Kesalahan yang sama

1791 Words
"Apa mulutmu itu mau disumpal pake sapu tangan?" Sambil menutup mulut Ririn. "Aammpp." Suara Ririn terputus karena mulutnya tersumpal sapu tangan. Dengan muka memerah, Ririn melepas sapu tangan itu dari mulutnya. Rasa kesal dan malu menyerangnya bersamaan. "Terlambat haa!" Teguran Pak Bos yang lembut pun sudah bagai petir di telinga Ririn. Lututnya serasa lemas. Jantungnya seakan berpacu saat dirinya membayangkan hukuman macam apa yang bakal diterimanya. Tanpa sadar sapu tangan yang dipegangnya, diremas-remas. Hening melanda di dalam lift itu. Ririn tak kuasa menoleh untuk memandangi Bosnya. Sementara Pak Bos terus memandangi Ririn yang ketakutan. Bibirnya terus menorehkan senyum. Lift ahirnya terbuka. Ririn diam tak bergerak karena dia merasa tak enak hati mendahului sang Bos. "Kenapa malah diam, apa kamu mau membuat aku menunggu lama sampai ruanganku beres?" Ririn mendongak memandangi Pak Bos heran. "Aah silahkan Anda jalan duluan Pak, nanti aku ikut!" Mata Pak Bos melebar marah saat mendengar ucapan Ririn. "Kamu berani memerintahku?" Tanpa berani menyela lagi, Ririn langsung melesat keluar dari lift. Dengan setengah berlari, dia memasuki ruangan. Beberapa pegawai yang seruangan dengannya, terkejut melihat tingkahnya. Demikian pula dengan Lisa. "Hei Mba Ririn! kamu kenapa terburu-buru begitu, dikejar hantu ya?" "Bukan hantu, tapi lebih menakutkan dari hantu!" Suara Ririn membahana di ruangan itu, tapi dia tidak ambil pusing. Dia tidak sadar kalau di belakangnya, Pak Bos sedang mengikutinya. Sedangkan Lisa cuma tertawa ringan menanggapi jawaban Ririn. Ririn meletakkan tasnya kemudian bergegas masuk ke dalam ruang kerja Pak Bos. Lengan bajunya dising-singkan agak ke atas hingga ke siku, agar tidak terkena kotoran atau debu saat beres-beres. Tangannya pun mulai bergerak membenahi meja di depannya. Ririn tersentak kaget saat mendengar suara tirai, penutup jendela kaca ruangan itu menutup. Refleks dia berbalik. Pak Bos sudah menyeringai dengan muka garang di belakangnya. Sontak saja, Ririn terlonjak dari tempatnya. "Eh Pak Boos!" Dia langsung berbalik mengahadap Bosnya. Matanya melebar dengan jantung berdebar. Pak Bos mendekat, makin dekat sehingga Ririn terpaksa mundur, tapi terbentur pada meja kerja Pak Bos. Pak Bos semakin maju membuat Ririn semakin mundur. Tapi karena punggungnya sudah tertahan meja, hanya bahu dan kepalanya saja yang dimundurkan, sehingga bagian perutnya kebawah tampak membusung ke depan . Ririn terpaksa menumpukan keduan tangannya di meja. Pak Bos semakin maju dan terus memepetnya. Tubuh mereka kini semakin rapat. Ririn semakin mundur, tapi hanya kaki dan kepalanya saja yang bisa digerakkan. Sementara perutnya tetap membusung karena punggungnya yang terhalang meja. Kini perut mereka sudah benar-benar rapat. Ririn semakin ketakutan. Matanya berkedip-kedip, antara mau dan tidak mau menatap mata Bosnya. "Aa-apppa … yaa-yang Bbba-ppak laku-kan sih?" Suara gemetar Ririn tak menyurutkan aksi Pak Bos. Tubuh Ririn malah dikurung dengan kedua tangannya yang ditumpukan di meja. Badannya ikut dicondongkan ke depan. Wajah mereka kini sangat berdekatan. Deru napas Pak Bos menyapu wajah mulus Ririn. Jantung Ririn semakin berpacu seakan berlomba ingin keluar. Ririn terpaksa menahan napasnya karena sesak menahan grogi. "Apa mahluk yang lebih mengerikan dari hantu itu adalah aku, hemm?" Mendengar pertanyaan itu, Ririn langsung kaget dan langsung bangkit, sehingga kepalanya membentur hidung Pak Bos lagi. "Aakkkhhh!" Pak Bos terundur beberapa langkah. Kesalahan yang sama pun terulang lagi. Ririn segera bangkit dari meja sambil meringis kesakitan. "Aadduuhhh!!!" Ririn mengusap-usap dahinya yang terasa sakit. Pak Bos semakin murka, matanya merah, semerah hidungnya yang sakit. "Ka-kamu! Kamu sengaja kan?" Bentakan Pak Bos memenuhi ruangan itu. Untungnya kedap suara, hingga tak satupun orang di luar yang mendengarnya. Ririn gelagapan melihat wajah Pak Bos yang sudah semakin garang. "Maaf Pak, ma-maaaaaf banget Pak, aku tidak sengaja Pak!" Pak Bos tidak menanggapi permohonan maaf Ririn. Dengan gusar dia melangkah menuju sofa dan duduk di sana sambil mengelus-elus hidungnya yang memerah. Ririn masih bengong di tempatnya. Pak Bos meliriknya, "Apa kamu mau hidungku jadi bengkak? Sana cepetan ambilkan es batu!" Ririn mengangguk, "Iya Pak, tunggu sebentar ya!" Ririn pun segera berlari keluar diikuti oleh pandangan mata Pak Bos yang emosi. Setengah jam telah berlalu, Ririn tak kunjung datang, Pak Bos pun merasa bosan menunggu. Perlahan dia bangkit menuju mejanya. Rasa sakit di hidungnya kini sudah sedikit berkurang. Ririn datang dengan napas tersengal, Ririn kembali masuk ke ruangan Pak Bos. Alangkah kagetnya saat Ruangan itu kosong melompong tak ada seorang pun di sana. Dengan kesal, Ririn meletakkan es batunya di atas meja dekat sofa. Tanpa sengaja, Ririn melihat secarik kertas di sana. “Hidungku sudah mendingan, es batunya buang saja. Sebaiknya kamu bereskan ruanganku dan siapkan sarapan untukku, aku mau semua sudah siap saat aku sudah kembali.” Ririn begitu geram membaca pesan itu. Betapa tidak, dia sudah capek keluar masuk warung hanya untuk sebungkus es batu, tapi begitu esnya sudah datang, malah harus dibuang. "Aaakkhh!" Ririn meremas-remas kertas itu. Dengan gigi gemeretak, dia mulai membereskan ruangan Bosnya. "Apa dia pikir aku ini robot apa! Haaaaah, belum lagi capek hilang, datang lagi perintah gilanya, AAAAARRGGG!" Kedua tangannya dikepal dan diacungkan di depan mukanya. Ririn terus menggerutu sambil bekerja. Selesai berbenah di sana, Dengan segera dia keluar hendak menyiapkan sarapan buat Bosnya. Ririn kebingungan memilih sarapan untuk Bosnya. Pasalnya, tak seorang OB pun yang tahu makanan kesukaan Pak Bos. "Aduuuh beli apa dong?" Ririn menggigit kuku ibu jarinya karena bingung. "Kenapa Mba?" Ririn mendongak mendengar suara pemilik toko kue. "Ah ini Bu, aku bingung mau beli apa buat Bosku, haaah kira-kira dia suka makanan apa ya?" "Sesuaikan saja dengan kesukaan Mba aja deh, biar ga kelamaan mikir." Saran Ibu itu masuk di akal Ririn. "Iya juga sih, amm kalau gitu, roti bakar aja deh Bu!" Setelah mendapat makanan buat sarapan, Ririn dengan cepat pulang ke kantornya. Tak lupa mampir dulu ke dapur untuk mengambil pesanan kopinya sama OB. Ririn menarik napas berat berulang kali sebelum membuka pintu ruangan Pak Bos. Tanpa di sadarinya, Pak Bos sudah berdiri dibelakangnya juga. Baru saja Ririn memiringkan tubuhnya, hendak mendorong pintu dengan bahunya, tiba-tiba sebuah tangan melintasi wajahnya dan mendorong pintu hingga terbuka lebar. Ririn langsung menoleh. Begitu menyadari siapa di dekatnya, Ririn langsung menganga dan tak bergerak. Masih dengan tangan di gagang pintu, membuat posisi tubuh mereka seakan berpelukan jika dilihat dari belakang, Pak Bos memandangi Ririn dengan dahi mengerut. "Apa hobby kamu itu menganga lebar?" "Aa ... aup." Dengan cepat Ririn menutup mulutnya. ''Ayo masuk! apalagi yang kamu tunggu?" Sambil melangkah mendahului Ririn yang masih mematung. Dengan cepat Ririn mengikuti Pak Bos dari belakang. Begitu sampai di dalam, Ririn segera menyiapkan sarapan yang sudah dibelinya. Kejadian di depan pintu ruangan Pak Bos tak luput dari perhatian sesama karyawan di sana. Kasak-kusuk pun tak dapat dihindari. Tak terkecuali dengan Lisa yang sudah menyambut dan menunjukkan tempat Ririn kemarin. Ada rasa kecewa tergores di hatinya. Ririn terus saja berdiri, menatap Pak Bos yang lagi sibuk memeriksa berkasnya tanpa melirik sarapan yang disiapkannya. "Maaf Pak, sarapannya sudah siap!" Ririn akhirnya bersuara. Pak Bos mengangkat mukanya, memandangi Ririn. "Apa kamu tahu, kenapa kamu yang dipilih menjadi asistenku?" Ririn melongo mendengar pertanyaan itu. "Hobby kamu memang melongo ya!" Ririn langsung tersadar mendengar teguran Bosnya. "Ah aku ga tahu Pak." Pak Bos mengernyit, lalu mengubah posisi duduknya. "Berarti kamu masuk disini karena Nevotisme?" Mata Pak Bos menatap lekat pada Ririn. Ririn jadi tegang, dengan cepat dia menggeleng. "Tidak kok Pak, aku sama sekali tidak menyogok atau pake pendekatan, sama sekali tidak Pak!" Pak Bos meraih cangkir kopinya. Sambil menyeruput kopi, matanya tetap melirik berkasnya. "Kalau bukan karena kamu pake jaringan khusus, mana mungkin bisa masuk di kantor pusat, sementara dari data yang aku dapat, kamu cuma pegawai biasa di cabang," Pak Bos berhenti sejenak. Muka Ririn sudah pias karena bingung dan takut. Setelah meletakkan cangkirnya, Pak Bos kembali menatap Ririn datar. "Melewati jabatan Manager di sana dan langsung bergabung disini, jadi asisten lagi,bukankah itu mustahil?" Tatapan matanya begitu tajam dan menusuk. Ririn sudah jengah, rasa segannya kini hilang berganti kesal. Dengan amarah yang tertahan dia mencoba untuk tetap tenang. "Maaf Pak, aku benar-bebar tidak tahu, kalau Anda penasaran, sebaiknya tanyakan langsung pada Bapak PM (Project Manager), karena menurut Ketua cabang, aku direkomendasikan oleh Beliau!" Ririn menarik napas untuk menekan rasa geramnya. Pak Bos meletakkan berkas di meja. Sambil menikmati kopi dan roti bakar yang disuguhkan Ririn. Dia sama sekali tidak menanggapi pernyataan dari Ririn barusan. "Tau aja aku suka roti bakar?" Batinnya. Akan tetapi, ekspresinya dibuat seakan tidak suka dengan makanan yang disuguhkan oleh Ririn. “Apa hanya makanan ini yang bisa kamu dapatkan? Apa kamu pikir aku ini anak kecil yang harus disuguhi roti bakar? Haah! Ganti yang lain?” Ririn benar-benar geram, dia merasa diperlakukan seperti pembantu. Dengan berat, dia menghela napas. "Hhhhhhempp." Kemudian memandang kearah lain. Kakinya sudah pegal terus berdiri. Pak Bos mendongak begitu mendengar helaan napasnya. "Kamu ngapain masih disitu? sana pergi, beli yang lain yang lebih berkelas!" Ririn membelalak mendengar perintah Bosnya. Dengan geram, dia mengeratkan giginya hingga tampak rahangnya menggembung, kedua tangannya dikepalkan erat-erat. " Baik Pak Bos." Ririn menunduk sedikit kemudian berbalik. "Eeit tunggu sebentar!" Ririn langsung mematung mendengar teguran itu. "Eeeggggh, apasih maunya dia, eeeee!" Gerutu Ririn dalam hati. Tapi kemudian menurut juga, lalu kembali menghadap Bosnya. "Ya Pak Bos ada apa lagi?" Ririn berusaha sedatar mungkin, agar kesalnya tidak kelihatan. "Dengar! Namaku Ariel Darmansyah Putra, bukan Pak Bos, ngerti?" Sambil berdiri dari sofa menuju kursi kebesarannya. "Baik Pak Bo...eh maksudku Pak Ariel Darmansyah Putra, aku permisi Pak." Ririn pun berbalik dan pergi, agar tidak lagi berurusan dengan Bosnya. Pak Bos alias Ariel Darmansyah Putra memandangi kepergian Ririn dengan pandangan penuh tanda tanya. Begitu Ririn menghilang dibalik pintu, Ariel kembali menatap berkas di tangannya. Sambil menopang kepalanya dengan tangan, Ariel terus menatap berkasnya. Yang mana berkas itu berisi semua data tentang Ririn. Sambil mengelus dagunya yang tak berjenggot, Ariel bergumam pelan. "Heem lulusan perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal, dari pinggiran kota juga, tapi prestasi gemilang?" Ariel terus saja bertanya pada diri sendiri. "Haah gadis ceroboh seperti ini, disuruh membantuku? Cekatan apanya, yang ada terus membuatku kesal!" Dia menghempaskan berkas itu di meja. Kemudian bersandar di kursi empuknya sambil berputar kiri-kanan. Matanya terpejam. Dia berusaha mencerna semua kata-kata Papanya barusan. Sebelumnya waktu Ririn keluar untuk mencari es batu, Papanya menelpon agar segera menemuinya. Sesampai di sana, Papanya sudah duduk manis bersama sang Kakak. "Duduklah!" Perintah Papanya. Ariel pun duduk sambil mengamati mereka. "Ada apa ya?" Ariel bersandar di sofa. "calon asisten kamu sudah datang?" "Iya Pa, sejak kemarin dia masuk." Matanya mencoba mencari kebenaran di wajah mereka. Sementara Kakaknya cuma tersenyum. "Ririn ya namanya, kalau Papa tidak salah, benarkan?" Ariel cuma mengangguk pelan. "Memangnya ada apa sih dengan gadis itu?" "Papa yang rekomemdasikan dia, menurut Papa, dia bisa membantu kamu diposisi SE (Site Enginer)." Kakaknya angkat bicara. "Iya, prestasinya sangat bagus, semoga kamu bisa bekerja sama dengannya." Sela Papanya. Ariel membuka mata, lalu mendengus keras. "Huuuuufffffp." Sambil mengusap-usap wajah, mengingat permintaan Papanya itu. Sejenak dia berpikir, "ah apa jangan-jangan ... dia itu cewek barunya Papa?" sontak dia menegakkan tubuhnnya yang bersandar dengan mata melebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD