Tawuran

2599 Words
Mungkin saat ini Clarisa benar-benar merasa sendiri di sekolah sekarang. Maya t***l itu sedang sibuk di ruang guru, katanya mau bayar SPP bulan kemarin yang lupa ia bayar, tapi sampai bel istirahat kedua berbunyi dia belum datang juga. Clarisa tak henti-hentinya menggerutu. Kalau saja dirinya dekat dengan Langit seperti saat SMP dulu mungkin Clarisa sekarang selalu nempel dengan dia. Mereka beda gedung meski satu sekolah, biar pun kenal tapi jarang bertegur sapa. Di sini Clarisa sendiri yang harus berjuang dari jarak jauh. Karena bosan gadis itu ingin mencuci wajahnya saja di toilet, saking gerahnya menunggu Maya, wajahnya jadi sedikit terasa panas. Clarisa berjalan di koridor sekolah masih seperti biasa, angkuh. Wajahnya tanpa ekspresi sama sekali. Tatapannya fokus ke depan, membiarkan orang-orang yang berada di kiri kanannya berbicara sesuka hati. Clarisa gak peduli mau diomongin orang seperti apa, selagi dia gak merasa terganggu ya lanjutkan saja. Lagipula gak guna juga meladeni pengecut yang bisanya cuman membicarakan oranglain di belakang. “Clarisa!” panggil sebuah suara. Clarisa gak tuli ya sampai dia gak noleh, meski malas berinteraksi dengan orang lain dia masih bisa menghargai orang yang ingin bicara dengannya kecuali yang dibicarakan penting. Catat penting! Clarisa menoleh, kedua matanya langsung menemukan seorang pria yang sekarang sedang menggaruk pipinya. Gadis itu tak bertanya, hanya menunjukan ekspresi wajah malas agar cowok di depannya langsung mengatakan apa yang ingin dia katakan. “Gu-gue, mau kasih ini,” ujar si cowok seraya memberikan satu kotak yogurt pada Clarisa, wajah cowok itu memerah karena takut ditolak. Tapi jadi ungu saat Clarisa mengambil yogurt itu dari tangannya. “Thanks.” Clarisa pergi setelahnya. Si cowok langsung memegang dadanya dengan ekspresi lebay. Teman-temannya yang sedang bersembunyi di belakang langsung berlari menghampiri cowok itu dengan heboh. “Gila lo, Bay! Akhirnya diterima juga barang dari lo!” “Gak nyangka gue!” “Gak usah heboh, mungkin cuman hoki.” Minuman yang Clarisa suka banyak diketahui orang lain di sekolahnya, yogurt. Dan itu semua karena ulah Maya, dia yang membocorkannya. Tapi tak apa, dengan itu Clarisa sering dapat yogurt gratis tiap hari. Lumayan hemat duit jajan. Puk! Botol kosong yang Clarisa lempar tepat masuk ke dalam tong sampah, perempuan itu tersenyum tipis. Tipis sekali, hampir tak terlihat. Gadis itu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, tatapannya kembali fokus ke depan. “Toilet rusak, lo gak boleh masuk!” Satu gadis menghentikan langkah Clarisa yang ingin masuk ke dalam toilet. Clarisa mengernyitkan alisnya, bingung. Sebenarnya Clarisa saat ini berada di lantai bawah, tempat adik kelasnya tepatnya kelas sebelas. Karena toilet di kelas dua belas ramainya minta ampun jadi dia terpaksa ke sini. Jadi dia gak tau kalau toilet yang sekarang ingin dia tumpangi sedang rusak. “Oh.” Clarisa berbalik ingin pergi, tapi karena ada suara air yang sedang disiram terdengar cukup keras dari dalam membuat gadis itu berbalik lagi seraya menatap dua gadis di depannya datar. “Lo bohongin gue?” tanyanya dingin. Bukannya menjawab pertanyaannya, dua gadis penunggu toilet itu malah nyolot membuat yang mulia Clarisa berusaha menahan tangannya agar tak menonjok mereka. “Udah sana pergi aja lo!” “Pergi gak! Sebelum gue habisin lo di sini!” Clarisa dengan malas menghempaskan tangan gadis berbandana hijau polkadot yang sibuk mendorong-dorong tubuhnya agar pergi dari tempat ini sekarang juga. Gadis itu menatap datar dua gadis di depannya. Sepertinya mereka tidak tahu kalau Clarisa itu kakak kelasnya, gak masalah. “Gue mau masuk!” tegas Clarisa, baru mau melangkah masuk dirinya malah ditarik kembali. “Lo dengar gak sih apa yang gue bilang tadi? Pergi dari sini kalau gak mau dapat masalah!” Gadis dengan ujung rambut berwarna ungu metalik menghempas tangan Clarisa. “Pergi b*****t!” Bukan Clarisa namanya kalau menurut begitu saja dengan perintah dua bocah songong di depannya. Gadis itu mendorong kedua musuhnya dengan mudah lalu menendang pintu toilet hingga terbuka dengan suara nyaring. Satu pemandangan yang langsung tertangkap jelas oleh kedua mata bule abal-abal itu. Bisa dijelaskan dengan singkat, pembullyan. “Oh?” Clarisa tersenyum smirk. “Gue mau cuci muka, lanjutin aja.” Gadis berambut panjang yang sedang mendandani ala badut gadis di depannya bergeming, empat mata memandang intens Clarisa yang sekarang sibuk membasuh wajahnya di wastafel. Kedua perempuan yang berada di luar masuk terburu-buru, ingin bicara tapi tertahan setelah melihat pemandangan yang menurut mereka semua sedikit aneh. Sadar di tatap, Clarisa hanya mengedikkan bahunya acuh. Selesai dengan ritualnya mencuci wajah, Clarisa langsung mengambil ponselnya di dalam kantong almamaternya. Memotret ruangan dengan menyeluruh. Setelah itu memasukkan kembali ponselnya ke tempat semula. “Lanjutkan,” suruh Clarisa. Empat gadis yang berada dalam satu ruangan dengannya spontan mengerjapkan mata secara bersamaan. Clarisa cuek saja seraya melangkahkan kakinya ke luar dari toilet. Baru sampai pintu Clarisa kembali menoleh, “Selamat ya, bentar lagi jadi seleb dadakan di komunitas sekolah.” Clarisa pergi seraya terkekeh. “b*****t!” Clarisa berusaha mati-matian menahan tawanya agar tak meledak di tempat umum setelah mendengar u*****n dari dalam toilet yang terdengar cukup keras. Bodoh sekali mereka. *** Di dalam mobil, Clarisa dan Maya tak henti-hentinya tertawa. Saat ini mereka sedang berhenti di lampu merah, Clarisa sudah menceritakan peristiwa yang ia alami di toilet adik kelas tadi pada Maya. Dan tanggapan Maya sama sepertinya, adik kelas itu memang bodoh. Tapi yang membuat mereka semakin menjadi-jadi tertawanya karena postingan Maya di komunitas sekolah meledak dalam dua menit setelah diposting. Sebenarnya Clarisa hanya mengancam untuk menyebarkan foto yang ia ambil, tapi, kata Maya kalau ancaman saja gak cukup. Kasihan pada si korban, dia gak bakalan tenang soalnya bisa aja para perundung itu tetap mengganggu secara diam-diam meski Clarisa sudah mengancam. Clarisa yang malas dan Maya yang semangat menyebarkan foto-foto yang Clarisa ambil ke grup komunitas sekolah. Maya yakin dengan ini mereka akan jera, lagipula mengganggu orang juga salah. Jadi biarkan para perundung itu mendapatkan sangsi sosial nantinya. “Eh, tuh, Langit, ‘kan?” tanya Maya setelah menyadari keberadaan Langit di arah jam sepuluh. Bucinnya Langit langsung menoleh detik itu juga, mencari sang pujaan. Dapat. “Gila berdamage banget!” seru Clarisa heboh setelah membuka kaca mobil setengah. Dia ingin melihat Langit secara jelas. “Eh, coba lo perhatiin. Mereka rombongan keknya.” Maya tersadar akan suatu hal setelah melihat jaket yang dikenakan Langit sama dengan beberapa pengemudi motor besar lainnya, tepat berada di belakang kendaraan Langit. “Eh, iya, May! Jangan bilang kalau Langit anak geng motor?” beo Clarisa. “Kalau iya mah, udah, lo mundur aja, Ris. Anak geng motor gak ada yang baik, kebanyakan dari mereka suka buat onar doang. Gue takut lo kenapa-kenapa, kasihan sama hidup lo. Udah sengsara tambah sengsara,” ujar Maya panjang lebar. Clarisa membalasnya dengan tatapan malas. Begini nih kalau parit dikasih nyawa, gak nyambung. “Lo mau nasehatin gue, apa hina gue sih?” Clarisa dengan malas bertanya. Maya terkekeh. “Ya dua-duanya.” “Tapi, May, Langit tambah ganteng kelitannya. Gue jadi pengen pake jaketnya.” “Halu lo—“ Tin, tin, tin! “BABI! SABAR NAPA?!” Meski begitu Maya tetap melajukan mobilnya, salahkan dirinya yang kelamaan jalan padahal lampu merah sudah berganti hijau. “Ikutin Langit, May!” suruh Clarisa spontan langsung ditabok oleh tangan laknat Maya. “Kurang kerjaan banget lo ngintilin anak orang!” “May ....” Maya memasang ekspresi ingin muntah setelah melihat Clarisa yang memohon padanya seperti anak kecil, meski begitu dia manut juga. Gak papa, sesekali bikin anak orang bahagia. Lumayan dapat pahala. Maya dengan kemampuan menyetirnya menyalip kendaraan lain karena perintah yang mulia ratu biar gak ketinggalan rombongan Langit. Kalau gak diiming-imingi mie aceh dia gak bakalan mau menyetir mobil seperti setan yang sedang kejang-kejang seperti ini. Dan untungnya mobil ini milik Clarisa kalau punya dia mah ogah banget Maya buang-buang bensin. “Lelet banget lo bawa mobilnya, May. Gak terbiasa ya bawa mobil mahal?” Maya mencibir, Clarisa kalau diladenin makin belagu jadi biarkan saja. Untung sohib, Ris, kalau gak gue jatohin mobil lo dari atas flay over sumpah, batin Maya kesal. Mobil mereka sampai, sengaja diparkirkan lebih jauh dari rombongan Langit. Bertepatan dengan itu ponsel Maya berbunyi. Maya mengangkatnya, sekitar dua menitan mereka selesai bicara. Maya dengan tampang sedihnya meminta maaf pada Clarisa kalau dia disuruh pulang sama nyokap secepatnya. “Gak masalah, lo bawa aja mobil gue. Nanti pulang gue bisa pesen gojek,” kata Clarisa membuat Maya tak enak hati. “Sorry ya, Ris. Gue ngerepotin lo nih jadinya.” “Gak papa anggap aja mobil orang.” “Yeee, belagu!” Clarisa tertawa lalu ke luar dari mobilnya. “Hati-hati lo ya, kalau ada apa-apa telepon gue.” “Gak kebalik, Ris? Sekarang mah posisi lo yang dalam bahaya sekarang.” “Lebay lo! Buruan sana cabut!” usir Clarisa, Maya mencebik kesal lalu menjalankan mobil menuju rumahnya dengan kecepatan normal. Setelah mobil Maya sudah tak terlihat oleh mata, Clarisa berjalan mengendap-endap menuju ke tempat Langit berada. Untungnya sekarang mereka sedang berada di sebuah bangunan tua yang sudah lama kosong. Clarisa dengan mudah mempraktekkan cara maling berjalan, bersembunyi dari balik tiang satu ke tiang lainnya. Langkah kaki Clarisa berhenti saat ada seseorang yang membekap mulutnya tiba-tiba dari arah belakang. Padahal bisa dengan mudah Clarisa melepaskannya, tapi kalimat sialan yang pernah diucapkan Langit tempo lalu membuatnya hanya bisa menggigit bibir untuk menahan diri. “Gue suka cewek yang lemah lembut, mukanya kelihatan polos, kalem gitu, dan yang penting cewek yang gak suka ngomong kasar.” Sayangnya Clarisa jauh dari tipe idealnya Langit. Clarisa saat ini hanya bisa pasrah diseret bak karung beras, dia tak ingin menghancurkan imagenya di depan Langit. Bucinnya Langit itu sudah tak bisa melakukan apa-apa. Bruk! Bukan jatuh di tanah lalu digebukin secara ramai-ramai seperti film-film yang pernah Clarisa dan Syela tonton. Tapi di kursi kayu, parahnya rambut gadis itu juga ditarik dan tak sampai di situ dia juga dipasangkan lakban sebesar p****t bayi tepat di mulutnya. Kedua mata Clarisa melotot, menatap sang pelaku. “Lo pasti ceweknya Langit, 'kan?!” tuduh seorang cowok tak di kenal yang berada tepat di depan Clarisa. Hari macam apa ini? Kenapa dia malah dipertemukan oleh orang-orang semacam ini padahal niat awal hanya ingin memantau Langit seorang. Clarisa mau menggeleng tapi tak jadi, lumayan juga kalau mengakui Langit sebagai pacarnya pada orang lain. Siapa tau bisa jadi kenyataan. Gadis itu lalu mengangguk pasti membuat cowok di depannya tersenyum licik. Plak! Seumur hidup baru kali ini Clarisa merasakan tamparan dari seseorang. Gadis itu berusaha bangkit untuk melawan tapi tak bisa saat dua orang pria lainnya yang berada tepat di belakangnya langsung menahan tubuhnya lalu tanpa belas kasihan mengikat kaki tangannya dengan kuat. Clarisa mau bicara, tapi lakban sialan di mulut membuatnya sulit melakukan hal itu. Jadinya dia cuman berteriak tak jelas. Satu tonjokan melayang tepat di wajah Clarisa, sudut mata Clarisa mengeluarkan darah. Tak sampai di situ dia kembali menerima tamparan yang kali ini cukup keras membuat bibirnya berdarah. Darah ke luar dari sela-sela lakban yang mencium bibirnya itu. Cowok sialan! Tanpa belas kasih dia melawan seorang perempuan, di mana hati nuraninya. Clarisa bersumpah akan menghajar mereka setelah hari ini selesai. “Woy, Leo! Mau jadi banci lo, hah? Keluar sini kita ngetos!” Clarisa hapal betul kalau itu adalah suara Langit. Cowok di depan Clarisa tersenyum sinis. Lalu memberi kode kedua temannya untuk ke luar meninggalkan Clarisa sendiri di dalam ruangan, entah ruangan apa ini. Bau sekali. Hidung Clarisa sangat sensitif dengan bau busuk, baunya membuat gadis itu ingin muntah saja. Clarisa meringis, perih juga luka yang ia dapat. Mana sekarang kaki tangannya diikat lagi, pegel rasanya. Sialan memang tiga curut itu. Perempuan bule itu berusaha membuka ikatan di tangannya, sulit, tapi dia tak putus asa. Meski fokus dengan kegiatannya, telinga Clarisa masih berfungsi dengan baik. Suara gaduh khas orang yang lagi berkelahi di luar membuat Clarisa dapat menyimpulkan kalau Langit sekarang pasti sedang tawuran. Astaga, dia tak ingin Langit terluka. Semoga saja cowok itu baik-baik saja. Cowok bernama Leo masuk ke tempat di mana Clarisa berada dengan langkah teburu-buru. Cowok itu membuka ikatan di tangan dan kaki Clarisa, tanpa aba-aba kembali menonjok wajah Clarisa. Berniat membuat luka agar Langit marah karena perempuannya dianiaya. Pikir Leo saat itu. Satu tamparan lagi, mulut Clarisa yang masih tertutup lakban hanya bisa mengumpat dalam hati. “b*****t nih manusia satu!” Leo melepas lakban di mulut Clarisa kencang, “Pelan-pelan b**o!” pekik gadis itu seraya mengelus bibirnya yang tiba-tiba terasa kebas. Leo mengabaikan, cowok itu mendorong tubuh lalu menyeretnya paksa untuk dibawa ke luar. Clarisa yang sedang sibuk dengan rasa sakit di wajahnya hanya bisa pasrah. Puncaknya punggung Clarisa di tendang oleh seseorang dan hampir saja dia mencium tanah jika tak cepat mengendalikan tubuhnya sendiri. “b*****t lo pada! Mau ma—“ Kedua mata Clarisa tak sengaja bertemu tatap dengan Langit. Perempuan yang sudah setengah berdiri ingin menghajar Leo sekarang malah menjatuhkan badannya lagi dengan sengaja seraya mengeluh kesakitan. “Cewek lo, kan, Al?” tanya Leo dengan senyum sinis. Langit menggenggam tangannya keras, teman-teman Langit terkejut saat menyadari primadona sekolah sekarang nampak mengenaskan dengan banyak luka lebam. “Auw!” ringis Clarisa saat tangan besar Leo menjambak rambutnya. “Cantik juga cewek lo, bisa nih bagi dua,” kata Leo. “Besok tinggal nama lo bocah!” teriak Clarisa dalam hati. “LEMPAR KE UGD SEMUA, SOB!” perintah Langit dengan suara lantang. Tawuran part dua terjadi, Clarisa cuman bisa geleng-geleng. Gadis itu berusaha berdiri tapi pura-pura jatuh lagi karena dia sadar sedang ditatap oleh Langit, dasar pencitraan. Malu-maluin! Murahan! Pencitraan! Cewek caper! Gila! Cewek bodoh! Babi betina! Kalau Maya ada di sini sudah pasti u*****n semacam itu tak akan henti-hentinya ke luar dari mulut perempuan itu. Sayangnya Maya tidak ada, jadi, Clarisa bisa dengam mudah melancarkan akting gilanya. Langit berlari menhmapiri Clarisa dan langsung menggendong tubuh gadis itu untuk dibawanya pergi ke tempat yang aman. Cowok itu memasangkan Clarisa helm dengan tergesa-gesa lalu menjalankan motornya menjauh dari tempat bahaya tadi. Clarisa di belakang tak henti-hentinya tersenyum, mimpi apa dia semalam bisa gendong plus goncengan motor dengan Langit. Dia sedikit berterimakasih pada Leo yang sudah membuatnya babak belur kali ini. Motor Langit sampai di sebuah gedung apartement. “Ris, lo ke apartement gue di lantai 222. Pinnya 262626, lo tunggu di sana nanti gue nyusul. Sorry gue tinggal dulu.” Clarisa mengangguk, membiarkan motor Langit hilang dari pandangan. Perempuan itu menuruti perintah Langit, gak mungkin dia menyia-nyiakan kesempatan emas buat melihat tempat tinggal Langit. Di sisi lain, Langit memacu kendaraannya dengan kecepatan luar biasa. Cowok itu sempat mendapatkan banyak u*****n dari pengendara lain tapi dia tetap biasa saja. Tak lama dirinya sampai ke tempat tadi, tanpa menunggu lama cowok itu sudah bergabung dengan para anggotanya. “Mal, si banci lempar ke gue!” teriak Langit, Kemal langsung menarik kerah baju Leo dan melemparnya begitu saja tepat ke bawah kaki Langit. Langit tersenyum menyeramkan, Leo bisa merasakan aura Langit yang sangat gelap dibanding hari-hari sebelumnya mereka berkelahi. Hari ini Langit tampak seperti monster. Leo berdiri, meski dia merasa takut tetap saja tampang belagu yang dia tunjukkan. “Btw, bibir cewek lo manis,” ujar Leo membuat wajah Langit memerah.Tak ingin membuang waktu lagi satu bogeman melayang tepat di wajah cowok itu sampai membuatnya jatuh tersungkur. Langit tak memberikan jeda sedetik pun untuk membiarkan Leo terbebas dari kebrutalannya. Cowok itu sudah tak bisa berpikir jernih seperti biasanya, diotaknya hanya terlintas kalimat mati. Leo batuk darah meski begitu Langit tak henti-hentinya menyerang. Langit terus menendang, menginjak, bahkan meludah. Kebrutalan Langit selesai saat Kemal dan Sauqi menarik paksa tubuh Langit menjauh dari Leo. “Anggap ini sebagai peringatan. Lo ganggu anak Kencana lagi, habis lo!” Sauqi berkata dengan memberi satu tendangan pada Leo yang sekarang sudah tergeletak tak berdaya di tanah. Cowok itu sekarat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD