Empat

745 Words
Seperti apa yang sudah Senja perbuat, menuai atas perbuatannya adalah kalimat tepat untuk saat ini. Senja ingin mengatakan menikmatinya meski awalnya susah. Ini tidak semudah ekspektasinya selama ini. Ia pikir, hidup mandiri, sendiri, dan jauh dari orangtua sudah menjadi pilihan tepat yang di ambilnya. Tapi tidak dengan bayi dalam kandungannya. Bukan berarti Senja menyesal. Senja bersyukur, teramat sangat bersyukur. Setidaknya dulu, sebelum menjalani hidupnya yang sekarang, sekedar menikmati empuknya kasur dengan fasilitas mewah pernah Senja rasakan. Memakan makanan mewah dengan harga selangit, yang saat ini jika di terangkan bisa untuk biaya hidupnya sebulan, pernah Senja alami. Senja menikmatinya. Itu saja. Sederhana dan cukup. Menikmati karena dirinya memiliki peran baru dalam hidupnya; calon Ibu. Benar, dirinya calon Ibu. "Ndak pa-pa, kan sayang? Kamu ndak akan nyalahin Mama, kan? Mama ndak salah, kan?" Senja mengusap perutnya yang masih datar. Meski begitu, ia senang karena ada satu nyawa di dalamnya. Ia senang karena memiliki satu nyawa itu. Ia senang karena akan menjadi saksi atas berkembangnya nyawa itu. "Terima kasih ndak nyalahin Mama. Terima kasih udah hadir di kehidupan Mama." Senyum Senja merekah. Ia merasakan euforia tersendiri ketika berinteraksi dengan janinnya, calon bayinya, anaknya. [] Dari sejuta kemungkinan, Radit paling tidak percaya dengan kebetulan. Kebetulan yang mencengangkan. Kebetulan yang membahagiakan. Kebetulan yang menyakitkan. Dan segala bentuk kebetulan adalah ketidaksukaan Radit. Dalam daftar hidupnya, Radit tidak pernah membuat satu pun rencana. Rencana untuk menikah dengan siapa. Berbagi hidup dengan siapa. Berada dalam satu naungan atap dengan siapa. Itu semua Radit biarkan mengalir. Tapi tidak dengan kebetulan yang satu ini. Dan Radit semakin mengakui ketidaksukaannya. "Jadi setelah ini gimana?" Radit mengambil alih dua buah koper hitam yang tadinya di seret oleh 'sahabatnya', mantan sahabat jika boleh disebutkan. "Bebas. Sudah nggak ada aturan apalagi keterikatan." Jawaban seperti itu jelas pernah Radit dengar sebelumnya. "Bukan berarti bisa seenak jidat soal anak, kan?" Perempuan berbaju kasual yang menjadi 'mantan' sahabat Radit mengangguk. Memilih masuk ke dalam mobil yang Radit kendarai untuk menjemputnya. "Hak Eca ada di aku." Kepalanya menoleh ke belakang, di mana Radit baru saja menidurkan bocah perempuan berambut panjang itu. "Dia mirip Papinya. Aku pengen ngubah wajahnya tapi cuma itu kenang-kenangan yang aku punya bareng Mike." "Katanya, kalau anak lahir dan mukanya mirip sama Bapaknya, artinya si Bapak ngebuatnya beneran pake cinta," ucapan Radit terhenti. Dalam hatinya memanggil perempuan di sampingnya lirih, teramat lirih. Bohong jika rasa yang pernah Radit tanamkan hilang seutuhnya. Justru detik ini, rasa itu kembali meletup. "Aina..." Kedua mata Radit terpejam. "Kita bisa mulai semuanya dari awal." Aina menoleh. Menyunggingkan senyum yang Radit tahu artinya; tidak. "Pengadilan cuma mengabulkan permintaan aku sama Mike. Bukan berarti aku bisa bebas lupain dia gitu aja. Dit, sejatinya kita masih saling cinta. Cuma ego aja yang ngalahin buat kita pisah." Radit tahu itu. Dan bagian lain dalam hidupnya yang ia benci ialah perpisahan setelah pertemuan. Itu sangat tidak adil jika Radit boleh memprotes. Kenapa selalu ada hal baik lalu setelahnya hal buruk menjadi kebalikannya? Seperti saat ini contohnya. Bertemu, menumbuhkan rasa yang sekedar sulit untuk di pahami awalnya, keinginan untuk bersama tapi terhempas ketika harapan itu tidak terwujud. Radit tidak bodoh. Hanya saja, tolak ukur sebuah kebahagiaan tidak ada pada apa yang menjadi kehendak kita. Konyol sebenarnya, karena diam-diam Radit menganggap benar sebuah kalimat bahwa 'merelakan yang menjadi pilihannya itu yang terbaik' selama dia bahagia. Namun nyatanya? Radit hanya mencoba merelakan, melapangkan diri, menerima apa yang telah Tuhan tetapkan, dan membenahi diri. Itu saja. [] Mengupayakan yang terbaik untuk calon anaknya, itu yang sedang Senja lakukan. Caranya cukup mudah. Karena setiap perbuatan mengandung konsekuensi di dalamnya, maka bekerja keras, tanpa mengeluh, sekali pun berat, Senja menjalaninya. Menerimanya dan memanfaatkan setiap kesempatan yang datang dengan sebaik-baiknya. "Kamu bisa mindahin ini ya, Nduk? Rehat kalau sudah capek. Jangan mbok paksa kerja itu bayinya." Senja tersenyum. Menampilkan kedua lesung pipinya di ikuti matanya yang menyipit. Senja memang semenawan itu. "Suwun, Budhe. Aku ngerepotin Budhe terus." "Halah!Koyo sama siapa aja tho Nduk. Kan Budhe wes ngomong, anggepo aku iki Ibumu." Senyum Senja kembali merekah. Kian lebar dengan gerakan tangan lincah memotong timun menjadi beberapa bagian lantas menaruhnya di tempat yang sudah di siapkan. Warung gado-gado dan ketoprak milik Budhe Siti tidak pernah sepi pembeli. Meski musim hujan sedang asyik-asyiknya mengguyur kawasan Ungaran yang berada tepat di bawah kaki Gunung Ungaran. "Walah Mbok! Ayu men iki anakmu." Senja menatap ke depan. Melihat seorang pria berumur 35 tahun masuk ke dalam kedai. Duduk di tempat yang kosong dan segera memesan makanannya. "Lha aku yo ayu kok. Jelas tho anakku ayu." Budhe Siti menyahut dari arah dapur. Sembari menggoreng tahu, sesekali senandung lirih khas tembang Jawa terdengar. Senja senang mendengar senandung lagu Jawa itu. Mengingatkan dirinya tentang kenangan terkecil yang tersimpan di sudut hatinya. "Nduk, wes sana makan sek. Terus rebahan." []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD