No 2 : EMPAT KARYAWAN ANEH

1279 Words
Bibirku bermonolog sendiri memaparkan doa anak yang teraniaya--- Well, oleh emak sendiri tentunya seraya menekan tombol lift di angka empat. Harus kuakui perbuatan ibu kemaren itu berlebihan walaupun berdasar pada alasan 'khuawatir akan masa depan anak'. Tapi, yah! Ngak gitu juga kali. Dimana harus kutaruh mukaku sekarang kalau ketemu tuh si MokoMoko. Ting! Saat pintu lift terbuka, saat itu juga aku baru menyadari jika doa anak yang teraniaya, tidak semua langsung dijabah sama Allah. "Sore, Ta!", sapa si MokoMoko. "Sore, pak!" Aku cuma mengulas senyum tipis sembari melebarkan langkah menjauhinya. Namun yang menyapa ternyata masih niat bersuara, "Bisa bicara sebentar?", dia mengurung niat untuk segera memasuki lift, "Walk with me, please!" Dengan terpaksa aku mengekori sosoknya. Hingga sampai di satu ruangan khusus milik si MokoMoko. Ruangan besar berwarna paduan cream dan toska. Dia dengan senyum ramah yang tak ketinggalan, menempatkan diri duduk di balik meja di ujung ruang. Aku mengekorinya. "Mama kamu itu ternyata lebih kekinian dari anaknya loh, Ta." si MokoMoko itu tertawa lepas di atas kursi. "Maafin ibu saya ya, pak!", tulus aku memohon demi menebus keagresifannya si kajeng ratu kemarin. "Oh! Kamu manggilnya 'ibu'. Kirain 'mama'. Kan anak sekarang lebih seringan manggil ibunya dengan panggilan mama, atau mom biar lebih kekinian gitu loh, Ta." Aduh kenapa si MokoMoko ini malah ngalih bahas mama-ibu segala sih?! "Pak, ini saya serius! Saya tahu ibu saya pasti ngomong panjang lebar soal yang tidak penting kemarin pas ketemu bapak." "Halah! Banyakan ngomong sama istri saya sih. Bahas soal tampilan rumahan ala si--- siapa tuh, istrinya Ruben Onsu?" "Sarwendah, pak?" "Iya itu si Sarwendah yang suka dasteran di rumah. Sampai-sampai istri saya malas dorong troli cuma buat fokus ngobrol tuh sama ibu kamu." Yaelah! Pengen banget nih si MokoMoko langsung digiring ke inti masalah. Lah! Ini malah bahas masalah pergosipan. Damn it! Just wasting my precious time. "Lagian, Ta. Yang ibu kamu omongin ke saya itu penting loh. Mungkin, enggak menurut kamu. Tapi menurut saya, kata-kata ibu kamu itu cukup menohok. Bagi saya loh ini! Dalam artian, saya salah sudah memperkerjakan bahawan tanpa melihat keadaannya terlebih dulu." "Eh? Gimana, pak?", jangan heran. Aku memang terkenal perfeksionis dalam berencana sekaligus lemot dalam memaknai maksud ucapan orang. "Saya berubah pikiran. Untuk memperkerjakan anak karyawan perempuan yang belum menikah di sift malam. Bahasa sederhananya, tidak bagus buat masa muda kalian. Inikan masa-masanya kamu lagi nyari kepastian--- kepastian dimana pasangan kamu berada. Iya, ngak?", sekali lagi si MokoMoko itu tertawa renyah dari balik meja kerjanya. Dan aura kebapakannya keluar saat sebaris kalimat terlontar dari mulut si bos, "Saya pindahkan kamu sama Prisilia ke perusahaan cabang lain ya, Ta. Biar jam ngantornya bisa wajar." Mulutku menganga lebar. Alasan kemarin aku berharap tidak mau melintasi ruangan si MokoMoko ini adalah ketakutanku akan murkanya pak bos karena ulah si kanjeng ratu. Well In fact, atasanku satu ini terkenal ramah dan murah senyum. Tawanya bisa dia umbar kemana saja asal karyawannya merasa nyaman. Tapi tetap saja, otakku selalu menyediakan ruang kosong buat dipenuhi oleh kemungkinan terburuk yang selalu kusertakan saat proses menduga-menduga kemaren. "Siap, ya? Soalnya besok pagi juga kamu sama si Prisilia saya pindah tugaskan ke sana." "Tapi, pak--" "Tenang. Lagian gajinya tetap kok. Cuma beban kerjanya saja yang nambah", ucap MokoMoko lalu pergi meninggalkanku. Aku merutuki nasib. Nambah beban kerja merupakan satu hal yang paling kubenci. Hal yang membuatku betah bekerja di sini adalah hanya melakukan rutinitas yang itu-itu saja. Ada kerjaan, sok atuh kerja. Itu pun bisa dicicil mirip kreditan baju. Kalau waktunya tidak ada deadline, ngantor serasa ngafe. Kerjanya paling ngemil, makan, gosip, pulang. Unfortunately, semua bakal berubah, saat nanti ketibaanku di tempat asing. Hedeh! Serasa tak selesa (read: nyaman). *** ShowIt, Branch Corp. "Sil, kita enggak salah arah, kan?", aku mengamati saksama gedung kecil yang menjulang tidak seberapa tinggi dari balik kaca Uber yang kami tumpangi. Prisilia sama terkejutnya denganku. Yang membedakan, dia sampai tidak bisa buka suara sangking tertegunnya. "Ok, pak. Sini aja!", dengan cekatan aku menarik tangan si Prisilia, menggiringnya menapaki halaman sebuah gedung yang bertuliskan 'ShowIt' tak jauh dari depan kantor. "Ini perusahaan cabang atau kantor kelurahan sih? Kecil amat, mbak Ren." "Makanya aku nanya kita nggak salah arah, kan?" "Nggak, deh! Tuh Tulisan di dinding sana 'ShowIt, Branch Corp'." Dia menunjuk ke satu papan di ujung dinding bagunan. "Mbak! Lagian, kamu tahu nggak sih, kenapa pak Harmoko mindahin kita ke sini? Seingatku, sehabis confirm f******k ibumu, si doi langsung nanya siapa aja karyawan cewek yang belum nikah di kantornya. Nah! Aku jawab cuma kita bedua doang yang belum married. So, cuma kita berdua juga yang dipindahin." "Kok kamu bisa tahu ibuku minta pertemanan sama si MokoMoko?" "Hah? Apa-apaan tuh MokoMoko?" "Iya, pak Harmoko." Prisilia memutar matanya jengah. Dia balik menarik tanganku mendekati gedung itu, "Pak MokoMokomu itu minta dibuatkan akun ** ke aku. Kebetulan notifikasi sss nya muncul. Nama si kanjeng yang langka itu yang muncul. Got it?" Aku mengangguk penuh tanda mengerti. Bagaimanapun si kanjeng ratu itu punya nama nan unik hasil kreativitas almarhum nenekku, 'Mama Lia Karni Vora'. Dan berkat nama uniknya beserta keeksisan masakan ibu di dunia maya, si kanjeng ratu itu hampir punya pengikut lebih 20k di lapak IG nya. "Mbak Ren! Jujur deh, mbak pasti tahu alasannya, bukan?" Prisilia menghentikan langkah kami. "Soal?" "Ya hubungan kanjeng ratu, pak Harmoko, sama alasan kepindahan kita." Mata Prisilia memandangku cukup mengusik. "Hufft!" Nyerah deh sama nih bocah. Dasar tukang pancing! "Si kanjeng ratu nghak mau punya anak kalong. Nggak etis", kakiku bergerak cepat meninggalkan sosok imut di belakangku. Yah! Malas saja bahas si kanjeng ratu beleberan sampai masuk ke ranah kantor. Masalah di rumah ya bahasnya di rumah. Langkah kami berdua terhenti takkala seorang pria blasteran entah Indo-Inggris, Indo-Amerika, atau apalah---sedang menanti kami dari latar kantor. Baik aku sama Prisilia menatapnya kagum penuh pesona khas kaum hawa. "Mbak Renata! Wake me up!" Tentu yang dituju Prisilia adalah sosok yang tengah melambaikan tangannya ke arah kami. "Lucky banget kita punya teman sekantor bule. Bakal tak gebet tuh buat teman kondangan", mata si mahluk imut itu tak kenal kedip. Mulutnya saja yang terus ngerocos mirip knalpot motor. Aku terkesiap. Well! Dikasih pemandangan indah tentu wajar bagi kaum wanita langsung terpesona. Rejeki anak sholeh jangan didustakan. Tapi, proses akalku yang begitu dipenuhi asas realistis langsung kembali ke tahap sadar maksimal. Tanganku mengetok kepala mahluk terlanjut imut yang masih belum kembali ke jati dirinya sejenak. "Wake up!"  Bisikku yang tak diindahkan olehnya. Prisila justru menyodorkan tangan dengan segala tingkah recehnya. "Hai! I'm Prisilia Nasution, single and I'm in middle tweny. Really nice to see you here. I hope we can be a good partner soon". Sedangkan yang disalami hanya menatap lawan bicaranya bingung. Bingung? Iya benar. Dia seperti linglung menanggapi tingkah si Prisilia. Segera aku mengambil alih perhatiannya, biar tuh bule nggak keburu nethink sama Prisil yang kelewat modus, "I'm Renata Deandara. We've been asked by Mr Harmoko to start our day here by now". Si bule makin terpana, sampai mulutnya lupa ditutup. Aku agak jengah dengannya hingga raut jutekku secara gamblang terukir di wajah. But, s**t! He just stares us and does nothing. Kami terdiam hingga sebuah suara menolehkan tiga kepala yang tengah saling tatap disini, memandangnya. "Don't judge a book by its cover", seorang wanita berusia tiga puluhan memunculkan sosoknya dari balik pintu. "Yang artinya?", seorang bapak berkumis lele menyusul dari balik punggung si wanita tiga puluhan tadi sembari mengemut sebuah Cornello rasa coklat di mulutnya. "Tampang nggak selalu sesuai kenyataan, sist! ", suara versi centil menyeruak dari belakang kami. Membuat si Prisilia kembali ke alam sadarnya dari pesona si bule tampan. *** -tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD