16. Trapped in Captain Cabin

2051 Words
Kekesalan yang ada pada diri Rich belum sepenuhnya habis. Namun, api amarahnya sudah kembali tersulut saat ia mendengar suara panggilan telepon. Nama Freddy muncul di layar ponsel Feyra. Tanpa meminta izin dari si empunya, Rich segera menyambar dan menekan tombol hijau. "Halo, Fey." Suara dari seberang sudah menyapa. Rich hampir saja menjawab, tapi Feyra terus menggeleng dengan bibir yang membentuk kata tidak. Jangan sampai Rich terlibat. Jika Freddy tahu tentang Rich, semua akan menjadi semakin kacau. Dan yang terburuk adalah, Freddy akan semakin menyalahkan Feyra. "Fey." "Hey, Bitchh!" ucap Freddy lagi. Panggilan dari seberang yang tidak kunjung mendapat jawaban lantas mengundang kalimat umpatan. Freddy yang sejak awal memang sudah marah, kini menjadi semakin terpancing emosi. Mulutnya terus saja berucap berbagai kata kotor yang sangat tidak pantas ditujukan kepada seorang istri. Wajah Rich sudah memerah marah. Berbeda dengan Feyra yang sibuk menahan tangis. Sudah sering dia mendengar Freddy memaki, tapi tiap kali itu terjadi, rasanya masih sangat perih sekali. Setelah sejenak mengatur napas, Feyra mulai bersiap menjawab ucapan Freddy. Akan tetapi, sebelum bibir Feyra bergerak, Rich sudah merebut kembali ponsel itu dari tangan Feyra. Tak mau berpikir ulang, Rich segera mengakhiri panggilan. Tak berselang lama, Freddy sempat menelepon lagi. Rupanya lelaki itu belum puas mencaci. Saat Feyra berusaha mengangkat, Rich sudah menekan tombol reject kemudian segera mematikan ponsel milik Feyra. "Jangan mau digituin lagi. He's like a shitt," ucap Rich. "Dia bakal tambah marah kalo aku cuekin, Rich. Aku harus minta maaf biar nggak tambah kacau. Aku nggak mau pusing." "Kamu denger nggak tadi dia ngomong apa? Mulutnya sekotor itu, Fey. Jangan diladenin, atau dia bakal tambah seneng gituin kamu. Kamu harus berani, Fey." Ponsel Feyra terlempar ke arah sofa dalam keadaan sudah mati. Telinga Rich tak kuat lagi mendengar suara Freddy yang seperti tak punya hati. Beberapa lembar tisu Rich berikan pada Feyra. Dia tahu ini berat, tapi Feyra harus kuat. Dia harus bisa melawan. Feyra tak boleh terlalu menurut untuk meminta maaf atas kesalahan yang tidak dia perbuat. "Jangan khawatir. Aku ada buat kamu kalo sampe terjadi sesuatu," ucap Rich. Selang sekian menit, Feyra akhirnya berhasil meredakan tetes air matanya. Kepalanya masih bersandar pada bahu Rich. Mereka masih sama-sama terdiam, tapi suasana sudah jauh membaik. "Masih suka nonton film?" tawar Rich. "Mau nonton apa?" "Boleh, apa aja." Rich mengangguk sambil mulai berselancar pada layar LED. Raut wajahnya mendadak bingung saat dihadapkan pada sederet judul movie. Dia tak terlalu mengikuti tontonan apa yang saat ini sedang ramai. Memilih judul film terasa lebih sukar dibandingkan dengan mengatur navigasi kapal. "Aku nggak ngerti film, Fey. Kamu aja yang milih," ucap Rich. "Kamu aja. Pilih random aja, sembarang." Enggan terus berdebat, Rich lantas menemukan sebuah ide jenius. Wajah datarnya seketika berubah jahil. Sambil tersenyum tipis, Rich mendekat ke arah telinga Feyra demi bisa membisikkan sebuah usulan. "Blue film?" Feyra spontan melotot ke arah Rich. Telapak tangan Feyra yang kecil terulur mendorong wajah Rich agar menjauh darinya.Tak mau menanggapi dengan kata-kata, Feyra lantas menekan tombol play pada sebuah film Hollywood. "Katanya apa aja, dikasih pilihan malah nggak mau," ucap Rich. "Whatever, Rich." Sederet gigi putih menghiasi wajah Rich yang sudah berubah lebih cerah. Raut kesal Feyra justru membuatnya bahagia. Bukan apa-apa, Rich lebih suka Feyra seperti ini daripada dia menangis seperti tadi. Selain agar bisa terbebas dari tugas memilih judul film, Rich memang sengaja melayangkan kata itu sebagai sebuah candaan. Walau terkesan vulgar, tapi nyatanya strategi ini berhasil juga. And this is it. Rich selalu bisa mengubah suasana kelam menjadi lebih menyenangkan. Segelas minuman, sekotak makanan, tayangan movie, dan sebuah pelukan adalah kombinasi yang sempurna. Sofa yang berukuran cukup besar, kini menampung dua anak manusia yang sedang duduk sambil saling mengalungkan sebelah tangan. Sayangnya, kedamaian yang baru saja mereka rasakan seketika buyar saat ketukan pintu kabin terdengar. Mereka yang sempat sejenak bertukar rasa tenang, kini mendadak dihadapkan pada suasana yang cukup tegang. "Itu siapa, Rich?" tanya Feyra panik. Melihat Feyra terlonjak dari duduknya, Rich seketika tersenyum. "Ya aku nggak tau, kan orangnya di luar, kita di dalem." Rich menjawab santai dengan bibir yang masih terus melengkung lebar. Matanya menatap geli dua manik cokelat Feyra yang bulat sempurna. Kedatangan seseorang di luar sana seolah tak membuat Rich merasa takut atau semacamnya. Berbanding terbalik dengan Rich, Feyra kini justru tengah bergerak gelisah. Dia sempat menggigit kuku jarinya, kemudian bangkit dari sofa. Feyra lantas lari ke kamar mandi, lalu keluar lagi. Dia juga berpikir untuk beralih menuju ruang meeting atau ruang kerja Rich, tapi dia seketika sadar bahwa itu bukan tempat menghindar yang baik. Sambil mondar-mandir, dia terus bermonolog tentang kemana dia harus sembunyi. Di sela ketukan pintu yang masih terdengar, Rich justru beringsut mendekat untuk menangkap tubuh Feyra. Dikecupnya pipi itu kanan dan kiri, lalu Rich mendekapnya sekali lagi. "Rich! Kalo ketahuan gimana?" rutuk Feyra sambil memberontak dan bergerak mundur. "Kan nggak ada yang liat." Feyra lantas meraih sebuah bantal sofa, melemparnya ke arah wajah Rich, lalu kembali mengomel dengan nada suara seperti berbisik. Dia tampak kesal, tetapi di mata Rich justru terlihat menggemaskan sekali. "Yuk, sini," ucap Rich seraya meraih sebelah tangan Feyra. Keduanya lantas menuju sebuah ruangan berisi king size bed, lemari, bufet, TV, dan sebuah pintu ke arah kamar mandi pribadi. Captain cabin memang berbeda. Feyra sedikit terkagum dengan fasilitas ruang untuk kapten yang setara dengan president suite di sebuah hotel berbintang. Kabin ini memiliki kamar tidur pribadi, living room pribadi, dapur pribadi, kamar mandi exclusive dengan bathtub, ruang meeting, hingga ruang kerja yang memiliki pintu akses langsung ke arah bridge. Menurut Feyra, berada di sini jauh lebih mirip seperti sedang berlibur, bukan bekerja. "Tunggu sini bentar," ucap Rich sambil menuntun Feyra agar duduk di tepi ranjang. Sebungkus makanan dan juga dua bar cokelat, Rich taruh di pangkuan Feyra. Setelahnya, dia memberikan segelas minuman yang Feyra terima menggunakan tangan kanan. Di posisi yang sama, Rich menyalakan televisi dan menyematkan remote control itu pada jemari tangan Feyra sebelah kiri. "Diem di sini, jangan kemana-mana, nggak boleh usil," ucap Rich lagi. "Kalo kebelet pipis, kamar mandinya disana." Setelah menunjukkan sebuah pintu berwarna cokelat, lelaki itu lantas mengecup kening Feyra. Sambil tersenyum dan menahan tawa, Rich kemudian mengacak bagian atas rambut wanita di hadapannya. Feyra berdecih dengan tatapan memicing. Bibirnya terkatup kesal, tapi segera membentuk senyuman setelah Rich keluar dari kamar. Bisa-bisanya Rich memperlakukan dirinya seolah dia adalah gadis kecil yang nakal. Tak lebih dari lima belas menit, Rich sudah kembali masuk menemui Feyra. Sayangnya, bukan untuk tinggal bersama, tetapi untuk sekedar mengatakan bahwa dia akan kembali bekerja. Rich harus segera menuju bridge. Setelahnya, dia akan melakukan briefing bersama beberapa officer dan perwakilan dari seluruh departemen. Diamant Cruise Line akan berlayar lagi dengan rute cukup panjang selama 121 hari. Kapal mereka akan kosong dan berlayar menuju Pelabuhan Marseille sebagai salah satu tempat embarkasi. Beberapa penumpang berangkat dari sana, sementara sebagian lain berangkat dari Barcelona. "Tujuan terakhir kita di Jerman, 'kan?" tanya Feyra meyakinkan. "Iya. Start dari Prancis, nanti balik turun ke timur tengah lewat Saudi Arabia, terus lanjut arah benua Afrika lewat Afrika Selatan, terus masuk benua Amerika. Nanti kita ikut rute Brazil, US, Canada, terus naik ke arah Greenland, Iceland, terus balik ke Eropa lewat UK, Belanda, dan finish di Warnemunde. Jerman, our country," papar Rich seraya menggerakkan pena di atas kertas yang ia bawa. Feyra mengangguk mengamati wajah serius di hadapannya. Seperti ini ternyata rasanya mengobrol dengan kapten kapal. Segala sesuatu tentang urusan cruise akan dijabarkan detail. Feyra bertanya satu kata, Rich menjawab dengan puluhan kata. "Abis itu kita pulang, Fey. Sampe Jerman barengan sama kontrak kerja kita abis," lanjut Rich lagi. "I see. But, ... itu masih empat bulan lagi. Kita aja belom mulai start." Rich lantas tertawa. "Yup. Belum apa-apa, aku udah ngerasa kehilangan." "Maksudnya?" "Kalo kerjaan kita selesai, kita sama-sama bakal pulang. Pulang ke ... rumah masing-masing," jawab Rich sambil meringis menampakkan senyum miris. Feyra beranjak dari duduk lalu beringsut mengambil alih lembaran dokumen dari tangan Rich. Setelah meletakkannya ke atas nakas, Feyra lantas masuk ke dalam pelukan Rich. Perpisahan memang sesuatu yang sama-sama mereka takutkan. Namun, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi selama empat bulan ini. Pun hari-hari setelahnya tetap akan menjadi misteri. Bukankah Rich sendiri yang bilang bahwa tak perlu merisaukan masa depan? "Udah sana, katanya mau lanjut kerja. Aku turun sekarang," ucap Feyra. "Jangan. Kamu di sini aja. Rame banget di luar," cegah Rich. "Officer lagi pada mondar-mandir." "Lah, aku nggak mau. Aku takut di sini sendiri." Rich tersenyum melihat wajah Feyra yang kembali panik seperti tadi. "Takut apa? Ini tempat paling aman di kapal." "Kalo ada yang masuk gimana?" "Nggak mungkin. Nggak ada yang berani kesini." "Kalo ada yang ketuk pintu kayak tadi gimana?" tanya Feyra lagi. "Nggak ada. Kan aku di luar. Nggak mungkin ada yang nyari kesini." "Ya kalo ada gimana?" "Ya nggak usah dibukain." "Terus kalo didobrak gimana?" Rich sontak tertawa melihat Feyra yang mulai berpikiran macam-macam. Otak pintarnya mendadak memunculkan hal absurd saat wanita satu ini panik atau ketakutan. Rich sudah paham. Sejak dulu, Feyra memang sering seperti itu. Setelah menjentikkan jari pada kening Feyra, Rich lantas mengambil lagi dokumen kerjanya. Dia sejenak memeriksa ulang lembaran berisi tabel, grafik, dan beberapa gambar rumit. "I have to go. Kamu nggak usah mikir aneh-aneh. Nggak bakal ada yang kesini," tegas Rich sekali lagi. Baru saja Feyra akan mendebat, bibirnya sudah dibungkam dengan sebuah ciuman. Tidak terlalu lama, tapi tetap terasa dalam. Oh Gott. Rasanya selalu manis dan memabukkan. "Aku nggak lama kok. Pokoknya kamu nggak boleh kemana-mana." "Ok," jawab Feyra menurut. "Makan udah ada di meja, snack ada di lemari, sama di kulkas juga ada. Kalo mau mandi, just use my toiletries. Baju gantimu pake dulu punyaku yang ada di lemari." "Iya. Udah sana," ucap Feyra seraya mendorong Rich keluar dari kamar. Rich menurut. Dia melangkah menjauh hingga ke arah pintu penghubung. Namun, dia kembali berbalik menatap Feyra sambil tersenyum. "Fey, aku nggak punya underwear wanita. Jadi, ... kamu nggak usah pake aja. Aku bakalan suka." "Rich!" Feyra memekik seraya melempar segumpal bungkus cokelat. Sebenarnya sudah tepat sasaran. Sayangnya, benda itu justru mendarat pada daun pintu. Rich sudah berhasil keluar sebelum Feyra mulai mengamuk. Sambil masih tersenyum, Rich lantas melangkah ke anjungan. Ada beberapa hal yang harus diurus dan disesuaikan. Tak butuh waktu lama, Rich lantas turun ke bawah untuk menemui beberapa orang. "Kapten Heinrich," panggil Mike saat mereka berpapasan. Temannya yang satu ini memang suka mengubah cara panggil. Jika hanya berdua, mereka hanya saling memanggil nama. Bahkan kadang Mike menyebut dengan beberapa sapaan akrab. Namun, saat di tengah para officer dalam situasi kerja, dia akan menyematkan panggilan resmi. "Kita berangkat malam ini atau besok pagi?" tanya Mike. "Katanya jadwal berubah." "Malam ini. Why?" "Ok, then. Dokter Feyra kayaknya turun dari kapal dan belum balik sampe sekarang. I'll call her again, dari tadi nggak aktif." Rich sedikit tertegun. Setelah berdehem dan mengatur ekspresi pura-pura tidak tahu, dia lantas bertanya, "Dia sendiri?" "Mungkin iya. Anak-anak lain ada di bawah. Mereka semua lengkap," jawab Mike. "Mungkin dia tidur di kabin," ucap Rich. "No. Aku udah ketuk pintu, dan nggak ada jawaban," terang Mike. Rich mulai menimbang untuk segera mengeluarkan Feyra dari kabinnya. Atau cara lain adalah meminta Feyra untuk mengaktifkan ponsel yang sebelumnya sudah ia matikan secara sengaja. "Hpnya belum aktif," keluh Mike. Lelaki itu kemudian berniat akan melaporkan Feyra ke bagian HR. Rich ingin melarang, tapi dia tak mungkin terang-terangan mengubah prosedur. Shitt! batin Rich. Setelah briefing selesai, kapal akan langsung bertolak dari Genoa. Sebelum itu, tak boleh ada satu pun kru kapal yang berada di luar. Semua harus sudah berkumpul di atas kapal. Mau tak mau, Feyra harus menampakkan batang hidungnya. Baru saja Rich akan berbalik menuju captain cabin, Kai dan beberapa officer lain sudah memanggilnya. Seluruh anggota sudah lengkap dan briefing akan segera dilangsungkan. Otak Rich seperti ditarik kesana dan kemari. Di satu sisi, dia ingin mencegah Mike agar tak perlu menemui HR, di sisi satu lagi dia harus menemui Feyra di captain cabin, dan di sisi yang lain dia harus segera memimpin briefing. Damn! Sejak bertahun-tahun bekerja di atas kapal, baru kali Rich ceroboh seperti ini. Ternyata dia masihlah manusia yang bisa melakukan kesalahan. Kini, pada satu detik waktu, Rich harus menyelesaikan masalah di saat yang bersamaan. God damnit. Wahai otak, ayo berpikirlah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD