No 3 : BULE KOK MEDOK

1608 Words
Pangeran naik kudo hitam? Emang masih ada? *** "Tampang nggak selalu sesuai kenyataan, sist!", seorang gadis yang kuyakini usianya masih menginjak kata remaja namun sayang ketutup sama tampilannya, kini melirik senang ke arah kami. "Jadi lo berdua yang bakal isi posisi gudang?", tanyanya riang. Kami. Tentunya aku dan Prisilia hanya saling melempar tatapan tanya. Memang dulu kami di tempatkan di bagian gudang karena memang itu kerjaan rangkap selain bekerja di bagian keuangan sebagai posisi utama. Aku melihat baik si bapak maupun si ibu tadi, melongos masuk kembali ke dalam kantor. Pergi begitu saja meninggalkan kami berempat. Hello, both of you're not polite actually! "Gue Ninda, bagian keuangan. Itu yang ngemut es krim tadi namanya pak Tedi, si assisten manager. Mbak Misa, sekertaris kami. Nah ini bule nyasar namanya JiBi, bagian marketing," Ninda mewakili kumpulan manusia tak kenal sopan tadi ke aku dan Prisil. "Aku Renata dan ini Prisilia. Hmm, Bagian gudang as you said just now." Si JB itu akhirnya mengangguk-anggukkan kepala pelan seraya memalingkan pandangnya ke arah kami, "Owalah! Aku bisa kenalin diri sendiri ke mbak-mbaknya. Wong aku punya mulut sendiri toh." suara cempreng berbalut medok berbunyi dari pita suara si bule nyasar tadi, membuat aku dan Prisilia sontak mengalihkan pandangan ke sumber suara. Bule kok medok? "Aku Jhon Brian, mbak. Panggil aja JiBi. Anaknya ibu Lauren dan bapak Ahmad. Tulen anak wong Jowo. Makanya saya heran tadi waktu mbak Renat sama mbak Prisil ngomong pakai bahasa Inggris. Ora mudeng akunya." sekali lagi dia memperkenalkan diri lewat aksennya yang kelewat medok. Aku dan Prisil hanya ber-o-ria. Tidak bisa membayangkan ada bule tapi merasa asing sama bahasanya sendiri. "Masuk yuk! Ngobrol dalam saja!", si Ninda masuk sembari menarik tangan kami berdua. Sedangkan JB dengan semangat mudanya yang kentara, mendorong dua tubuh kami dari arah belakang. *** Aku berpikir karena kami ditempatkan di gudang maka ruang lingkup kami bakal tersendiri, sama dengan perusahaan tempat kami bekerja sebelumnya. Namun disini sedikit berbeda. Karena gudang letaknya di gedung belakang, maka tempat kami bekerja sama dengan yang lain. "Berbaur ya kita di sini! Semua kumpul jadi satu ruangan. Kecuali ruang pak manager. Tuh di belakang kalian." Mbak Misa menerangkan dengan wajah jutek seraya menunjuk ruangan berdinding kaca di sudut ruang dengan dagunya. "Oh iya. Perkenalkan saya Renata dan ini teman saya Prisilia", sopan santun menuntun kalimatku terlontar di hadapan dua senior yang agak kurang bisa diajak kompromi--- sepertinya. Pak Tedy yang terkesan cuek seketika melirik ke arah kami, "Lo berdua, kalau mau bertahan disini jangan suka malu-malu kucing. Sopan santun tuh tidak ada di kamus kita. Contohnya---", kalimat pak Tedy menggantung. Dia lalu beranjak dari kursinya dan mengetok puncak kepala JB pakai map di tangannya, "Kerja lo yang benar. Laporan penjualan produk tadi revisi kembali gih!" Mata Prisil membulat, lebih tepatnya terkejut dan sekaligus menatap ngeri ke arah Pak Tedy. Yah! Maklum sih, Prisil itu orangnya rada lemah lembut walaupun sifat ganjennya itu lebih dominan. "Jadi, nggak apa tuh pak kalau saya ngetok kepala orang di sini?", aku terkekeh mendapati si JB merintih kesakitan dari balik layar komputernya. "Asal jangan kepala senior aja lo ketok. Cari mati itu namanya." "Sipp deh, pak." Cengiranku terbit begitu saja. Tak mengira Pak Tedy itu tak semenyeramkan wajah khas satpam komplek rumahku. Lebih tepatnya, bagiku dia terkesan sedikit konyol. Aku mengedarkan pandang ke seluruh sudut ruang. "Tapi kok sepi gini nih kantor. Kemana yang lain?" Mbak Misa yang sibuk membolak-balik lembaran laporan berhenti sejenak lalu memutuskan ikut nimbrung, "Di sini kita berenam saja yang ada. Tidak lihat, tadi ukuran kecil kantor kita? Namanya kantor cabang, wajar saja kalau kondisinya seperti ini." Mbak Misa ini kalau diibaratkan mirip seperti guru bahasa Indonesia yang kalau bicara mesti berbasis EYD. Tingkahnya anggun bak CEO. Namun wajahnya judes minta ampun. Apalagi lirikannya, setajam dosen penguji. "Sangking kecilnya kantor kita mungkin namanya cocokkan jadi kantor pucuk, kali mbak? Kantor cabang kami bahkan tiga kali lipat lebih besar dari ini", tanpa proses penyaringan mulut Prisilia menyuarakan pendapatnya. Alhasil si Mbak Misa makin melotot matanya dan yang lain cuma terkekeh di tempat masing-masing. Beruntung Ninda menyela di antara tatapan tajam Mbak Misa dan pandangan polos si Prisilia, "Eh, Pangeran kapan sih datang?" "Iyo! Katanya sih, Pangeran bakal masuk kantor hari ini. Lah sudah lewat dua jam loh iki.", giliran JB ikut menimpali. Entah untuk kesekian kalinya, tatapan penuh tanya terjadi di antara aku dan Prisilia, "Pangeran?", suara kami berdua terdengar hampir berbarengan. "Iya. Manager kita, mbak. Masih muda plus singel loh. Ganteng pula foto profilnya", si medok JB bicara seraya membawa dirinya keluar ruangan sambil menempeli handphone ke salah satu telinga. "Bos kita itu orang baru karena ada sistem rolling dari pusat.", tanpa menoleh Mbak Misa setia berkutat pada laporannya. Seraya kembali ber-o-ria, aku dan Prisilia memutuskan duduk di kursi kosong masing-masing. Teritorial kerja di sini hanya dibatasi oleh kubikel-kubikel berwarna putih. "Sorry ya, Ren, Sil. Kami ngak buat acara penyambutan lo berdua. Karena kebetulan juga si pangeran datangnya hari ini. Bisa-bisa kita diseret keluar kantor kalau buat pesta pas jam kerja", Ninda ini mungkin lagi pengen sok dekat. Soalnya dia sudah mulai menyeret kursinya di antara aku dan Prisilia. "Just for your info nih. Nggak ada sejarahnya pimpinan kita itu punya sifat bak malaikat. Mulai dari maneger pertama bahkan yang terakhir kemaren pindah itu punya tempramennya turunan Hitler." "Masa, sih? Pak Harmoko itu enggak. Baik banget malah", Prisil bersuara. "Hedeh! Itu kan GM. Nhgak pernah ada sejarahnya GM mimpin di sini. Maksud gue itu, ma-ne-ger." Penekanan tiap kata Ninda berhasil membuat Pak Tedy kembali terkekeh di tempatnya. "But, well-- anyhow he is single and I am ready to make him be the next target", ketawa Prisil yang sedikit malu-malu membuat semua pasang mata mengarah padanya. "Serius mau dijadikan target?", aku terpana dengan ucapan mahluk imut di sampingku. "Be propesional, please!", mbak Misa bergumam dari balik kubikelnya. "Halah! Bawa nyantai aja. Lagian mukjizat kalau dia bisa jatuh cinta sama lo pada", pak Tedy yang suka tertawa kembali menampakkan deret giginya. Suara hembusan nafas panjang keluar dari mulut Ninda dan Prisil. Se-hopeless gitu ya, hidup kalian cuma buat ngejar jodoh. Aku sih sudah punya rencana hidup yang sempurna. Kerja saja cari duit banyak-banyak. Masalah jodoh bisa ngikutkan. Ibarat nyelam ya bagusnya sambil minum air. "Woy! Pangeran datang naik 'kudo' hitam", kepala JB menyeruak dari luar pintu. "Pangeran? Kuda hitam?", aku makin geram dengan permainan kata yang mereka pamerkan sedari tadi. Nonsense, banget sampai rasanya aku pengen ubrek semua isi otak mereka biar dapat penjelasan yang lebih masuk akal lagi. Dan seketika itu pula mereka berteriak serentak memanggilku untuk ikut berbaris di sepanjang pintu masuk. Aku yang ketinggalan momen penyambutan, melangkah setengah berlari menuju pintu hingga tanpa sengaja kakiku keselip keset bertulis 'welcome' di depan pintu. Sialnya, tanpa aba-aba tubuhku terjerungkup jatuh menghempas lantai. Aku melirik ke arah si tamu yang ternyata ikut terhenti langkahnya tak jauh dari keberadaan kami. Tatapan kami mengunci beberapa saat hingga dengan sigap aku berdiri dan merapikan baju. Sigap ikut berbaris, si JB malah tersenyum nakal di sampingku, "Kalau yang modelnya gini, lebih cocok jadian sama mbak Renat." "Renat, Renat matamu! Jangan potong nama saya seenak jidad gitu! Lagian aku nggak tertarik soal 'jadian' yang kamu maksud barusan." Elakku menatap JB kesal. "Duh jutek banget sih, mbak. Baru juga kita kenalan. Lagian nggak apa lah, kalau mbak sama Pangeran jadian. Aku restui, mbak." Suara medoknya si JB berhasil menggantungkan tangan si Pangeran yang lagi berjabat salam dengan si Ninda. Pangeran mereka itu sedikit kaget, terlihat dari ekspresinya walaupun senyum iklan pepsondent itu masih menghiasi tiap sudut bibir pria tersebut. Tak hanya senyum, bahkan genggaman tangannya yang sedari tadi tak lepas menjabat tangan Ninda pun tak tergerak. Cih! Senang banget muka tuh bocah centil dapat jabatan tangan lama kelar. Semua mata mengarah pada aku dan JB. Sedangkan kami berdua hanya saling sikut menyalahkan. Jabatan tangan itu berakhir di tempatku berdiri. Senyum si Pangeran itu tiba-tiba makin melebar selebar tiga jari di bibirnya. Just kill me! How handsome creature!, gumamku tak sadar. Bahkan mata mbak Misa si wanita tiga puluhan itu ikut terpana untuk beberapa detik. "Senyum pepsodent-nya bikin makin ganteng, euy", Prisilia berbisik dan pastinya kedengaran oleh semua telinga. "Otot lenganya enggak nahan, sist", Ninda ikut menimpali dengan antusias. "Ehem!", akhirnya si beruang Tedy mencoba menetralkan atsmofir aneh disekitar kami, "Selamat datang, Ran. Mungkin perkenalan dulu baiknya." Ran? Serius tuh si beruang manggil Pangeran mereka dengan sebutan 'Ran' tanpa embel-embel bapak? Bos loh itu. Bukan hanya aku, bahkan semua mata kami spontan melotot ke arah pak Tedy. Yang diplototi hanya pasang muka cuek. Yah! Satu hal yang kepelajari dari si beruang, selain kuat ngemil tuh manusia nyantai juga sifatnya kelewat acuh. Ketidakadaannya sopan santun yang dia singgung sejam yang lalu itu kembali dia buktikan di hadapan kami barusan. "Perkenalkan! Nama saya Pangeran Brama Putrahan, manager di ShowIt mulai hari ini." Mahluk terlanjur tampan itu kembali menebar pesona lewat lekuk indah di kedua sudut bibirnya. Masing-masing mulutku dan Prisilia membentuk huruf 'O' berbarengan. Aku memundurkan kepala sedikit dan melirik ke arah parkiran dan benar 'pangeran ber-kudo hitam' yang diucapkan si JB itu maksudnya si manager  yang datang naik mobil Escudo Hitam. Buset! Permainan kata yang melelahkan. "Tolong persiapkan ruang rapat, lima menit lagi kita meeting", Pangeran kembali memamerkan senyum pepsodent miliknya membuat semua mata kaum hawa disini tiba-tiba merasa sejuk. "Oh iya! By the way, are you okay?", demi umur panjang si kanjeng ratu--- Pangeran itu bertanya dan menatap mataku cukup intens. "Kamukan tadi yang lari-lari sampai jatuh keselip keset? Are you ok, Renata?", tanyanya untuk yang kedua kali. *** -tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD