See You Again

1381 Words
Cuaca hari ini berawan. Tidak panas terik, tidak juga dingin. Sebuah mobil terparkir rapi di depan halaman rumah Sky. Hari ini adalah tanggal di mana ia dan Syifa harus berangkat ke Jakarta. Jika kalian bertanya mengapa harus kuliah jauh-jauh di Jakarta? Mengapa harus merantau padahal di kotanya sendiri banyak universitas unggulan? Well, sebenarnya ini balik ke prespective. Bagi Sky, ia harus bisa belajar mandiri tanpa bergantung dengan orang tua. Meski ya, mereka memang masih punya tanggung jawab atas dirinya, tapi bukan berarti ia harus berada di pengawasan mereka selama 24 jam. Sky sudah berpikir matang-matang. Ia punya hak penuh atas hidupnya. Jadi, apapun yang terjadi ia ingin bisa menyelesaikan dengan dirinya sendiri. Ya sebenarnya dia juga penasaran bagaimana rasanya merantau. “Kalian berdua benar-benar jadi pergi?” tanya Junio melihat koper-koper yang sudah siap diangkut ke bagasi mobil. Sky meraih jaket yang tergeletak di sofa. “Ya jadilah. Masa boongan.” “Cepet banget sih!” omel laki-laki itu yang hanya ditanggapi gelengan Sky dan Syifa. Meski mereka sering tidak sepaham dan tidak jarang bertengkar, tetap saja Junio merasa sepi jika tidak ada mereka berdua. “Udah sebulan. Lo mau kita nggak kuliah?” tanya Sky sebal dengan tingkah Junio yang mendadak manja dan kekanak-kanakan. “Tiap libur semester kita juga pulang,” tambah Syifa menjelaskan. Laki-laki itu mendengkus mendengar penuturan keduanya. “Gue nggak boleh ikut, nih?” bujuknya lagi. Entah ini usaha keberapa yang dilakukan laki-laki itu untuk setidaknya mengantar mereka ke stasiun. “Enggak!” sahut kedua perempuan itu bersamaan. “Pelit banget lo berdua.” Junio mengambil satu per satu koper dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. “Jangan protes kalo gue bakal spam kalian berdua,” katanya. Junio dengan sifat gengsi dan keras kepalanya tidak akan membuat kedua perempuan itu menurut. Ya, mereka berdua tahu maksud laki-laki itu, tapi cara penyampaian yang dilakukan sangat tidak mencerminkan niatnya. “Kalo gue telpon lo harus angkat. Gue nggak terima alasan apapun,” lanjutnya sambil menata bagasi agar muat dengan barang-barang mereka yang begitu banyak. “Kalo lo berdua butuh apa-apa hubungi gue langsung. Gue nggak mau dengar kabar kalian dari orang lain.” Kedua perempuan itu juga bergantian memasukkan tas-tas kecil ke dalam mobil. Mereka akan diantar oleh orang tua Sky ke stasiun. Orang tua Syifa juga ada, tapi tidak ikut mengantar karena ada urusan penting yang harus segera ditangani. Kebetulan orang tua Syifa keduanya adalah dokter. Pure blood, bukan? Omelan itu terus berlanjut hingga saatnya mereka berangkat menuju stasiun. “Kalian benar-benar harus dengerin kata gue tadi!” Junio kesal melihat kedua perempuan itu telah bersandar di pintu mobil tanpa menghiraukan dirinya. Bila boleh jujur, Junio mau juga berkuliah di Jakarta. Namun, restu orang tuanya tidak bisa ia bantah lagi. “OKE?” Junio seperti bermonolog. Ocehannya yang panjang kali lebar tidak mendapat respon dari kedua perempuan itu. Bahkan, mereka hanya melihat bagaimana cara Junio mengomel sambil menunjuk-nunjuk ke arah keduanya. “Iya Bapak Junio tersayang kami. Lo cerewet banget deh,” balas Sky mengomel. Lengan jaket biru pastel yang ia kenakan digunakan untuk mengelap keringat di dahi laki-laki itu. “Nunduk sini!” Junio menurut dan tersenyum singkat. Tidak tanggung-tanggu, Syifa juga memberinya sebotol air mineral dingin. “Thanks. Lo berdua cantik kalo kayak gini. Gue berasa jadi punya istri dua.” “Mulut lo gue gampar ya.” Junio terkekeh. Rasanya waktu cepat berlalu. Mereka kenal sejak tahun pertama di SMP, kemudian lebih dekat lagi ketika SMA. Meski ketiganya tidak pernah berada di kelas yang sama, tapi waktu istirahat dan pulang sekolah selalu mereka habiskan bertiga. Tidak terasa masa-masa remajanya sudah harus berakhir. Mereka yang selalu bersama pada akhirnya harus pergi untuk meraih cita-cita. Karena di dalam hidup, akan selalu ada yang datang dan pergi. Kini gilirannya untuk melepas kedua sahabatnya meraih apa yang mereka impikan. Ia hanya bisa mendukung dari belakang. “Bye, Junio kesayangan!” Sky membuka jendela mobil dan melambaikan tangan pada Junio yang sudah berwajah masam. “Muka lo jangan gitu dong. Kita jadi nggak tega ninggalin lo,” lanjutnya. “Alah t*i lo,” umpat Junio kesal diikuti kekehan Syifa. “Bye, Junio. See you di liburan semester,” pamit perempuan itu melambaikan tangan juga. “Bye, Syif. Kabarin gue kalau udah sampai sana,” ucapnya diikuti senyum tipis yang memperlihatkan lesung pipinya. Di dalam mobil, masih tidak jauh dari area rumahnya, Sky tergelak melihat wajah cemberut Junio yang sempat ia rekam. “Liat deh, muka Junio asem banget.” “Lo rekam tadi?” tanya perempuan di sebelahnya tidak percaya. “Ini kenapa muka dia begini?” tanyanya sambil tertawa. “Coba itu kirim ke Junio. Dia pasti ngamuk.” “Ide bagus.” Sky langsung mengirim video dan langsung mendapatkan respon dari Junio. “Anjir langsung ditelepon.” Sky menekan tombol merah, takut Junio mengamuk dan mengejar mereka sampai stasiun. Ia hanya mengirim pesan. Sorry Jun, disuruh Syifa. Tapi muka lo emang kocak sih. Mereka sudah sampai di stasiun. Kereta mereka sudah datang dan akan berangkat 15 menit kemudian. Keduanya buru-buru mengambil barang dan pamit kepada orang tua Sky. “Sky berangkat ya Pa, Bu.” Sky memeluk mereka bergantian. “Nanti kalau udah sampai kos, aku kabarin.” “Iya. Hati-hati ya kalian.” “Jaga kesehatan, jangan capek-capek.” Setelah dinasihati ini itu, keduanya menggeret koper untuk check in. Bagasi kereta berada di atas, membuat mereka cukup kesulitan mengangkat koper-koper yang berat itu. Untuk itu, mereka menyewa seorang porter untuk membantu membawa koper dan menaruhnya di bagasi. Sepanjang perjalanan mereka menikmati pemandangan. Mulai dari sawah, sungai, hingga rumah-rumah kumuh di pinggiran rel pun tak mereka lewatkan. Meski di waktu-waktu tertentu mereka sempat tertidur. Enam jam perjalanan mereka habiskan untuk menikmati waktu sendiri. Ya, mereka sengaja memesan tempat duduk terpisah. “Gue mau ke restorasi. Ikut nggak?” tanya Syifa menghampiri Sky yang sedang mendengarkan musik dan membaca buku. Ia menggeleng. “Nggak deh. Gue masih kenyang.” Setelah Syifa pergi. Sky mematikan musik dan melepas earphonenya. Buku yang sedang dibaca pun ditutup. Tangannya menopang kepala yang bersandar dekat jendela. Melihat pepohonan yang masih hijau. Ia banyak melamun. Entah terlalu excited atau gugup dengan lingkungan barunya nanti. Sky juga sadar kini ia sudah berada di luar zona nyaman yang selama ini melindunginya. Ia tidak tahu bagaimana kehidupannya di ibu kota nanti. Ya, walaupun ada Syifa tapi ia juga tidak bisa terus bergantung pada sahabatnya itu. Mereka sama-sama butuh waktu untuk mencari jati diri. Crazy Vanity Seharian ini tenaga Biru dikuras habis-habisan. Malam ini ia masih berada di rumah sakit menemani Dira yang tak kunjung siuman. Kata dokter kemungkinan GERD-nya kambuh dan dehidrasi. Biru merutuk dalam hati atas tindakan perempuan itu. Memangnya dia mau mati perlahan?! Biru tidak mau apartemennya dijadikan TKP dan akan ada berita “seorang wanita muda ditemukan tidak bernyawa di sebuah apartemen.” Tidak, Biru tidak akan membiarkan itu terjadi. Mamanya pun sudah tahu jika Dira sedang dirawat. Jelas. Mana mungkin ia menyimpannya sendiri. Ia juga sudah menghubungi Kai dan Stephani. Ya, jaga-jaga saja kalau terjadi sesuatu. Rencananya, Biru menunggu perempuan itu siuman sambil tiduran di sofa. Kemudian, ia akan pulang dan Stephani akan menggantikannya. Namun, memang dasarnya hobi dasar perempuan itu adalah berpesta hingga melupakan bahwa sahabatnya hampir sekarat. Terpaksa Biru harus berjaga 24 jam. Sangat melelahkan. “Seandainya lo nggak pernah bikin gue kecewa, gue pastiin lo akan selalu baik-baik aja,” gumamnya. Biru tertidur setelah terjaga hingga pukul dua dini hari. “Ini dua jam lagi kita ganti infusnya ya.” “Sarapannya sebentar lagi datang.” “Iya. Makasih, Sus.” Biru terbangun mendengar percakapan yang samar-samar ia dengar. Kesadarannya muncul ketika mengingat ia sedang berada di rumah sakit. Tepatnya, tidur di sofa rumah sakit. Ia menoleh dan sedikit terkejut melihat Dira yang sudah siuman dengan posisi duduk. “Morning,” sapanya setelah perawat keluar. Tadi ia dibantu perawat untuk menegakkan kasur supaya memudahkannya duduk. Dengan wajah mengantuk, Biru hanya mengangguk sekilas dan mengambil barang-barangnya. “Bentar lagi Steph datang. Gue balik.” “Bi,” panggilnya dengan suara yang masih serak. Tangan laki-laki itu sudah mencapai knop pintu. Kepalanya menoleh dan mendapati bibir pucat itu tersenyum. “Thanks ya.” Biru mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan perempuan itu sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Atau mungkin ini adalah kali terakhir ia menemuinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD