Hiruk Pikuk Jakarta yang Tak Pernah Pamit

1545 Words
Jakarta. Mencicipi riuh pikuk ibukota tak membuatnya kapok untuk tinggal dalam waktu yang lama. Bersama sahabatnya, yang juga bersusah-payah beradaptasi diri, keduanya menjalin ikatan kuat selayaknya teman seperjuangan yang merantau. Bukan tanpa sedih mereka bertahan hidup di kerasnya ibukota yang tak kenal lelah. Hampir setiap hari mereka bergumul dengan pertanyaan yang sama, "Makan apa hari ini?” Pada dasarnya ia adalah tipe manusia yang selalu mengandalkan diri sendiri. Sky juga lebih suka mengerjakan semuanya sendiri. Tentu saja di kota dengan sifat individualis yang tinggi membuatnya cocok tinggal di sini. Dan hari ini Sky memandang Jakarta berbeda dengan biasanya. Tidak tahu secara spesifik apa alasannya. Sky selalu menatap Jakarta adalah kota metropolitan yang wajar bila harus berhadapan dengan kerasnya dunia. Namun, untuk hari ini ia merasa kalau kerasnya ibukota terkadang membuatnya cepat kelelahan. “Pace-nya gila-gilaan,” ucapnya ketika sesi mata kuliah hari ini selesai. Bayangkan saja ada empat bab yang harus mereka pelajari dalam sesi ini. Bagaimana tidak membuat kepalanya meledak? Ya meskipun semua orang juga tahu bagaimana rajinnya seorang Sky, tapi tetap saja ritme yang diberikan dosen ini agak di luar batas. “Ya namanya juga dosen sekaligus kajur. Sibuk nggak kelar-kelar,” sahut Ega berjalan sejajar dengan Sky. “Dosen itu katanya buka praktik juga?” Sky membenarkan posisi totebag dengan beberapa tumpuk buku di tangannya. Laki-laki berambut cokelat sedikit pirang itu mengendikkan bahu. “Denger-denger sih gitu, tapi nggak tahu di mana.” “Habis ini lo mau ke mana?” Langkahnya berhenti seraya menghadap perempuan itu. Mereka berhadapan dengan posisi agak menempel tembok karena banyak sekali mahasiswa yang lalu lalang di lorong itu. Bukannya sempit, tapi mobilitas di jam-jam ini memang sedang tinggi-tingginya. Apalagi ini jam pergantian sesi. “Ke basecamp mungkin atau ya ke kafe langganan.” Kafe langganan yang dimaksudnya adalah kafe yang baru ia datangi sebanyak dua kali. Selain harganya affordable, kafe itu tidak terlalu ramai karena terletak di g**g yang sulit dijangkau oleh kendaraan. “Basecamp dulu yuk. Masih jam 11 nih,” ajaknya menarik tangan Sky. “Lo bawa kunci kan?” “Bawa.” Basecamp ini adalah tempat perkumpulan anak-anak UKM Media Kampus. Well ya, Sky menjabat sebagai sekretaris. Berhubung ia masih berada di semester 1, jabatannya baru sebagai sekretaris 2. Sedangkan Ega merupakan anggota divisi fotografi. Sesampainya di sana, pintu basecamp tidak terkunci dan terdengar alunan musik milik Oasis menggema tanpa ada seorang pun di dalam. Sebagai pengurus harian yang sudah hampir 3 bulan menjabat, ia tahu betul ini kerjaan siapa. “Dewa kebiasaan banget,” decaknya. Tas dan bukunya ia letakkan sembarangan di atas karpet. Tangannya menekan tombol pause dan musik pun berhenti. Cerobohnya, Dewa meninggalkan barangnya di ruangan yang tidak terkunci. Tentu dengan laptop dan ponsel berharganya. Entah sudah berapa lama Dewa pergi, yang jelas Sky sudah bersiap dengan omelannya. Dewa adalah salah satu kepala divisi atau yang sering disebut kadiv. Ia menaungi divisi desain grafis. Dan laki-laki itu adalah penghuni tetap basecamp. Secara, hampir setiap hari ia berada di basecamp seperti rumahnya sendiri. “Dewa nggak nangis apa ya kalo laptopnya tiba-tiba hilang.” Ega turut prihatin dengan kecerobohan temannya yang satu itu. “Biarin aja sampai nangis darah gue juga nggak akan simpati sama itu orang,” ujarnya ebrapi-api saking kesalnya. Masalahnya, ini bukan kali pertama Dewa bertingkah sembrono. Laki-laki itu bahkan sudah ditegur oleh Mas Prima selaku pimpinan Media Kampus. “Dewa!” Panggilan itu membuat Dewa berjingkrak sambil mengelus d**a. “Udah dibilangin berapa kali jangan ninggalin basecamp dengan keadaan nggak dikunci.” “Lo tuh udah dikasih tahu sama Mas Prima berapa kali juga nggak pernah didenger.” Omelan itu berlanjut sampai Dewa duduk di depan laptop. “Ntar kalo barang-barang ada yang hilang gimana? Lo mau tanggung jawab?” “Iya, sorry.” Dewa menutup laptopnya dengan lemas. Omelan Sky kadang-kadang lebih menyakitkan daripada nasihat Mas Prima. “Lagian lo ke mana sih tadi sampai ditinggalin begitu?” tanyanya mencoba melunak. Emosinya sudah sedikit terluapkan. “Gue tadi ke toilet terus ketemu Galih, diajak ke perpus bentar,” jelasnya sejujur-jujurnya. Ia mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. “Ini lo mau ke mana?” “Kelas. Habis ini matkul wajib, gue takut telat,” ungkapnya diangguki oleh Sky, juga Ega yang sejak tadi diam saja melihat interaksi mereka. Lagipula ia hanya anggota yang tidak punya banyak wewenang atas itu semua. Memang tidak bisa disangkal mental mahasiswa semester awal bisa dibilang masih lemah. Transisi dari siswa menjadi mahasiswa bagi beberapa orang memang menyulitkan. Bahkan, ada yang sampai stres karena tidak mampu beradaptasi dengan baik. Dering ponselnya berbunyi selepas Dewa pergi. Ia meminta izin pada Ega untuk mengangkat telepon di luar. Halo “Mama?” Tangannya menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. Sky, katanya kamu kuliah di Jakarta? Itu benar? Pertanyaan itu membuatnya menghela napas sejenak. “Iya.” Kok kamu nggak kasih tahu Mama? Seengaknya kan kita bisa pamitan baik-baik Ia memang tidak berencana memberitahu keputusan pada mamanya itu. Lagipula restu Papa dan Ibunya sudah cukup. Untuk apalagi? Toh mamanya itu sudah punya keluarga sendiri. “Tiap semester aku pulang.” Ya tetep aja. Mama baru dikabarin Ibu kamu tadi ketemu di mal. “Oh.” Sky sangat ingin menutup telepon itu. Ia sedang tidak dalam mood mendengarkan cerita ataupun keluh kesah mamanya. Namun, rentetan pertanyaan yang diberikan oleh wanita di balik sambungan telepon itu tak pernah usai. Terpaksa, Sky harus menjawab satu per satu pertanyaan itu. “Iya. Sky ambil psikologi.” Kok psikolog sih? Kenapa nggak dokter sekalian? Kamu tu lho nanggung milih jurusannya. Psikologi nanti mau jadi apa kamu? Dokter kejiwaan yang ketemu orang gila terus? Ia menghela napas. Selalu saja orang-orang salah sangka dengan jurusan yang ia pilih. “Nggak Ma. Ini udah jadi pilihan aku. Jangan paksa aku untuk nggak jadi diriku sendiri.” Ya, tapi nggak bagus itu. Ponakan Mama aja masuk kedokeran gigi, masa kamu Cuma psikologi? Keponakan yang dimaksud mungkin keponakan dari pihak suami barunya. Sebab selama ini ia tidak pernah tahu kalau mamanya memiliki saudara. Ya, mama Sky adalah anak tunggal. “Ya, menurut aku psikologi juga bagus. Ma, lagipula di setiap jurusan itu ada struggle-nya masing-masing dan nggak bisa disama ratakan.” Sky coba menjawab setenang mungkin meski sebenarnya ia sudah gerah dengan anggapan yang makin memojokkannya itu. “Udah dulu ya, Ma. Aku mau lanjutin tugasku.” Akhirnya Sky menyudahi percakapan mereka. Ia tidak mau berlarut-larut beradu argumen dengan orang yang memang tidak mau menerima pendapat, ya seperti mamanya ini. Terdengar helaan napas dari seberang. Iya. Kamu hati-hati ya. Dah. Pangiilan ditutup. Tangannya mengusap dahinya yang sedikit berkeringat. Cuaca hari ini sangat terik. Matanya mengedar sekeliling. Sudah mulai sepi karena sesi pada jam ini pasti sudah dimulai. “Sky,” panggil Ega dengan tas yang sudah bertengger di punggungnya. Sepertinya laki-laki itu hendak pergi. “Gue cabut dulu ya. Lo nggakpapa kan sendiri?” Perempuan yang diajak bicara itu menganggung. “Santai.” “Yaudah kalo gitu gue duluan ya. Bye.” Sky melambaikan tangan. Kakinya melangkah masuk ke basecamp dan tidak lupa menutup pintu. Ia memutuskan untuk memutar musik dan beristirahat sejenak. Namun, tidurnya terganggu karena ketukan pintu basecamp. Dengan malas, ia membuka pintu dan seseorang itu langsung masuk, membuat Sky mendengkus. “Cip, kebiasaan deh.” “Bukannya lo ada kelas?” tanyanya sembari menurup pintu. Jarinya menjentik. “Nah, itu dia. Pending.” “Kasian banget udah buru-buru tahunya pending,” ledek Sky yang disambut dengkusan sahabatnya itu. Syifa merebahkan tubuhnya ke bean bag. “Sia-sia gue mandi hari ini.” “Mana ada mandi yang sia-sia.” Sky menggelung rambut cokelatnya yang sudah hampir sepunggung. “Daripada lo nganggur, temenin gue ke toko buku aja yuk.” Sahabatnya itu pun merengek. “Gue baru sampe Sky. Gila aja lo main ngajak gue dadakan gini.” “Ayolah. Bulan ini gue belum beli buku,” bujuknya. Hobi Sky yang satu ini bisa dibilang cukup boros. Hampir setiap bulan Sky selalu membeli buku atau novel, entah novel incerannya atau novel yang baru rilis. Kebiasaannya ini yang kadang-kadang membuat Syifa bergidik karena sahabatnya itu rela hanya makan dengan nasi dan abon selama seminggu untuk membeli sebuah buku. “Tapi jangan paksa gue buat beli juga ya. Awas aja lo.” Jarinya membentuk tanda peace. “Nggak janji kalo itu.” “Tuh kan!” seru Syifa. Tangannya hendak meraih bantal dan akan melemparkannya. “Kalo ada diskon kenapa enggak, Cip?” Sky masih terus merayu sahabatnya yang super hemat itu. Matanya memandang malas ke arah Sky yang sedang sibuk mematikan musik dan merapikan tasnya. “Beneran ini. Gue nggak mau keluar duit banyak bulan ini. Gue lagi nabung buat nonton konser.” Sky yang mendengar alasan itu berdecak. “Konser apaan lagi. Bulan lalu lo udah nonton yang di JiExpo. Sekarang mau di mana?” “PIK,” jawabnya sembari tersenyum kecil. “Anjir lo. Tiket konser lebih mahal dari beli buku, gila lo.” Ingin rasanya ia mengumpati Syifa yang super hemat, tapi sekali menghabiskan uang sampai ke dasarnya. Ludes. “Ya gimana, ini 88rising yang bikin. Masa ya gue skip gitu aja.” Perempuan itu memungut ponselnya yang sejak tadi dibiarkan tergeletak di atas karpet. Tangannya menyambar tas dan berdiri dengan malas. “Lo yang pesenin taksi online ya. Gue belum top-up,” ujar Sky sambil mengunci pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD