Lima

450 Words
"Kalau masih butuh banget dan kampus bisa nerima ngapain juga minta mutasi?" Radit mengabaikan ocehan temannya. Baginya, kritikan, masukan, dan lain sebagainya bukan lagi menjadi ranah hidupnya. Dirinya sudah dewasa dalam artian mampu mengambil langkah dan berbagai risiko ke depannya. "Aku kaya ngomong sama patung." Kekehan Radit mendapat tatapan tajam. "Kita bareng sudah berapa lama, sih Kris?" "Bahasamu itu kaya aku pacarmu. Kesannya buruk banget." Krisna mendengus. Memilih keluar dan meninggalkan Radit yang masih bebenah. Toh percuma saja, batu tetaplah batu. Sebenarnya Krisna tidak bodoh-bodoh amat soal tahu alasan apa yang membuat Radit meminta surat mutasi. Jawabannya ada dua. Jika bukan karena Aina, pasti hatinya yang senat-senut tidak sehat. Memang, bergelung dengan masa lalu bukan hal yang mudah dan soal hati itu selalu rumit. Beruntungnya Krisna tidak pernah mau menggantungkan harapan pada sebuah hati apalagi cinta. [] Hidup tidak pernah memberi pilihan. Siapa bilang puncak dari sebuah rasa itu kebahagiaan? Tidak. Karena hidup tidak pernah memberi pilihan maka kebahagiaan bukan puncak dari segalanya. Namun lain halnya jika awal dari kebahagiaan itu sebuah perjuangan, maka sebagian orang akan menjawab 'ya'. Dibutuhkan perjuangan untuk menggapai semua itu. Tapi hanya perlu satu rasa sakit untuk merubuhkan semuanya. 'Kita bukan penentu atau pun pengendali semua rencana yang telah di susun.' Kutipan itu benar adanya. Mau setinggi apa pun keinginan kita, jika Tuhan tidak menghendaki, maka akan berbelok tak beraturan. Pilihannya jelas ya atau tidak. Melanjutkan meski berliku atau berhenti layaknya b***k. Sekali pun kita bukan penentu, bukan berarti tidak bisa merubahnya. Sedikit keluar dari rencana itu bukanlah suatu akhir, tapi awal untuk kegemilangan. "Eladalah, perutmu wes mbuncit yo! Ndang kono periksa." Seruan Budhe Siti membuyarkan lamunan Senja. Di pagi hari yang cukup menghangatkan ini, Senja selalu berjemur di halaman belakang rumah Budhe Siti. Suasananya asri dan adem diiringi arakan kabut yang menutupi kebun. "Harus periksa ya Budhe?" Pertanyaan Senja diangguki oleh Budhe Siti. Wanita paruh baya yang telah menjanda selama lima tahun itu mengulas senyum bahagianya. "Itu perlu ya Nduk. Biar kamu tau perkembangan jabang bayimu. Ndak usah mikir yang aneh-aneh. Jadi anak Mbok aja, nemenin Mbok." [] Sejak awal, Senja sudah mengambil pilihannya. Seperti keputusan yang sedang dirinya jalani saat ini contohnya. Ia melupakan segala kesedihan yang menaungi hatinya. Berpisah dari keluarga, putus sekolah sebelum waktunya jelas suatu keputusan bodoh bagi sebagian orang. Tapi tidak bagi Senja. Begitu tahu dirinya hamil, Senja sudah menyiapkan semua ancang-ancang untuk memulai segalanya dari awal. Memulai segalanya dari awal, begitu pikirnya. Dan ini baru permulaan yang selalu pahit di awal. "Kaya kacang," ucap Senja begitu menerima foto cetakan yang diberikan dokter. "Kok ada dua dok?" Senja mengangkat wajahnya. Kentara ekspresi bingung dengan mata berbinar membuat dokter muda itu terkekeh. "Kembar," jawabnya, "ada beberapa vitamin untuk di konsumsi. s**u hamil juga jangan lupa dan dua minggu lagi periksa." Senja terpekur. Antara senang dan terkejut berbaur jadi satu. Tapi di akhir itu semua, sesungging senyum lebar melingkupi bibirnya. Kembar, batinnya. Mereka di sini, kembar. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD