PART 1

684 Words
 - THIS IS HOW THEY FACE THE WORLD - Semua bermula ketika Sky menginjak usia tujuh tahun. Usia memasuki jenjang sekolah dasar. Mulai sejak itu ia selalu ditempa. Sudah sejak dua belas tahun yang lalu ia menghabiskan waktu untuk belajar. Pagi hingga siang ia bersekolah dengan tugas yang menggunung, dilanjutkan siang hingga menjelang malam ia bersenang-senang di tempat les. Hampir 24 jam–setiap hari–Sky ditempa untuk mengasah otak. Namun, tidak sekalipun ia mengeluh. Usia yang terlalu belia membuatnya tidak banyak bergaul dengan teman-temannya. Selama enam tahun, ia sama sekali tidak mempermasalahkannya. Hingga kelulusan membuatnya tersadar bahwa yang ia lakukan selama ini tidak membuatnya memiliki teman. Hanya saat istirahat ia berbincang dengan yang lain. Meski mendapatkan peringkat satu selama enam tahun berturut-turut, Sky tidak merasa itu adalah pencapaian besar. Yang ia lakukan hanya belajar dan belajar. Baginya, menjadi peringkat satu adalah hasil yang memang seharusnya ia terima. Pujian demi pujian ia terima, baik dari orangtua maupun keluarga besar. Sejenak ia berbangga diri akan pencapaian yang ternyata diakui oleh orang banyak. Haruskah selalu menjadi yang pertama? Pertanyaan itu mengendap di benaknya. Hingga ketika dirinya menginjak usia 15 tahun, ia menyadari bahwa menjadi nomor satu adalah batu pijakan agar dirinya dianggap ada. Sekali waktu ia habiskan harinya untuk movie marathon, nilainya turun–meski tidak signifikan. Keberadaannya langsung lenyap di mata orangtuanya. Saat itu hanya sang kakak yang dipuji karena berhasil masuk ke fakultas kedokteran di universitas bergengsi. Sejak saat itu ia menyadari menjadi nomor satu adalah satu-satunya cara agar dirinya dianggap ‘ada’ dan maju satu langkah di depan sang kakak. Jika ditilik lagi, betapa sempurna hidup Sky. Semua fasilitas tersedia. Yang bisa ia lakukan adalah memberikan yang terbaik dan menjadi nomor satu di mata orangtuanya. Sekali gagal, mungkin orang-orang akan berpaling darinya. Sky tidak mau itu terjadi. Menjadi seorang penulis yang langsung mejeng di rak buku best seller membuatnya kian puas. Untuk pertama kalinya ia membuat sebuah cerita, sudah terpajang rapi di barisan buku dari penulis hebat lainnya. Sejak saat itu, menulis menjadi hobi sekaligus pekerjaannya. Meski royalti yang ia dapatkan tidak ‘se-wah’ penulis beken lainnya, at least ia berhasil bersaing dengan mereka. “This is a way for me to get the next level. I always be number one and no one can beat it. Whaetever I’m doing, it’s gonna perfect and smooth. Me, my luck, and my effort are the strongest destiny to face the world. I’ll not loose and ain’t not perfect anytime. Y’all can’t overtake me.” Biru Saveri Obsidian sejak kecil tak pernah menjadi pusat bagi orang tuanya. Ia selalu menjadi bayang-bayang Greyson Halim Obsidian. Mimpinya menjadi seorang tenaga pendidik tidak pernah direstui oleh sang papa. Tidak ada yang bisa ia lakukan selama ini, selain mengikuti semua keinginan papanya. Sejak kecil yang ia dapatkan hanyalah barang-barang bekas dari kakaknya. Tidak pernah ada barang baru sekali pun ia meminta. Menjadi anak tengah membuatnya merasa tertekan dan tertutup. Sejak kecil ia tidak pernah memiliki pendengar, meski mamanya akan selalu memintanya bercerita. Menjadi pendiam dan penyendiri? Tentu Biru sudah sangat berpengalaman. Tidak hanya berpengalaman, bahkan sudah terlatih dan terbiasa. Tidak banyak bicara, langsung melakukan aksi adalah salah satu sikap yang ia tanamkan dalam dirinya. Sekeras apa pun ajaran yang diberikan kepadanya, sosok Obsidian menjadi contoh dan panutan yang ia kagumi selama menginjak bangku sekolah. Sudah tidak terhitung banyaknya bagaimana Obsidian selalu menuntutnya untuk sempurna. Tuntutan itu membuatnya menjadi orang yang amat perfeksionis. Tidak boleh ada celah dan tidak boleh ada kegagalan. Kegagalan pertamanya ketika kuliah. Papanya sangat kecewa atas dirinya. Menjadi peringkat dua dalam upacara wisuda membuat papanya itu malu. Emosi yang sejak dulu ia tahan akhirnya menjadi bom waktu yang siap meledak. Kekalutan yang ia rasakan membuatnya tidak bisa menerima kenyataan. Seolah hidupnya hancur saat itu juga. “I won’t to be number two. No matter how hard I tried, it won’t make people see me. I hate being in someone shadow. I just wanna peace and people not see me as a failure cause I hate it.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD