No 4 : PANGERAN? BRAMA? Well, BRAMA AJA DEH

2077 Words
"Kamukan tadi yang lari-lari sampai jatuh keselip keset? Are you ok, Renata?" *** Pertanyaan itu terus berputar-putar di benakku. Bukan! Bukan karena terkejut dia masih mengingat kejadian tadi yang menurut JB, 'Gaya jatuh mbak Renat nggak banget'. Aku hanya terkesima dia berhasil melafalkan namaku sebelum ada acara perkenalan. Tahu darimana dia? Aku melirik ke arah luar pintu dari ruang pertemuan kami. Pak Tedy asyik ngobrol dengan si manager baru di ruang si bos. Sedang Mbak Misa, entah kenapa makin terlihat sibuk sendiri dengan laporannya yang makin menumpuk. Aku melihat Ninda meletakan beberapa lembaran handout di atas meja berbentuk persegi panjang di belakangku. Prisilia dan si bule nyasar asyik ngobrol sembari berdiri menghadap dinding kaca yang menampakan situasi lahan parkir. "Wuahhh! Capek gue. Lagian Ren, tuh papan tulis bisa kinclong lo hapus-hapus terus", Ninda menjatuhkan kepalanya ke atas meja. "Baru gitu saja lo sudah capek. Menurut gue, lihat alur hidupnya mbak Renata tuh yang bikin capek lahir batin", pandangan kami terarah ke wanita imut yang bersuara di sudut ruang. Prisilia dengan santainya ber-elo-gue ke Ninda. Emang sih, Prisilia itu model manusia yang easy going. Diajak bicara pakai bahasa apaanpun diladeni, asal bisa cepat akrab alasannya. "Gimana toh alurnya mbak?", JB dengan wajah tampan bak kembarannya Harry Poter mendekat penasaran. Aku tertawa ringan mendapati tiga wajah penasaran lagi duduk rapi tak ayal seperti mengikuti kelas perkuliahan. Aku mulai mengambil spidol di atas meja dan memberikan sedikit sentuhan seniku ke dalam grafik yang kugambar di papan tulis, "Ini dia alur hidupku. Mulai dari emak brojol sampai berhasil menginjakan kaki di ShowIt hari ini." Childish? Terkejut melihat sang Renata yang bertingkah kekanak-kanakan? Prisilia sih sudah biasa. Kami bahkan masih sering bermain kejar-kejaran kalau lagi dilanda kebosanan yang teramat over. "Tragis banget hidup lo, Ren. Ntuh kenapa keuangan, jodoh, sama pekerjaan paling jatuh poinnya?", Ninda melirikku jenaka. "Belum punya pacar dia. Hidup pas-pas belum bisa genteng tas Guci tuh tangan." Si imut Prisil menjawab malas dari balik kursinya. Pandangan aneh justru ditunjukan oleh si bule nyasar. JB mendekatiku, "Kalau poin jodoh sejeblok gitu, artine mbak belum pernah punya pacar, ya kan? Sepanjang hidup nggak pernah pacaran? Bener toh?" Aku mengumpat habis-habisan saat pertanyaan itu keluar dari mulut si bule medok. Suara kikikan menggema di tiap sudut ruang. "Nggak sopan. Beneran nih bocah, aku sumpahin nggak----", umpatanku menggantung saat wujud Pangeran beserta dua karyawan seniornya terhenti tepat di tengah pintu. Tiba-tiba ruangan jadi hening. Jangan tanya bagaimana rupa Mbak Misa hingga mataku tak mau menatap raut itu lebih dari sedetik. Sedangkan si manager baru, pria yang mereka juluki, Pangeran itu menampilkan wajah biasa-biasa saja. Like nothing happened. Dia memburu kursi dengan posisi menghadap kami semua. Lalu dengan sigap membuka beberapa laporan yang tadi sempat membuat si mbak Misa terkesan menjadi wanita gila kerja, "Well, kecuali Tedy dengan Renata-- yang lain tolong kenalin diri dulu", manager baru duduk sembari memasang wajah berhias senyum pepsodent-nya. Aku sedikit terkejut. Mengingat dua kali sudah si Pangeran itu menegaskan kalau dia sudah mengenalku tanpa perlu kuperkenalkan terlebih dahulu. Mendapati senyum pepsodent milik si pangeran kembali melengkung sempurna, Ninda langsung mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, "Saya Faninda Menasa, pak. Posisi bagian keuangan. Umur dua puluh empat, status--- belum dihalalin." "Loh curcol! Jangan depresi gitu dong!", ucap JB di sela-sela kekehan. "Sama aku saja gimana, Nin?", Pak Tedy sudah tertawa ngak kenal momen. "Idih! Anak perawan Hajah Mawar pantang dimadu. Ada yang available kok malah yang nawarin diri yang sudah taken. Jauh-jauh lo, bang dari radar jodoh gue." Seketika ruangan jadi riuh karena tawa yang lain. Pak Tedy bahkan tertawa lebih membahana dari semua. Dan satu hal yang kutahu kalau si JB itu punya jenis ketawa yang aneh-- seperti orang cegukan hingga membuat si Prisilia makin tertawa di sebelah si bule tampan anak wong Jowo. Sedangkan si manager baru cuma tersenyum lebar menanggapi lelocon unfaedah yang kami suguhi. Di situasi seperti ini, cuma satu orang yang berekspresi datar. Yang punya tampang lempeng seperti mbak Misa tidak akan tertawa cuma karena lelucon receh barusan. Seketika dia bersuara di tengah tawa kami, "Saya Misandra, sekertaris". Kami terdiam, karena menurut terjemahan di otak masing-masing dari kami, itu si mbak Misa pengen atsmofirnya kembali normal. In other word-- for to the mal. "Nah kalau dia itu sudah dihalalin. Sudah nikah tuh si Misa. Umurnya tiga tujuh, cuma tampilan aja yang nggak mencerminkan umur", celetuk pak Tedy yang dihadiahi tatapan horor oleh mbak Misa. "Saya Jhon Brian, asli wong Jowo. Umur dua puluh lima, posisi bagian marketing", medok si JB tidak ketolongan saat melafalkan tiap kata di perkenalannya. Giliran Prisilia yang bersuara kelewat lembut menatap kagum ke arah si manager baru, "Saya Prisilia Nasution, bagian gudang bareng Renata. Kami newcomers di sini, pindahan dari salah satu kantor cabang lain pimpinan Pak Harmoko." Si pangeran menganggukkan kepala dua kali seraya menghembuskan nafas dalam. Yang artinya, acara perkenalan ini sudah kelar. Baik kami maupun si manager baru saling bertukar pandang, menunggu--- apalagi yang bakal dibahas. "Pangeran umurnya berapa?", Ninda kepo modenya mulai on. Berhubung tampang si bos penuh ramah tamah, Ninda jadi sedikit melupakan soal kesopanan. Terutama cara dia menyebut nama Pangeran tanpa harus susah payah menambahkan awalan 'Bapak'. Seakan tak mempermasalahkan, pertanyaan tadi kembali dihadiahi senyuman pasta gigi oleh yang punya nama, "Tiga puluh". "Kalau mbak Renat?" Nah, ini pula. JB mendadak ikutan kepo. Aksennya yang kelewat Jowo itu bikin si Prisilia terkikik di balik punggung tangannya. "Dua puluh enam", jawabku dengan malas. Awas aja ya, tuh si bule nyasar kalau sampai nanya ke ranah pribadi, gumamku berbisik. "Apa saya bilang kan, mbak. Cocoknya memang sama mbak Renat", tatapanku semakin tajam ke arah si JB yang menaik turunkan alisnya nakal ke arahku. Baru tahu kalau si bule medok itu punya mulut beracun. Untungnya si senyum pepsodent itu tidak terlalu menggubris omongan si bule beracun, "Well! Ada baiknya saya jelaskan apa-apa saja yang menjadi fokus kita ke depannya berdasarkan aturan kerja saya", Pangeran kami memasang wajah serius yang bikin wajah tampannya jadi makin tampan maksimal. Duh! Pengen dijadikan foto walllpaper handphone jadinya. "Saya mau semua bekerja sesuai beban tanggung jawabnya masing-masing. Jangan melimpahkan kerjaan ke junior atau ke sesama karyawan lain yang tidak berada dalam bagian yang sama. Saya tidak mau dengar tugas Misa dikerjakan si Prisilia atau si Ninda. It's not their bussiness. Just do your job by yourself", mata tajamnya si manager mengarah ke Tedy. "And last, saya tidak terima alasan apapun jika kalian melakukan kesalahan maka konsekuensi kalian sendiri juga yang tanggung. Dan saya akan tuliskan jadwal rutinitas yang bakal jadi kebiasaan kita setiap harinya", di akhir kalimat, senyumannya kembali cerah. "Seperti briefing gitu, Ran? Ide bagus. Soalnya selama ini tidak pernah ada sejarahnya manager kita buat agenda untuk briefing", beruang Tedy mengganggukkan kepalanya sok paham. Mendengar hal itu, Pangeran justru tertawa renyah, "You've got it. Termasuk juga briefing dan rolling tugas khusus. Tumben pinter, Ted?" Dia tertawa kecil. "Seingat saya dulu waktu sekantor dengan ayah, kamu itu karyawan yang absennya paling akhir." Suara gelak tawa kami memenuhi ruangan, tidak termasuk aku. Karena belum ada fakta yang bisa kutemukan kalau si beruang itu punya otak minim. Yah! Belum cukup informasi yang bisa kujadikan bahan candaan ke si bapak suka ngemil itu. Si pangeran beranjak dari kursi dan meraih spidol di atas meja. Dia berbalik berniat ingin menuliskan sesuatu di papan tulis hingga tangannya tiba-tiba terhenti, menggantung begitu saja. Cukup lama hingga kami pun ikut terdiam sejenak. "Grafik hidup siapa ini?", Pangeran itu berbalik dengan wajah yang sumpah bikin kami kaget setengah mampus. Buset! Kemana senyum iklan pepsodent-nya? Prisilia si pengagum wajah tampan sang Pangeran pun ikut terkejut dan memandang ngeri ke arah depan. Mungkin dia perlu pikir-pikir ulang mana yang lebih baik dijadikan teman kondangan, JB atau si pangeran yang moody-an. Aku melirik ke lain dan mendapati tatapan JB beserta Ninda mengarah padaku. Secara tersirat, tatapan itu merupakan jawaban dari pertanyaan tersebut. "Kamu?", suara beratnya membuatku merinding. "Iya, pak!", aku tetap menatap matanya tanpa kedip. Bukan menantang loh ini, ya. Hanya saja aku bukan tipe orang yang pasrah karena dimarahi begitu saja. "Untuk apa? Apa ini materi rapat kita?", suaranya makin meninggi. "Maaf!", kurasa itu cukup mewakili perbuatan konyolku barusan. "Rapat selesai. Tolong keluar semua kecuali Renata. You! Stay here!" Sesuai perintah semua keluar dengan nafas lega yang bisa kudengar dari tempatku berada. s****n tuh mereka!, aku hanya bisa merutuk dalam hati. Aku agak terkejut mendapati kepribadian ganda milik nih pimpinan. Tadi saja moodnya baik seperti malaikat. Lah! Ini dia memandangku dengan tatapan yang bikin bulu kuduk anak kanjeng ratu meremang. "Come closer!", pria itu memerintah untuk kesekian kalinya. Aku menurutinya namun garis bawahi jika aku melangkah dengan kepala yang masih tegak sempurna. Renata anak Kanjeng ratu tak kenal takut, ayah juga mendidik anaknya untuk selalu tangguh menghadapi atasan horor, kayak si pangeran pepsodent ini. "Saya marah karena tidak seharusnya kamu menulis hal konyol begini di tempat yang tidak semestinya. Pertama karena ini inventaris kantor, kedua karena tulisan kamu ini bakal dibaca semua orang yang tidak ada hubungannya sama kehidupan pribadi kamu", manager baruku ini menerangkan dengan gaya seriusnya. "Maaf, pak. Saya lupa hapus", kali ini aku menundukan kepala karena menyadari bahwa si bos tidak seburuk yang kupikirkan. Cukup baik kan, dia bijak menanggapi tingkah kekanak-kanakan yang kubuat. "Saya bakal terima permintaan maaf kamu dengan satu syarat", matanya bermain nakal melirikku. "Pakai syarat nih, pak?", tanyaku gagal paham. Dia mengganggukan kepalanya, "Coba kamu terangkan kenapa grafik hidup kamu menurun drastis di bagian pekerjaan tetap, uang, dan jodoh." "Hah? Buat apa, pak?", masih ingatkan kekuranganku itu menerjamahkan kalimat orang yang terlampau sulit. "Fell free to tell me as a novel", atasanku itu merebahkan kepalanya di sandaran kursi. Wajahnya mengarah ke langit-langit ruang. Matanya terpejam dan kesepuluh jari tangannya saling terpaut di depan d**a. "Harus nih, pak?" Yang ditanya hanya berdehem mengiyakan. Aku agak ragu namun melihat dia cukup serius ingin mendengarkan, aku pun mulai membuka cerita. "Ya. Kalau bapak maksa. Saya bisa apa?" Aku memastikan sekali lagi. Dan sayangnya, tak ada raut berbeda dari wajahnya. Hanya datar tanpa suara. "Well, Semua hal dalam hidup saya itu sudah terencana karena memang hidup itu simpel. Poin terendah itu merupakan tiga target hidup saya yang masih dalan proses tercapai. Kerja dan cari uang yang banyak biar bisa bahagia. Masalah jodoh itu sudah di atur oleh tuhan. Saya sudah punya pekerjaan tetap makanya grafik pekerjaan tidak serendah grafik untuk point uang dan jodoh. Kalau masalah uang saya masih bisa usahakan, karena saya punya target terencana tentang hal itu. Dan point grafik yang paling rendah itu, jodoh. No one can tell me who my trully soulmate is", di akhir cerita aku baru menyadari betapa konyolnya grafik yang kutulis dan lebih bodohnya lagi, kenapa harus pakai acara menerangkan lagi ke si manager. Tak menyangka, Pangeran kudo hitam itu menanggapi rentetan panjang jelasku tadi. "Kamu bilang jodoh sudah di atur tuhan. Terus kenapa masih ragu?" "Bapak ngak pernah dengar apa, kalau jodoh memang di tangan tuhan tapi kalau kita nggak ambil, yah tuhan nggak bakal lepasin tuh jodoh dari tangannya." "So?" "Pikir saja, pak! Kalau peryataan itu masih bersifat ambigu. Apa kita harus campur tangan dalam urusannya? Seperti kata bijak yang barusan saya kasih tahu. Atau pasrahin saja toh Allah sudah nentuin. I am not in capable to make any target about it. Well, cause there is no formula to convey me who he is." Tebak apa yang terjadi. Si manager di depanku ini tertawa terbahak-bahak. Dia membuka matanya dan langsung berpaling ke arahku. "Sorry, It's not my bussiness. I do really don't know who he is." Dia makin menampakan senyum tiga jarinya. Detik kemudian dia menunjuk dirinya sendiri masih dengan tatap jenaka miliknya, "Oh! Maybe me?!" Aku memutar dua bola mataku jengah. See, he enjoyed the show. "Ternyata dugaan saya benar. Kalau bapak kurang hiburan. Bapak nyuruh saya jelasin. Setidaknya jangan buat cerita hidup saya itu jadi bahan lelucon bapak!", dasar tidak sopan! Mahluk itu justru kembali tertawa di depanku. "Just stop it! Pak!", dia masih tertawa dan membuatku makin geram. "Bapak anggap saya lagi stand up apa? Saya bukan RaditIyadihkan atau siapalah itu!" "PAK BRAMA!", tahu apa yang terjadi. Teriakanku menghentikan semua gelak tawanya. "Kamu panggil saya apa tadi? Ulangi?", pintanya. Jengah, aku mengulang dengan wajah tertekuk, "Pak Brama" Dia menatapku serius sembari bediri dari tempatnya. Aku melihat manik hitam legam di matanya mampu menembus masuk ke dalam diriku. "Jangan ubah! Tetap panggil saya seperti itu!", ucapnya segera berlalu pergi meninggalkanku. *** -tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD