✍ PART 19 :| Fake Identity — Identitas Palsu

1387 Words
◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦ ⠀ ✒️ ❝ Ketika kebenaran terasa begitu sulit untuk diungkapkan. Maka akan ada banyak alasan untuk terus menutupinya. Dan pastinya, memunculkan banyak kebohongan pada akhirnya. ❞ ⠀ { Notes 20 - Wim — Planning a disguise (Merencanakan penyamaran) } ✒️ ⠀ ⠀ Mongkey … mongkey!” Daimon melemparkan pisang ke atas. Tapi, kera itu malah meliriknya judes lalu melengos dan mengabaikan si pisang. Daimon berdiri berkacak pinggang. Menghempaskan napas dengan keras.  “Piaraan sama majikan sama aja! Kompak amat ya, musuhin gue! Heh! Gue ini pribadi yang menyenangkan. Ngerti nggak loe?!” makinya. Daimon mengarahkan jari tengahnya pada si kera. Kera itu semakin ganas dan membuat gerakan melompat seakan ingin menyerang. Untungnya masih ada tali yang megikatnya ke kandang. Daimon bergerak mundur dengan gesit. Ia memelototi makhluk berbulu dan berekor panjang itu dengan kesal. “Ayo dimakan mongkey! Ntar kalo loe mati, Tuan loe marah sama gue ...," bujuknya sekali lagi. Ia sendiri sebenarnya tidak berani berada terlalu dekat dengan kera garang itu. Sudah cukup pengalaman buruk masa kecilnya berhadapan dengan kera di kebun binatang. Tiba-tiba saja makhluk yang tadinya imut dan jinak yang bertengger di bahunya ketika berfoto, berubah menjadi ganas dan enggan melepaskan tangannya dari kepala Daimon. Menarik rambutnya dengan kencang. Membuatnya trauma hingga sekarang.  Jangan-jangan karena itulah Wim memelihara 'Mojo Jojo'* ini?! batin Daimon. Apalagi Wim paling suka memasukkan si Mojo Jojo ke dalam rumah kalau Daimon terlalu lama menginap di kontrakan Wim. “Ayo dong ...!!!” Daimon menatap kera itu lekat-lekat. Makhluk yang ditatap malah memamerkan taringnya dengan garang dan mondar mandir di rumah pohonnya. Seandainya ia tidak terikat di sana, pasti sudah sejak tadi makhluk berekor panjang itu mencakar muka Daimon. “Dasar monyet loe, ya! Nggak doyan pisang loe? KFC mau ga?! Gue pesenin, monyet!” umpat Daimon sebal. “Hoi Key! Mongkey …! Jawab! Uaa uaa ngik ngik aja loe! Cimong … Cimongkey Mongkey! Sun Go Kong! Mojo Jojo sialan! Makan woi ...! Agghh ...!!! Belagu amat loe!” ⠀ “NAMANYA DARA!” Daimon terperanjat seraya berbalik menoleh ke belakang. Wim sudah pulang! Daimon tersenyum lega. Ia sangat sering menghubungi Wim, tapi tidak pernah diangkat. Sms nya pun tidak pula di balas. Mau mencari Wim, entah kemana bocah itu pergi. Memangnya ada yang bisa melacaknya? Wim bisa saja pergi kemana pun dia mau. Terakhir, setahu Daimon, Wim mampir ke rumah Yudi. Itu membuat Daimon lebih tenang. Setelah itu bocah itu hilang lagi, Daimon jadi uring-uringan. Pasalnya kalau Wim sempat kabur, ia bisa dipecat sama Produser. Tamatlah karier nya. “Loe masih di sini?” tanya Wim. Lebih tepatnya ‘gerutu Wim’. Kayak nggak punya apartemen aja dia! “Iya, dong. Untung gue di sini. Coba kalo nggak, monyet loe siapa yang kasih makan,” jawab Daimon bangga. Wim menatap kandang Dara si kera. Di sana sudah berkumpul mayat pisang-pisang yang sudah membusuk. Masih ada isinya. Dan kulit kacang yang sudah kosong. “Bener-bener dimakan, ya, pisangnya!” sindir Wim berjalan menghampiri si kera. “Loe nggak perlu lagi, ngasih makan dia.”  Wim mengelus-elus punggung dan kepala Dara yang tiba-tiba saja berubah jadi jinak, manja dan ceria. Makhluk itu berlompatan dan memanjat bahu Wim. Sangat berbeda dengan sikapnya pada Daimon tadi.  “Soalnya, bakalan ada orang yang ngasih dia makan,” lanjut Wim seraya menunjuk seorang bocah laki-laki yang tengah berdiri di luar pagar. Umurnya sekitar empat tahun. Mungkin. Wim tidak tahu pasti. Bocah itu tersenyum lebar sambil mengayun-ayunkan bungkus kacang di tangannya. Wim melambai padanya. Bocah itu juga balas melambai, lalu beranjak pergi ke pekarangan sebelah. Baru beberapa lama ini Wim tahu bahwa ada bocah kecil yang senang bermain-main dengan Dara-nya. “Bocah itu namanya Raizel. Dia sering datang ke sini buat ngasih kacang atau pisang sama Dara. Lihat … dimakan, 'kan?!” ucap Wim sambil menunjuk kulit kacang dan pisang yang sudah kosong dan berceceran di tanah. "Dara itu maunya makan pisang yang sudah dibukain dulu kulitnya. Disuapi juga. Baru dia makan. Nggak bakalan mau makan pisang yang dilempar gitu aja ke atas. Harga diri!" Eh busyeeet ...! Kera aja punya harga diri? Gengsi amat si Mojo! Daimon mencibir. Wim masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Daimon bersama Dara yang kembali berubah galak. Namun, beberapa saat setelah itu …. “DAIMOOONNNN ...!!!!!!!!!!!! LOE APAIN RUMAH GUE ...!!!!!!!!!!” ⠀ ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦ ⠀ “Jadi gimana, Wim? Loe udah mikirin?” Udah tekan kontrak baru loe bilang mikirin? Wim menatap Daimon sengit. Ia menghirup cappuccino di tangannya kemudian meneguknya sambil berpikir. Membicarakan ini membuatnya teringat lagi pada Selva. Tidak ada jalan untuk lari dari masalah ini. Seandainya ... ia semalam sempat bicara dengan Selva. Padahal keberaniannya untuk mengakui siapa dirinya sudah ada, tapi Selva malah tidur. “Udah.” “Lalu?” tanya Daimon penasaran. Wim melirik sebal. Orang ini benar-benar k*****t! Seenaknya membuat keputusan! Kenapa setiap kali dia datang ke sini selalu bikin sial, Wim membatin. Kenapa juga aku bisa punya kakak kayak gini? Sekarang dia menatap ku dengan puppy eyes begitu. Spesies apa dia ini? Wim mendengus. Wim juga masih sangat kesal barusan. Rumahnya dijaga Daimon sampai jadi luar biasa berantakan. Sampah di mana-mana. Skenario, alat-alat syuting diangkut ke rumahnya. Kertas-kertas robek dan remuk tercecer di setiap sudut lantai. Baju-baju kotor milik Daimon memenuhi segala penjuru ruangan. Wim berinisiatif membuangnya ke tempat sampah tadi, sebelum Daimon menjerit histeris memangku pakaian kotornya untuk dibawa ke penatu (laundry). Gara-gara Daimon pula ia terpaksa harus membereskan rumahnya dulu. Padahal rasa capek setelah mengatur rumah Selva saja belum hilang, sekarang ditambah lagi dengan ini. Untungnya kamarnya sengaja Wim kunci. Kalau tidak, entah huru-hara apa lagi yang dibuat Daimon di sana. Apalagi kakak kampret itu sangat suka mencari-cari diary Wim. Atau membaca surat cinta yang didapat Wim dari teman-teman perempuannya di kampus. ⠀ Daimon datang lagi setelah memboyong pakaian kotornya ke laundry. Untungnya ia berinisiatif membeli banyak makanan untuk mengobati amarah Wim. Membawa seperangkat isi kulkas, mulai dari daging, sayuran, buah-buahan, madu, sirop, es krim, cokelat beragam merek, cake dan roti dengan segala cita rasa serta segala t***k bengek yang pastinya meluluhkan Wim pada akhirnya. ⠀ “Wim! Trus gimana?” desak Daimon. Wim menghempaskan napas keras. “Iya. Gue main.” Wajah Daimon berubah cerah seketika. Ia merangkul Wim – dan langsung ditonjok oleh Wim. Wim paling benci dipeluk oleh Daimon. Daimon meringis. Mengusap hidungnya. “Tapi, dengan beberapa syarat,” tekan Wim lagi. “Apa?” jawab Daimon cepat dengan mata berbinar. Wim menyandarkan tubuhnya di sofa. Terlihat benar-benar lelah, karena tidak bisa tidur semalaman. “Pertama, nama gue di sana bukan Wim, tapi ... Rai. Raizel.” Wim terpaksa mencatut nama bocah lelaki tadi, karena hanya nama itu yang terpikirkan olehnya untuk ia gunakan. Sekarang keberaniannya untuk mengakui jati dirinya pada Selva sudah benar-benar hilang. Maka lebih baik Selva tidak usah mengenalinya sekalian. Mungkin lebih enak menjadi orang lain. Fake memang. Tapi lebih nyaman seperti itu. Lagipula selama ini Wim memang sudah terbiasa fake. Daimon mengangguk setuju sambil tersenyum dalam hati. Boleh juga, namanya. “Identitas gue yang asli jangan sampai diketahui oleh siapa pun.” Daimon kembali mengangguk. “Lalu, di sana kita berlagak layaknya sutradara dan pemain. Bukan hubungan kakak adik. Trus minta Pak Produser untuk ikut merahasiakan identitas gue.” Daimon mengangguk lagi. “Gue pengen tampil beda dengan keseharian gue. Gue pengen nge-warnain rambut gue. Membuat tatto di lengan gue.” Daimon memandang Wim tak mengerti. "Gue nggak setuju kalau itu tatto permanen, kalau non nggak apa-apa. Tapi jelasin dulu kenapa?” “Karena gue nggak mau temen-temen gue tahu kalau yang main film itu adalah gue!” Daimon mendehem. Ia sedikit merasa bersalah pada Wim. Tapi niatnya 'kan bukan untuk mencelakai Wim juga. “Terus, kalau loe kuliah, temen-temen loe kan, bakal ngeliat rambut loe, Wim.” “Loe nggak kenal, ya, yang namanya ‘wig’?” ujar Wim ketus. Daimon berkedut. “Oke … itu bisa diatur. Trus loe mau rambut loe di cat warna apa, merah mungkin?” tawarnya. Wim menggeleng. “Loe lihat aja ntar." . . . ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦ ⠀ ⠀ NOTE : ====== * Mojo Jojo : kera antagonis di film cartoon The Powepuff Girls.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD