Tujuh

304 Words
Tidak ada yang tahu kapan jalannya takdir akan berhenti. Entah hari ini, esok, lusa manusia tidak akan pernah tahu jalannya kehendak Tuhan. Tuhan penentunya. Tuhan pula pemegang segalanya. Pengendali, pengatur, dan penggerak. Kita hanya bidak-bidak kecil dalam permainan catur. Maka sudah sepatutnya kita mengikuti. Begitu pula dengan Radit. Ia bergerak sejauh ini bukan semata keinginannya saja namun juga ada penentu yang andil besar dalam setiap keputusannya. Radit belum sepenuhnya sadar dengan setiap keputusan yang di ambilnya. Tapi ia mencoba untuk mengikuti arusnya. Ia mencoba memahami setiap makna yang terkandung di dalamnya. Dalam setiap perjalanan hidupnya, selalu ada satu dua kata yang terus mengikutinya. Lalu akhirnya akan Radit saring ke sebuah wadah untuk ia jadikan patokan. Manusia kuat bukan hanya dari fisik. Namun juga terpaan masalah yang silih berganti. Radit pernah mengalami hal itu. Ia pernah berada dalam satu waktu di mana hidupnya jungkir balik karena sebuah kekangan. Kini, mendapati salah satu suruhan keluarganya memburunya, Radit kembali mengambil langkah besar; menjauh. Tapi Radit juga lupa jika pelariannya kali ini justru membuat dirinya kembali terhempas. Bukan dalam artian terjatuh, terperosok, atau apapun itu. "Teh anget tawar aja Mbok." Sembari menunggu jemputannya, Radit memesan teh hangat di salah satu kedai yang masih buka. Waktu baru menunjukkan pukul tujuh malam, tapi suasana sepi karena guyuran hujan membuat sebagian orang enggan melangkah keluar. "Silakan." Radit terkesiap. Mendengar suara itu seperti alunan melodi lama kembali terbangun. Sontak kepalanya menoleh dan membuat si pemilik suara terkejut. "Senja?!" "P-pak Radit?!" Keduanya sama-sama tertegun. Radit dengan keterkejutannya sedang Senja bersiap ingin lari. "Tunggu Senja, tunggu." Radit mencekal tangan Senja begitu melihat pergerakan tubuh Senja yang hendak lari. "Kamu... gimana bisa di sini?" Mata Radit berpendar. Meneliti satu per satu bagian aneh yang membuatnya penasaran. Ada yang lain dalam diri Senja, itu saja. "Pak Radit... le-lepas." Radit menggeleng. "Senja, kamu..." Radit menggantungkan kalimatnya. Kedua matanya terus mencari letak keanehan yang kentara terlihat. Seperkian menit, Radit benar-benar tahu. Ada yang tidak beres di sini. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD