Enam

243 Words
"Eca mau punya Papi baru lagi?" Radit terkekeh akan pertanyaan yang meluncur begitu saja. Mulutnya memang sangat gatal ingin menggoda Eca. Bocah enam tahun itu terlihat lucu dan menggemaskan dengan dua kucir kuda di sisi kanan kiri kepalanya. "Radit! Jangan ngaco!" jeritan dari arah dapur membuat Radit tergelak. "Jangan ngeracunin otak Eca!" "Papi baru?" Kedua alis Eca bertaut. "Tapi Papi Mike Papi Eca ughaaa." Polosnya menjawab. Sontak Radit kian melebarkan tawanya. "Telen dulu sayang." Tangan Radit beringsut mengelus kepala Eca. "Om Radit boleh jadi Papi baru Eca?" "Radit!" Eca menghentikan sendokan pada puding cokelat vanillanya. Kedua mata kecilnya menatap Radit penuh tanya. Ada sorot bingung dan asing yang bisa Radit tangkap. Bocah sekecil itu pasti belum mengerti apa arti perpisahan dari kedua orang tuanya. Dia hanya tahu jika Ayahnya di Singapore dalam urusan pekerjaan dan tidak bisa mengantar kepulangan Ibunya di negaranya sendiri. Tiba-tiba Radit meringis pilu. Merasa tersentil dengan apa yang dialami Eca. "Om Radit mau jadi Papi Eca?" Radit mengangguk. "Teyus Papi Mike gimana? Nanti malah ke Eca sama Mami." "Kalau gitu Om jadi pacar Eca aja ya?" "Bandel! Dibilang jangan godain Eca!" "Mami, itu kasal!" Tawa Radit meledak. Rasanya sangat lucu membuat Aina di tegur oleh putrinya sendiri. "Sialan!" dumelnya. "Si... apa tadi Om?" Eca meletakkan pudingnya di sembarang tempat. Seolah makanan kesukaannya itu tidak lagi menarik. "Eca, habisin! Mami gak akan buatin lagi kalau masih bandel." Eca menurut. Mengambil kembali wadah pudingnya dan memakannya dengan lahap, melupakan kejadian beberapa menit yang lalu. "Aku berangkat malam ini." Radit berdiri. Mengecup puncak kepala Eca dan melambaikan tangannya. "Daaaaaaa pacar, emuah." []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD