasnya juga sempat tertahan. Namun tak lama, Rich kembali berjalan dengan raut yang tampak acuh. "Pagi, Kapten," sapa Feyra dengan sebuah senyum ramah. "Pagi." Tanpa menoleh sedikitpun, Rich terus berjalan dan melintas di hadapan Feyra begitu saja. Dia bersikap seolah Feyra kasat mata. Tak terlihat. "Kapten Heinrich," panggil Feyra saat Rich sudah berlalu sekitar dua langkah darinya. "Rich!" panggil Feyra lagi setelah panggilan pertama diabaikan begitu saja. Mendengar Feyra menyebut namanya seperti itu membuat Rich akhirnya berhenti dan berbalik. Wajahnya masih tanpa ekspresi. Di saat seperti ini, begitu sulit menerka apakah Rich sedang kesal, benci, rindu, marah, atau mungkin tidak memiliki perasaan apa-apa. "Iya?" tanya Rich. "Yang kemaren udah sembuh?" ucap Feyra balik bertanya. "Seperti yang kamu liat." "Ok, bisa kita ngobrol sebentar?" tanya Feyra hati-hati. "Tentang?" "Kita." Rich terkekeh seraya membuang wajah. "Kita? Emang kita kenapa?" "Ada sesuatu di masa lalu yang perlu kita lurusin. Maaf aku mutusin hubungan kita secara sepihak. Maaf aku lebih milih nikah sama Freddy. Aku punya alesan. Aku-" "Fey, stop," potong Rich. Rich menarik napasnya dalam. Sambil menggelengkan kepala, ia kemudian melengkungkan bibirnya dengan sebuah gerakan senyum sinis. Bagi Rich, masa lalu adalah masa lalu. Dia sudah tak ingin mengorek apapun yang sudah lama ia kubur. Sekali pun Feyra menjelaskan semuanya, itu tidak akan mengubah apa-apa. Lagipula, Rich tidak ingin lagi membahas soal itu. Apapun alasannya, Feyra sudah meninggalkan dirinya dan kini sudah resmi menjadi istri Freddy. Rich tidak peduli cerita apa yang ada di balik semua itu. Dia tak mau mendengar apapun, dan memang sudah tak mau tahu. "Ok, then. Seenggaknya aku pengen minta maaf. Maafin aku, Rich," ucap Feyra pada akhirnya. Rich tidak menjawab, tidak pula mengangguk. Dia hanya menatap Feyra dengan sorot manik abu-abu yang menyipit ulah silaunya cahaya matahari. Perlahan, Feyra mulai melangkah mendekat. Dia mengamati wajah Rich yang kini tengah menautkan kedua alis dengan bibir yang terlipat ke dalam. Lelaki satu ini selalu berekspresi seperti itu saat otaknya sedang berpikir keras. Feyra sudah hapal di luar kepala. Tanpa aba-aba, Feyra menaruh jari telunjuknya di antara kedua alis Rich. Sebuah kebiasaan yang dulu sering ia lakukan saat melihat Rich seperti ini. Merasakan sebuah sentuhan lembut, mata Rich lantas memejam. Dia ingin mencekal tangan Feyra, tetapi badannya justru membeku. Rich tak tahu apakah dia sedang menebus kerinduan akan sentuhannya, atau hanya sekedar terkejut karena tak menyangka Feyra akan bertindak sejauh ini. Sambil terus mengumpat dalam hati, Rich lantas berhasil memundurkan badan setelah hitungan detik yang ke sekian. Ini tidak bisa dibiarkan. "Fey," lirih Rich sambil mengarahkan wajahnya ke samping agar dahinya tak lagi bersentuhan dengan jari telunjuk Feyra. "Sorry." Feyra lantas membuang pandang ke berbagai arah yang lain. Dia meremas bajunya dengan jemari tangan kemudian membenarkan anak rambut untuk ia simpan di belakang telinga. Canggung sekali rasanya. Beberapa kali Feyra berucap sambil tergagap. Dia sibuk mencari topik pembicaraan umum guna menetralisir suasana yang sempat tidak nyaman. "By the way, kantung mata kamu keliatan banget, Rich. Selain dari alergi kemaren, mungkin semalem kamu kurang tidur juga," ucap Feyra setelah matanya kembali berani menatap ke arah wajah Rich. Rich hanya bergumam dengan kedua alis yang terangkat. "Berat nggak rasanya? Coba kompres pake air dingin," titah Feyra setelahnya. Lagi-lagi Rich hanya bergumam. Bedanya kali ini dia sertai dengan sebuah anggukan kepala. Batinnya lagi-lagi berteriak bahwa ini tidak bisa dibiarkan. "I have to go, Fey. Ada kerjaan di ruang mesin." Rich kemudian berbalik tanpa menunggu jawaban dari Feyra. Sayangnya, baru saja dia akan melangkah, Feyra sudah memanggil namanya lagi. "Rich." Cara wanita itu memanggil terdengar tegas, menuntut, namun tetap lembut. Nada suaranya rendah dan selalu merdu walau dia hanya melantunkan namanya. Oh God. Rich tak punya alasan untuk tidak menjawab panggilan itu. "Ja?" "Nein. Ich möchte mich nur entschuldigen," jawab Feyra. Sorot mata Rich sontak melembut, namun dia masih belum berkenan membuka suara. "Sekali lagi, maafin aku, Rich. Maaf buat semua salahku di masa lalu," lanjut Feyra. "Udah." "Udah dimaafin?" tanya Feyra dengan sebuah senyuman. Rich lantas memutar bola matanya malas. Dia benci senyuman itu. Dia tak suka saat harus berkata 'iya'. Dia tak mau menegaskan bahwa sejak awal, Rich memang sudah memaafkannya. Sambil mengangkat pergelangan tangan kiri, Rich lantas menatap detik jarum jam. Setelahnya, dia kembali melayangkan pandang pada wanita di hadapannya. "Udah hampir masuk jam kerja. Kamu harus turun atau kamu bakalan telat," jawab Rich. "Tapi, Rich." "Fey, kita lagi kerja. Tolong profesional. Sekali kamu bikin masalah, atau sekali aja kamu keliatan nggak profesional, kamu bakal aku turunin dari kapal," pungkas Rich. "Tapi -" "Zero tolerance, Fey!" "Ok," ucap Feyra yang pada akhirnya. Rich segera berjalan menjauh. Bertepatan dengan itu, Ava dan Snow, dua perawat yang berjaga bersama Feyra datang dari arah yang berlawanan. Mereka sepertinya baru saja mengunjungi fitness center. "Dok, liat nggak tadi Kapten Heinrich lewat?" tanya Ava kepada Feyra. "Ya liat, aku kan nggak buta." "Oh God. He's so hot. Dia manusia yang terlalu sempurna," ucap Ava lagi. "Bukan, dia bukan manusia, dia jelmaan dewa," celetuk Snow. Feyra hanya geleng kepala saat kedua temannya mulai bergosip. Sambil berjalan turun, Feyra hanya menanggapi sekedarnya ucapan Ava dan Snow yang terus melambungkan nama Rich. Dia sudah mendengar pujian yang sama berulang-ulang sejak mereka menginjakkan kaki pertama kali di atas kapal dan berkenalan dengan seorang Captain Heinrich Schneider. Sebenarnya cerita mereka tidak berlebihan. Segala tentang Rich mengalir apa adanya, dan faktanya, Rich memang nyaris sempurna. Feyra tahu betul, sejak masa sekolah, Rich sudah selalu menempati peringkat pertama secara prestasi. Dia beberapa kali mengikuti program akselerasi dan berhasil lulus pendidikan di usia yang masih muda. Selain memiliki otak yang cemerlang, dia juga tampan. Sangat tampan. Badannya atletis dengan tinggi di seratus sembilan puluh. Garis wajahnya hampir sama dengan ayahnya, namun ada sentuhan sedikit khas wajah Indonesia dari ibunya. Pada awal usia dua puluh, Rich sudah terjun sebagai seorang pelaut. Dia enggan bergabung di dunia bisnis dan menolak menjadi pimpinan perusahaan Schneider yang bergerak di bidang pariwisata. Rich justru memilih memulai karir sebagai awak kapal untuk berkeliling dunia selama bertahun-tahun. Jabatan demi jabatan ia raih, hingga mencapai Third Officer, Second Officer, First Officer, Staff Captain, dan sekarang ia berhasil menjadi Captain di usianya yang masih tiga puluhan. Cukup muda dibandingkan Captain pada umumnya yang biasanya berusia sekitar empat puluh. Dua tahun terakhir, Nick Schneider, ayah Rich, bekerja sama dengan beberapa perusahaan lain untuk mendirikan kapal pesiar mereka sendiri. Diamant Cruise Line ini adalah hasil pelebaran sayap perusahaan Schneider di bidang pariwisata, dimana Schneider adalah pemilik saham terbesar. Secara tidak langsung, Rich kini bekerja di atas kapal miliknya sendiri. "Tapi aku nggak mau lah sama dia," ucap Snow. "Dih! Dia juga ogah sama kamu," ucap Ava yang dilanjutkan dengan tawa. "Kenapa emang? Sesempurna itu kamu nggak mau?" "Justru karena terlalu sempurna. Dia pasti koleksinya banyak. Buktinya dia nggak nikah. Pasti ceweknya ada dimana-mana. Diduain aja aku nggak mau, apalagi dibanyakin." "Tapi duit dia nggak abis sih buat biayain seribu cewek sekalipun. Aku mau jadi salah satunya," timpal Ava. Mereka bertiga tertawa, namun Feyra merasa ada sedikit goresan di dalam dadanya. Feyra pernah merasakan menjadi wanita yang menyandang status pasangan dari Rich Schneider. Dan ... ya. Rich memang memiliki banyak wanita lain yang juga dekat dengannya walau hanya ia labeli dengan sebutan teman. Sebelum mereka resmi berpisah, Rich memang sempat menjelaskan bahwa dirinya kini tak lagi sebebas dulu. Dia sudah membatasi hubungannya dengan wanita di sekitarnya. Namun itu dulu. Entah sekarang. Apalagi saat mendengar ucapan Snow tentang alasan Rich yang belum menikah. Kemungkinan besar, Rich memang memiliki banyak wanita. Sial! Mengapa Feyra merasa sangat tidak rela? "Dok, kalo belum punya suami, mau nggak sama Kapten Heinrich?" tanya Ava kepada Feyra. "Hah?" Feyra tak bisa tergagap mendengar pernyataan itu. Walau Ava hanya sekedar bercanda, tapi pertanyaan itu terdengar seperti serius bagi Feyra. Dia tidak bisa menjawab 'iya' dan juga tidak bisa menjawab 'tidak'. "Jangankan kalo single, masih punya suami aja pasti mau ya Fey," ucap Mike yang tiba-tiba menyambar dari arah pintu masuk. "Hah? Maksudnya gimana, Dok?" tanya Feyra. Kedua mata Feyra membola dengan bibir yang belum tertutup sepenuhnya. Pipinya memerah tanpa perlu ditambah pewarna. Feyra bahkan sempat tersedak air ludahnya sendiri saat ia hendak bicara. Mike, Ava, dan Snow sama-sama mengernyitkan dahi mereka. Ketiganya sempat tertegun, dan sedetik kemudian mereka tertawa. "Kenapa kamu jadi salah tingkah gitu? Jangan-jangan kamu emang ngarep pengen sama Rich?" ucap Mike. "Enggak lah! Dok, udah deh. Lagian kalian ini kenapa sih? Ada-ada aja," ucap Feyra yang lantas beralih ke mejanya. "Fey, tunggu bentar," cegah Mike. "Hey, sini kamu." "Apaan, mau kerja." Mike masih terus tertawa. "Kamu kenapa jadi aneh gitu, Fey?" "Dok, beneran naksir Kapten Heinrich?" tanya Snow sambil tersenyum menggoda. "Snow! Udah udah. Kerja kerja," ucap Feyra yang berpura-pura mengambil setumpuk jurnal. Dia berkutat di atas mejanya sementara tiga orang tadi masih saja terkikik geli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD