Let Me Know You, Biru

2018 Words
Let Me Know You, Biru 11 Mei Padatnya jalanan terpaksa menghentikan perjalanannya sejenak. Tidak ada yang bisa ia perbuat jika ini menyangkut lalu lintas ibukota. Sudah sering dan sudah terbiasa seharusnya. Namun, Biru menjadi gelisah karena hari ini adalah hari jadi yang kedua tahun dengan sang kekasih. Ia bisa saja terlambat ke restoran pilihan mereka. Berbagai pesan ia kirimkan kepada kekasihnya itu untuk menunggunya sejenak. Semalam ia lupa untuk tidak mengambil kue yang telah dipesan, jadilah semua rencananya hampir berantakan. “Maybe I’m late, you can eat anything you want, Di.” Begitu panggilan terakhir yang ia berikan pada sang kekasih. Anniversary dua tahun ini harusnya menjadi spesial, bukannya berantakan. Sesekali ia mengutuk dirinya. Hari ini adalah weekend, tentu saja jalanan akan menjadi padat melebihi hari-hari biasanya. Sudah tidak heran jika kendaraan di lalu lintas akan mengular bak antrean sembako. Setelah menahan rasa jengkel selama 30 menit, Biru buru-buru masuk ke dalam restoran dengan menenteng kue pesanan yang tadi ia ambil. Senyumnya terbit kala melihat wanitanya berdandan cantik di sudut meja. “Hi, Di.” Biru mencium pelipis perempuan itu sambil mengusap pelan puncak kepalanya–kebiasaan yang sangat disukai wanitanya. “Hai, Sayang,” balas perempuan itu tak kalah ramah. “I’m so sorry for making our anniversary mess.” Biru sedikit menundukkan kepalanya, tapi tangan permpuan itu meraih dagu Biru dan menggeleng pelan sambil tersenyum manis–senyum favorit Biru. “It’s okay, not your fault.” “Thankyou.” Biru menggenggam tangan yang sempat bersandar di dagunya dan mengelus lembut. Tangannya harum bak seusai mandi bunga. Ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak merah dari sana. “Happy anniversary, Di.” Biru menautkan cincin pada jari manis wanitanya. Perempuan itu terperangah. Ia tidak pernah mengira Biru akan semenakjubkan ini! Hey! Pria di depannya ini memiliki sifat dingin hampir mendekati nol derajat celcius. Bagaimana bisa ia memberinya cincin di hari jadi kedua tahun mereka? IT’S PRETTY ROMANTIC! “Why you–” Ucapan perempuan itu terpotong ketika ia melihat Biru tersenyum begitu manis. Senyum yang jarang ditunjukkan kepada siapa pun! “It’s all for you, Dira Anitya Maheswari,” ucapnya. Perempuan itu terkekeh sambil menitikkan air mata. “Kamu romantis banget, Bi.” “Aku kan jadi salah tingkah,” adunya dengan nada merajuk. Kini kedua tangannya digenggam oleh Biru. Sesekali pria itu mencium punggung tangannya dengan romantis–seperti adegan pada film. Setelah makan malam selesai, mereka memutuskan untuk langsung pulang. Rencananya, mereka akan menghabiskan malam bersama di rumah Dira. Namun, ketika sampai di pekarangan rumah perempuan itu, ada seseorang yang sedang duduk di atas kap mobil sambil menyilangkan kedua tangan. Biru menarik rem tangan dan memperhatikan sosok itu dengan saksama. Wajahnya tidak asing. Kepalanya menoleh hendak bertanya kepada Dira, tetapi perempuan itu malah sedang memandang laki-laki itu dengan mata membulat. “Siapa dia?” tanya Biru tanpa ada tanggapan. “Kenapa dia duduk di sana? Kamu kenal?” Biru terus mendesaknya dengan rentetan pertanyaan yang malah membuat Dira semakin gugup. “Dira Anitya Maheswari!” tegur Biru dengan nada cukup keras. Ia kesal karena tidak ada satu pun pertanyaan yang ia lontarkan dijawab. “Jawab! Kenapa diem aja?!” Seruan itu makin membuatnya enggan menjawab. “Oke, kalau kamu nggak mau jawab. Biar aku yang tanya sendiri.” Biru melepas seatbeltnya dan membuka pintu mobil. Langkahnya berderap cepat menuju mobil laki-laki tak dikenal itu. Sedangkan Dira hanya menonton dari dalam mobil, ia tak berani keluar. “Ricky? Lo ngapain di sini?” tanya Biru setelah berdiri di hadapan laki-laki itu. Laki-laki yang ternyata salah satu rivalnya di kampus. “Ketemu cewek guelah. Lo ngapain di sini?” balas Ricky bertanya. Wajahnya menunjukkan keangkuhan yang tak kalah mematikan dari Biru. “Nganterin cewek gue pulang.” Biru menjawab tanpa ragu meski ada keraguan di benaknya. Ia memandang wajah angkuh itu dengan wajah datar. Mereka saling menatap tajam satu sama lain. Keduanya menoleh ketika mendengar suara bantingan pintu mobil yang cukup kencang. Di sana Dira sedang berdiri di sisi mobil Biru. Dengan langkah perlahan, ia berjalan menuju tempat Biru dan Ricky berada. Ia tidak berani menatap keduanya. Berulang kali pula ia mengatur napas. Dira berhenti di tengah-tengah keduanya. “Hai, Sayang.” Ricky langsung memeluk Dira tanpa sedikit pun menoleh ke arah Biru. Tangan Dira menggantung, tidak bisa balas memeluk Ricky karena di depannya ada Biru yang sedang menatap nyalang dirinya. Biru melepas paksa pelukan keduanya dan hendak memberi bogem mentah pada Ricky yang asal memeluk kekasihnya itu. Namun, Dira menahannya. Dengan mata berkaca-kaca, ia memohon agar Ricky tidak dipukul. “Bi, please. Aku bisa jelasin.” Biru menatap Dira dengan rasa tidak percaya. Kepalanya menggeleng beberapa kali, tidak menyangka jika wanitanya akan berbuat seperti ini. “Berapa lama? Berapa lama kamu main di belakang, Di?!” bentak Biru di hadapan Dira, memancing kekesalan Ricky. Dira menatapnya dengan takut-takut. Ricky menepis kepalan tangan di depannya itu. “Kenapa nggak bisa jawab kamu?!” Biru benar-benar membuat Dira ketakutan. Ia tidak pernah melihatnya semengerikan ini. “Gue benar-benar nggak nyangka. We’re over, Di.” Matanya menatap tajam Dira yang menunduk, kemudian beralih ke arah Ricky. “Lo menang lagi. Selamat.” Biru mengucapkan kata-kata itu dengan nada sinis sebelum meninggalkan keduanya yang tengah terdiam. Emosi menguasai dirinya. Biru mengeluarkan mobilnya dari pekarangan itu dan melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Alisnya terus berkerut menandakan Biru sedang tidak dalam kondisi yang tenang. Jantungnya berdegup kencang karena menahan emosi. Tujuannya saat ini adalah ke puncak. Tempat favoritnya ketika sedang kalut. Biru mengacak rambutnya. Tawanya tak henti berderai di sepanjang perjalanan. Perasaannya seolah tercabik-cabik atas penghianataan sang mantan kekasih tepat di hari jadi mereka yang kedua tahun. Mimpi apa dia semalam sampai mengalami kisah menyedihkan ini? Sesampainya di puncak, lebih tepatnya villa milik keluarga Obsidian. Ia memarkirkan mobilnya dengan asal di pekarangan villa itu setelah gerbang dibukakan oleh satpam keluarganya. Kakinya menendang bebatuan yang tersebar di pekarangan jalan yang ia lalui. “Loh, Den. Kok malam-malam di sini? Ndak dingin ta?” Seorang bibi yang menjaga villa itu menghampiri Biru. “Enggak Bi. Lagi mau sendiri.” Biru menjawab tanpa memberikan senyum seperti biasa. Bibi itu juga tidak ingin begitu mendekat ke arah Biru. Ketiga kalinya Biru ke tempat ini dengan keadaan berantakan. Jas berwarna abu-abu sudah tak dikenakannya. Rambut rapinya juga sudah acak-acakan. Lengan kemeja ia gulung dengan asal. Tidak lama sejak kepergian bibi penjaga, Biru merasa ada seseorang lagi yang datang ke sekitarnya. “Shut your mouth. Gue lagi nggak mau dengar nasihat kacangan lo,” ucap Biru membungkam mulut orang itu. “Tahu aja lo kalo gue yang datang,” sahut orang itu. Ia mendudukkan diri di sebelah Biru sambil memandang langit hitam dengan gemerlap bintang. “Bau badan lo ketebak, Ger.” Biru melirik sekilas ke arah Geri, laki-laki itu merupakan keponakan bibi penjaga tadi. Ia tinggal di desa yang tak jauh dari villa milik keluarga Obsidian. Ia telah mengenal Biru sejak mereka duduk di bangku SMP. Tidak heran jika ia terkadang berbuat semena-mena kepada Biru atau sebaliknya. “s****n lo!” Geri memukul ringann lengan atas orang di sebelahnya itu. Mereka kembali terdiam. Biru menginteropeksi diri apa yang salah dari dirinya hingga kekasihnya sendiri bermain api di belakangnya, bahkan dengan rival yang seantero kampus tahu kabar itu. Sedangkan Geri sedang menyusun kalimat, meski Biru menyuruhnya untuk tidak memberi advice. “Udah dua tahun lo nggak pernah begini. Sekarang kenapa lagi?” tanya Geri mencoba mencari tahu. Biru berdecih. Kedua tangannya mengusap wajah dengan kasar. Ia benci mengingat kejadian tadi, tapi Geri adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya melampiaskan amarah. “Gue sampai lupa kalo orang terdekat pun bisa jadi pengkhianat.” Jawaban Biru membuat Geri mengerutkan kening. Namun, ia tetap mendengarkan penjelasannya. “Gila, b**o banget gue.” Biru menggeleng tidak percaya. Ia pikir bersama Dira semua akan lebih menenangkan, ia tidak lagi kalut dan merasa rendah diri. Namun, nyatanya justru perempuan itu yang membuatnya makin tidak karuan. “Sekarang siapa lagi?” tanya Geri hati-hati. Perasaan Biru saat ini mungkin sedang sensitif, tapi ia cukup penasaran dengan seseorang yang berhasil membuat temannya ini kalut. “My ex,” jawab Biru. “Putus dua jam yang lalu.” Geri menahan keterkejutannya dengan wajah datar sambil mengangguk. Jelas ia tidak ingin membuat perasaan Biru semakin buruk. “You deserve better, Bro.” Biru yang sejak tadi memandang kosong tanah di bawahnya hanya menggeleng kepala, mengelak semua perkataan yang keluar dari mulut Geri. “Basi lo.” “Lo pernah nggak sih percaya sama orang, tahunya semua kepercayaan lo dianggap sepele sama mereka dan ketika dia minta kepercayaan itu, lo nggak bisa ngapa-ngapain soalnya semua kepercayaan yang lo punya was gone?” tanya Biru. Geri mendengkus. “Itu yang lo rasain sekarang?” “Kalau gue sih nggak bakal mau ngomong sama orang itu. Well, anggap aja sebagai recovery setelah lo mengalami pengkhianatan itu.” Laki-laki yang mengenakan pakaian hangat lengkap itu menjawab dengan nada suka-suka. Biru melirik ke arah Geri. Ia mengamati gerak-geriknya yang kelewat santai. Biasanya orang akan menjauh jika ia sedang terlihat tidak seperti biasanya, tetapi Gerilah satu-satunya orang yang berani mendekati ketika ia berada di kondisi terburuknya. “Maybe the way to make you feel better is forgive them. I mean it’s not easy–of course, but sometimes in our life we need that people like that who lift you up.” “Kind of pathetic!” geram Biru. Geri menepuk pundak Biru. “Santai Bro. Jangan kaku-kaku amat.” Ia melepaskan tangan Geri dari pundaknya. “Gue selalu jadi nomor dua sejak kecil, gue nggak pernah jadi prioritas. Lo tahu? Bahkan di hari ini, hari yang harusnya gue bahagia, harusnya gue senang-senang malah kacau gini.” “Udah kesekian kalinya lo ngomong begitu. Gue udah hapal. Gue hanya akan bilang ini satu kali.” Kali ini keduanya saling berhadapan meski tak saling memandang. “Now the things all about s**t, but at the end of the day is a results of you processing that shit.” “And I’m the shit.” Tawa Biru berderai kering. “Bukan salah lo kalau hari ini kacau.” Geri mencoba menenangkan. “Tenang aja hari ini pasti lewat. Besok bakal ada cerita baru. Lo bakal nemuin hal yang bikin pemikiran ‘nomor dua’ lo itu perlahan menguap.” Geri menguap. “Gue cukup jenuh dengerin ocehan lo yang nggak pernah berubah itu.” Ungkapan itu tak lantas membuatnya kesal. Justru Biru malah makin terdiam. “Mending sekarang ikut gue pulang. Baliknya besok pagi aja.” Geri sudah bersiap untuk pergi. Namun, Biru masih terlihat enggan untuk meninggalkan area itu. Geri mengela napas, Biru sedikit sulit untuk dibujuk jika sudah seperti ini. “Terserah deh ya, gue udah coba buat ingetin ntar alergi lo kambuh.” Kakinya perlahan menjauh dari tempatnya semula. Biru sejenak termenung. Tidak semua perkataan Geri salah, laki-laki itu ada benarnya juga. Tidak salah ia menjalin pertemanan dengannya selama ini. Mengingat bagaimana ia selalu berpikir dari sudut pandangnya, Geri datang membantu menyeimbangkan keduanya. Berbeda dengan dirinya yang dahulu, bila ditilik lagi orang-orang yang mengenal Biru saat itu akan terkejut melihat perubahannya yang sekarang. Biru mengejar Geri yang telah berjalan lebih dulu di depannya. Ia menyamakan langkah kakinya dengan laki-laki itu. Geri merangkul Biru yang sedang menatap jalanan. “Lo nggak usah mikirn hal-hal yang bikin lo kepikiran macem-macem lagi deh.” “Nggak janji,” sahutnya dengan nada super datar. Biru menghela napas. Pandangannya terarah ke depan. Saat ini perasaannya cukup berkecamuk. Setelah kejadian di restoran itu, Biru sama sekali tidak tahu harus melakukan apa. Ia merasa tapak kaki yang selama ini dilalui tidak ada gunanya lagi. Geri mendesis. “Batu banget dibilangin.” “Mau cewek atau cowok, mau ganteng mau jelek, kalo udah selingkuh ya nggak bisa diapa-apain lagi. Selingkuh itu penyakit, nggak ada namanya selingkuh itu khilaf. Lo pikir deh, pacar lo selingkuh udah berapa lama? Setengah tahun? Setahun? Mereka main di belakang lo itu dengan kesadaran penuh. Jadi, jangan buang waktu lo untuk hal-hal yang nggak perlu disesalin. It’s not your fault, Bro.” Biru mendengkus dan melirik laki-laki di sebelahnya itu sekilas. “Lo bawel, but thanks.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD