Nauseous Graduation

2099 Words
12 Mei Pagi-pagi buta, Sky sudah dibangunkan oleh sang ibu. Matanya yang masih lengket enggan terbuka, tetapi wanita itu bersikeras membangunkannya dengan menarik selimut yang sedang ia kenakan. “Bangun, Sky! Katanya hari ini mau wisuda, jadi nggak sih?” omelnya membuat mata Sky perlahan terbuka. Wisuda? ASTAGA! Sky langsung terduduk di kasurnya. Dengan rambut berantakan, ia menggaruk kepala yang tidak gatal. Sesekali pula ia mengucek matanya. Wanita yang berdiri menjulang di depannya itu hanya menggelengkan kepala. Anak dari suaminya ini benar-benar membuatnya kerap kehilangan rasa sabar. “Buruan mandi sana.” “Iya iya,” sahutnya lesu. Ia berjalan menuju kamar mandi dengan gontai. Sebelum ia menutup pintu kamar mandi, ibunya berteriak, “Jangan keramas!” Selagi menunggu sang anak selesai membersihkan diri, ia memutuskan untuk membereskan barang-barang yang berserakan di kamar itu. Mulai dari buku bacaan, hingga setumpuk buku batik berisi latihan soal. Ia memeriksa di setiap barang milik Sky, selalu ada inisial S dan sebuah gambar awan. Ia tahu itu insial Sky. Pernikahannya bersama sang suami memang baru berjalan selama tujuh tahun. Namun, ia telah mengenal sosok Yuda sejak ada di bangku kuliah. Ia juga sudah mengenal Sky sejak masih bayi. Dulu, awalnya ia ragu. Kepergian sang suami untuk selama-lamanya membuatnya enggan memulai hubungan baru. Namun, Yuda membuktikannya. Pria itu membuktikan bahwa ia tidak akan membiarkannya merawat anak seorang diri. Ditambah ia memiliki anak perempuan yang sudah remaja, ia juga merasa kasihan karena Yuda harus mengurus Sky sendirian. Setelah dua kali penolakan, ia akhirnya mengiyakan pada kesempatan ketiga. Monik tahu anak-anaknya belum bisa akrab seperti kakak beradik pada umumnya. Ia pun tahu kalau Sky selalu merasa dibandingkan dengan kakak tirinya, Cindy. Namun, semua itu dilakukannya agar Sky bisa lebih baik dari Cindy. Monik hanya berpikir bahwa anak-anaknya harus lebih sukses dari dirinya yang hanya seorang designer kecil. Pintu kamar mandi terbuka. Sky sudah berbalut dengan kaos santai, membuat Monik membuang napas dan memberikannya sebuah kemeja. “Pakai ini, setelah itu ke kamar Ibu.” Sky mendengkus. Ia lupa hari ini pelaksanaan wisuda di sekolahnya. Setelah ini ia akan jarang bertemu dengan teman-temannya. Astaga, belum apa-apa Sky sudah dibuat mellow. Ia bergegas memakai kemeja yang tadi diberikan oleh ibunya. Tidak hanya pandai membuat baju, ibu tirinya itu juga pandai bersolek wajah. Setiap acara penting, Sky tidak pernah menyewa seorang MUA, semua dikerjakan ibunya sendiri. “Ibu?” panggilnya sembari mengetuk pintu kamar. “Masuk, sini.” Terlihat ibunya itu sudah bersiap dengan segala alat perangnya. Sky menarik napas, berdoa semoga wajahnya itu tidak dihias dengan ketebalan yang tidak diinginkan. “Jangan menor-menor ya, Bu,” pesan Sky takut-takut dan hanya dibalas kekehan dari Monik. “Sejak kapan Ibu kasih yang menor?” Tangannya dengan cekatan memoleskan foundation pada wajah halus milik anaknya itu. “Waktu Kak Cindy graduate make upnya menor, Bu.” Sky mengeluhkan penampilan kakaknya saat wisuda. Sky benar-benar malu dibuatnya. Bibir merah, pipi merah, alis tebal, shading hidung terlalu menonjol. Pokoknya nggak natural banget, deh! “Lho itu kan yang minta Kak Cindy, bukan Ibu.” Jawaban Ibu membuat Sky cemberut. Wisuda kali ini ia benar-benar ingin tampil dengan layak. Ya, setidaknya ini hari besar terakhirnya di SMA. Sky menghela napas ketika Ibu menyuruhnya tidak cemberut dan memasang wajah senyum. “Cemberut terus nanti berkerut lho.” Sky memasang wajah senyum masam, membuat Monik terkekeh. Meski bukan anak kandung, tetapi ia menyayangi Sky layaknya anak sendiri. “Harus natural pokoknya ya, Bu.” “Iya iya. Sky diam dulu deh, ini Ibu susah ratainnya.” Tangan Monik masih cekatan menepuk-nepuk wajah Sky dengan spons. Beruntung Sky selesai make up sekaligus hair do pukul 07.30 WIB karena wisuda akan dimulai satu jam lagi. Ia pun tidak perlu repot-repot menyewa kebaya karena ibunya sudah menyiapkan satu set kebaya khusus untuk wisuda Sky. “Sudah belum?” tanya Papa Yuda kepada Sky yang sedang memakai heels pinjaman milik ibunya. Untung saja ukuran kakinya tidak jauh dengan ukuran kaki sang ibu. “Udah Pa, Ibu yang belum kelar tuh,” sahut Sky sambil menenteng slingbagnya. Pagi ini Papa Yuda akan mengantar mereka, sekalian berangkat kantor. “Ibu!” panggil Sky sedikit berteriak. Ibunya memang punya kebiasaan sedikit lambat dalam melakukan segala sesuatu dan itu membuat Sky kerap kali geregetan. “Sebentar!” Rumah yang cukup mewah ini hanya ditinggali oleh ibu, papa, dan dirinya, serta beberapa asisten rumah tangga yang memang dipekerjakan sejak orang tuanya menikah. “Ibu lama deh, Papa keburu lumutan tuh,” ujar Sky dengan nada jenaka yang berhasil mengundang tawa pria di sebelahnya. “Sky jangan didengarin deh, Pa. Lama-lama kamu receh,” ungkap Monik setelah selesai persiapan. Ia hanya mengenakan blouse lengan panjang dengan celana kulot modern dan sedikit riasan di wajahnya. “Habis Ibu lama banget dandannya,” keluh Sky sembari memasang sabuk pengaman. Perjalanan yang mereka tembuh sedikit lebih lama dari biasanya karena kemacetan lalu lintas yang tidak bisa dihindari lagi. Mereka menikmati sarapan sepanjang perjalanan untuk menghemat waktu. “Jadi, kamu mau lanjut ke mana, Dek?” tanya Papa Yuda setelah menelan sepotong roti panggang. Sky yang sedang asik menyuap salad terpaksa menelannya dengan kasar setelah mendengar pertanyaan itu. “Sky udah konsultasi, udah persiapan ujian juga. Sky mau jadi psikiater, Pa.” Sekilas Papa Yuda mengernyit. Ia tidak begitu familiar dengan profesi tersebut. Sedangkan Monik hanya menatapnya sekilas tanpa memberikan komentar apa pun. “Ngapain itu? Ngobatin orang sakit jiwa?” tanyanya dengan nada yang menurut Sky sedikit agak meremehkan. Sepertinya kali ini Sky harus sabar dalam memberikan penjelasan agar kedua orang tuanya itu tidak salah paham. “Secara kasarnya gitu, Pa.” “Kenapa mau jadi psikiater?” Sky terdiam sejenak. Ia mencari jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaan papanya yang mulai kritis itu. “Sky nggak tahu harus mulai dari mana. Pertama kali Sky kepikiran mau jadi psikiater karena ada satu teman Sky yang terpaksa berhenti sekolah karena mentalnya agak terganggu. Sky mau tahu lebih dalam dan mau bantu orang-orang,” ungkapnya. “Temanmu itu mau masuk mana dia?” “Syifa?” tanya Sky memperjelas dan dibalas anggukkan oleh sang papa dari kursi kemudi. “Sama, jadi psikiater juga di Jakarta. Sky ke Jakarta juga ya, Pa?” bujuk Sky. “Kamu serius mau kuliah di sana? Yakin?” Papa Yuda memastikan keinginan Sky berulang kali. Pandangannya tetap fokus pada jalan di depan, sedangkan tangannya lincah mengendalikkan kemudi. Sky mengangguk. “Yakin, Pa. Kak Cindy aja boleh kuliah ke luar kota, masa Sky nggak boleh?” tanyanya dengan nada merajuk. “Udahlah, Pa. Biarin aja Sky belajar mandiri,” sahut ibunya yang sedang memainkan ponsel. Diam-diam Sky menyunggingkan senyum tipis. Untuk kali ini ia sependapat dengan sang ibu. Biasanya ia dan wanita itu akan berdebat tentang hal sekecil apa pun. Mereka jarang bisa akur. Entah karena kebiasaan Sky yang tidak disukai ibunya atau sikap sang ibu yang membuat Sky kesal. “Sky pasti bisa jaga diri kok. Lagi pula Jakarta bukan ada di luar planet,” jawabnya dengan asal. Suara rem tangan ditarik berbunyi. Mereka telah sampai di depan gedung yang menggelar wisuda SMAnya. Sky melepas sabuk pengamannya dan langsung turun dengan perlahan setelah mencium punggung tangan sang papa. Sky beserta ibunya menuliskan nama mereka pada sebuah buku, seperti buku tamu, sebelum memasuki gedung. Di dalam, mereka disambut oleh fotografer. Sesi foto ini gratis dan hasilnya akan langsung diberikan kepada murid dan wali secara cuma-cuma. “Kelasmu ada di mana?” tanya Ibu Monik pada Sky yang juga sedang mencari rombongan kelasnya. Ketika pandangannya sibuk mencari dari sudut ke sudut, tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang dan membuatnya sedikit terperanjat. Tubuhnya secara refleks berbalik dengan cepat. Matanya membulat dengan alis berkerut. “Junio!” Laki-laki dengan pakaian adat Jawa itu hanya tersenyum lebar. Junio menghindar dari pukulan yang akan dilayangkan Sky pada lengannya. “Kelas kita mana, sih?” tanya Junio mengabaikan tatapan membunuh dari perempuan di sebelahnya itu. “Auk, cari aja sendiri.” Sky masih menatapnya tajam. “Ayo ke sana, Bu.” Sky mengajak ibunya untuk segera duduk di barisan kelasnya tanpa menghiraukan teman sekelasnya itu. Ia tidak peduli apakah Junio akan mengikutinya atau tidak. Ia sudah telanjur kesal dengan laki-laki itu. Crazy Vanity Well, Sky memang sudah dikenal seantero sekolah, bukan hal yang baru baginya untuk berdiri di depan banyak orang. Namun, ini menjadi kali pertama dalam hidupnya memberikan speech saat wisuda sekaligus perpisahan di depan teman dan para guru. Matanya memandang lurus ke depan. Sesekali meneguk ludah dan menarik napas dalam. Kata-kata yang semalam suntuk ia hapalkan mengalir dengan lancar, meski sesekali berhenti karena tidak sengaja bertatapan mata dengan seseorang. Senyum terukir di wajahnya dan membungkukkan sedikit badannya ketika ia selesai berpidato. “Bisa juga lo ngomong di depan banyak orang gitu,” celetuk Junio ketika Sky mendudukkan diri di depannya. Sky menoleh ke belakang sekilas dengan tangan bertumpu di punggung kursi. “Andai bisa direwind, gue juga nggak akan mau speech kayak tadi.” Sky memutar bola matanya diiringi kekehan Junio. Acara yang berlangsung hampir tiga jam itu membuat Sky hampir menguap. Ibu Monik menyodorkan selembar tisu padanya. “Jangan sampai make upnya luntur.” “Aku mau ke toilet bentar, Bu.” Sky beranjak dan berjalan ringan menuju toilet yang berada di ujung. Ia berjalan menyusuri lorong sendirian. Kakinya berhenti melangkah ketika melihat seorang wanita berdiri di depan cermin. “Mama ngapain di sini?” “Sky!” Mama Ratna hendak memeluk Sky yang masih mematung di tempat. Namun, yang ia lakukan mundur beberapa langkah. “Selamat atas kelulusannya, Nak.” Sky menelan ludah tidak mempercayai seseorang di depannya. Tanpa diperintah, matanya mulai berkaca-kaca. Lidahnya kelu hingga tak bisa berkata-kata. Kekesalannya memuncak ketika wanita itu berusaha meraihnya. Ia berkata dengan terbata-bata. “Watch your step. Aku nggak mau ketemu.” “Mama mau kasih selamat aja, Sky. Kamu di sini sama siapa?” Sky menggeleng. Ia mengembuskan napas berat. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sky tidak ingin memusuhi wanita itu. Namun, perasaan itu masih mengganjal. Ada rasa tidak terima ketika tahu mamanya sudah memiliki anak, bahkan ketika ia tahu bahwa anak itu sudah ada ketika proses perceraian kedua orang tuanya. “Mama harusnya nggak usah datang. Ibu Monik udah temenin Sky,” jawabnya lirih sambil memalingkan wajah. Terlihat mamanya hanya tersenyum singkat. Tatapan matanya pun berubah tidak secerah sebelumnya. Entah apa yang sedang ia pikirkan, Sky tetap tidak peduli. “Kenapa nggak minta Mama temenin? Kenapa Ibu Monik, Sky?” Pertanyaan itu membuat Sky mengerutkan kening dalam. Sky tidak suka dengan pertanyaan itu. Meski ia memang tidak begitu akrab dengan Ibu Monik, ia berada dalam satu atap yang sama dengannya. “Karena Ibu Monik juga ibu Sky, Ma,” dengkusnya kesal. “I don’t wanna talk about this. Mama bisa pulang aja sekarang.” Sky memutuskan untuk memutar badan dan meninggalkan mamanya sendirian. Ia memutuskan untuk mencari toilet lain. Keterkejutannya kemarin masih belum pulih sepenuhnya. Ia tidak pernah tahu karena, baik papa maupun mamanya tidak pernah memberi tahu sebelumnya. Sky berjalan cepat sembari mengatur napas. Entah apa yang diinginkan mamanya saat ini, ia masih belum bisa menerima. Sky mungkin akan menerima, tapi tidak untuk sekarang. “Sky? Lo kenapa?” Junio mendapati Sky yang sedang berjalan cepat sembari menunduk. Wajahnya menyiratkan sorot khawatir setelah tidak sengaja melihat seorang wanita yang cukup ia kenal yang menjadi alasan perempuan di depannya itu memasang wajah tak senang. “Sky,” panggilnya lagi. Mereka berjalan ke arah sisi gedung yang lumayan sepi. Di sana Junio membelakangi Sky ketika ia mendengar suara isakan kecil. Laki-laki itu menghela napas ringan. Ia menunggu tangisan perempuan itu reda. “Makasih,” jawab Sky menerima sapu tangan yang diberikan Junio. Ia tidak berusaha mengusir laki-laki itu dari hadapannya. Justru ia berterima kasih karena telah menemaninya tanpa banyak bertanya. Bukankah itu yang perempuan inginkan ketika hatinya sedang merasa sedih? Cukup didengarkan dan ditemani tanpa banyak pertanyaan. “Mau balik sekarang apa nanti? Takutnya ntar Tante Monik nyariin,” terang Junio setelah Sky tidak lagi bersedih. “Lagian kenapa pakai nangis segala, sih? Make up lo luntur itu, sayang banget.” Ejekan itu hanya dibalas dengan dengkusan dari Sky. Junio selalu tahu cara membuat perasaannya membaik. Seperti dialog itu contohnya. Sky berjalan mendahului Junio tanpa mengatakan apa pun. Laki-laki itu tersenyum kecil ketika perempuan di depannya mulai menegakkan kepala. Rupanya kepercayaan diri Sky sudah kembali dan ia bersyukur akan itu. “Thankyou ya lo udah nemenin gue tanpa banyak tanya,” ucap Sky ketika mereka berada di lorong. “Udah biasa gue jadi nggak perlu sama-sama deh ya.” Ucapannya membuat Sky tidak jadi berbaik hati pada laki-laki itu. Ia memberinya tatapan sinis dan cibiran untuk Junio. “Serah lo, deh.” Junio tergelak mendengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD