The Chili Mouth

3338 Words
Kantin tujuan utama bagi manusia yang sedang setres karena pelajaran dan kantin juga yang paling dibutuhkan oleh penghuni sekolahan. Sekarang sudah istirahat, Maya dan Clarisa sudah stay lebih awal di meja bulat yang bisa diisi oleh empat orang. Awalnya mereka ijin ke toilet tapi saat hendak balik bel istirahat malah berbunyi jadi sekalian saja. Lagipula mereka juga tak mau harus desak-desakan seperti yang dialami siswa-siswi lain seperti saat ini. Bahkan dua remaja itu sudah memakan makanannya dengan anteng, seolah tidak memiliki beban hidup. Mereka berdua sama-sama memesan mie ayam juara yang dikelola mang Jamil, rasanya memang the bestlah, seperti nggak ada tandingannya lagi. Clarisa meminum yogurtnya, matanya fokus pada Maya yang sedang sibuk menakar sambal untuk ia tumpahkan ke dalam mangkok berisi mie ayam miliknya. “Cabe mahal, njir. Mau bikin bangkrut mang Jamil lo?” tanyanya setelah selesai menyedot yogurt. “Gampang nanti gue investasi,” jawab Maya santai, terhitung sudah empat sendok sambal masuk ke dalam mangkoknya. Gadis itu mulai makan. Clarisa geleng-geleng kepala, bukan karena apa ya, mereka berdua itu sama-sama tidak suka pedas. Bedanya Maya memaksakan diri plus menyiksa perutnya sendiri dengan memakan cabai berlebihan hanya dengan modal nekat. Kalau sudah seperti itu Maya tak bisa dihentikan lagi, biarkan saja nanti gadis itu kelimpungan sendiri di kamar mandi. Brak! “Eanjing!” “ASW!” “Lo Maya yang dekat sama Kemal itu, 'kan?” tanya sebuah suara fokus menyudut pada Maya yang sekarang tengah menunduk karena mangkok mie ayamnya berhamburan. Gadis itu mendongak lalu menatap tajam pelaku. Clarisa yang berada di depannya hanya akan menyimak jika sudah begini, ia tahu betul kalau Maya sedang bergelut dengan kesabarannya. “Lo siapa?” tanya Maya masih berusaha tenang. “Amel kelas 11 anak IPA 1,” jawabnya terdengar begitu belagu. Clarisa yang mendengar terkekeh sarkas. “Baru jadi adek kelas aja, belagu!” hardik Clarisa lalu meminum kembali yogurtnya yang tinggal setengah. “Gak usah ikut campur lo!” cetus Amel pada Clarisa. “Songong nih bocah,” kata Clarisa. “Datang-datang mukul meja ada masalah hidup apa lo?” tanya Maya, dia masih memikirkan nasib mie ayamnya yang bertumpahan. Lihatlah habis sudah kamu bocah. “Ini belum seberapa, gue bisa lakuin yang lebih dari ini. Gue ingatin jauhin cowok gue, Kemal,” ucap Amel. Tanpa aba-aba Clarisa dan Maya tertawa kompak membuat Amel sedikit tersinggung, tapi ia abaikan sampai kedua gadis di depannya berhenti tertawa. “Kemal cowok lo? Ngakak b*****t!” Maya kembali tertawa berbeda dengan Clarisa yang sibuk memandang rendah adik kelas belagunya itu. Memang jaman sekarang adek kelas gak ada hormat-hormatnya lagi sama kakak kelasnya. “Udah ditidurin berapa kali lo sama mantan gue?” tanya Maya terkekah, Amel langsung berang saat menangkap jelas maksud pertanyaan dari Maya. “b*****t lo!” umpatnya lalu ingin menjambak rambut Maya tapi Clarisa lebih cepat dibanding pergerakan Anita. Gadis itu dengan sengaja menendang kursi di samping kirinya membuat Amel spontan langsung menunduk sambil memegang kedua lututnya, kesempatan ini Clarisa gunakan untuk menjambak rambut adik kelasnya itu. “Gak punya sopan santun banget lo jadi adek kelas,” kata Clarisa membiarkan suara rintihan dan teriakan Anita mengundang tatapan dari para penghuni kantin, semuanya menatap ke sumber suara. “Lepasin aja, Ris.” Clarisa melepaskan genggaman tangannya di rambut Amel. Kedua mata Maya beralih menatap datar Amel yang sekarang sudah berdiri di posisi semula sambil merapikan rambutnya. “Jadi lo ke sini buat ngelabrak gue? Lo mau Kemal? Ambil sana, setan! Gue gak peduli sama dia dan asal lo tau cowok lo tuh yang ngejar gue mulu!” tegas Maya. “Dasarnya memang lo yang murahan di sini. Kalau lo gak suka sama dia gak usah balas chat dia, b*****t!” “Cih! Gak kebalik? Lo ngelabrak sesama cewek cuman karena cowok kek Kemal yang nggak ada apa-apanya itu? Here you are cheap,” sinis Clarisa. “Nggak usah ikutan bacot lo anjing!” teriak Amel, Clarisa mendecih. “Why? Gak terima?” tanya Clarisa menantang. “Udahlah, Ris. Ngeladenin cewek yang udah nggak punya harga diri tuh gak guna,” kata Maya. Salahkan Amel yang berani menantang mulut pedas dua manusia di depannya itu. “Iyain, dari modelnya aja udah kek pernah dicoba ratusan kali sama om-om,” sindir Clarisa lagi. “Jangan asal fitnah lo berdua babi!” teriak Amel. “Ngaca lo pada, gue tau lo berdua sama-sama keturunan pelacur.” Brak! Clarisa menendang meja, dia marah. Maksud Amel bawa-bawa keluarganya apa? Kalau mau hina, ya hina dirinya saja sepuasnya. Jangan sangkut pautkan keluarganya hanya karena masalah sepele seperti ini. Siswa siswi yang sibuk menonton sudah tau bagaimana endingnya nanti, beberapa diantara mereka memutuskan mendekat dengan kamera video di ponsel masing-masing sedang menyala kearah sumber kegaduhan. Di sini sudah dipastikan si bule abal-abal Clarisa yang akan menang. “Mana yang katanya anak IPA itu pintar jaga etika, pinter menghargai seseorang dan pintar dalam segala hal. Gue kira anak IPA semua rata-ratanya begitu eh taunya ada setan Jamrud nyelip di sana!” Yang mau ketawa atas kalimat yang diucapkan Clarisa barusan memutuskan memendamnya sendiri. Tidak ingin mencari masalah dengan Clarisa yang sekarang sudah dipenuhi dengan aura hitam. “Gue rasa dia makhluk bajakan, Ris,” sahut Maya memancing emosi Amel. “Lo!” tunjuk Clarisa pada Amel. “Udah ngerasa hebat di sini?” tanyanya. “Matiin aja nih bocah. Golongan begini kalau dipelihara bahaya, takut jadi hama.” Maya lagi-lagi mengeluarkan kalimat mematikan dari mulutnya. Nggak peduli dia mau lawannya sakit hati apa gak, yang penting dia puas. Amel maju mendekat pada Maya yang memang jarak di antara keduanya lebih dekat, berniat menjambak. Clarisa yang sadar apa yang akan dilakukan Amel hanya diam saja, karena dia tau kalau Maya bukan mulutnya doang yang j*****m, gadis itu juga sama liarnya. Tidak ada yang melerai perkelahian Maya dan Amel, mereka semua sibuk menonton termasuk Clarisa sendiri bahkan gadis itu anteng sambil meminum yogurt dari botol kedua miliknya. “Woy lu berdua kalau mau ribut jangan di sini, makan gue keganggu!” teriak Langit dengan wajah merah di bangku paling ujung, cowok itu memang tak suka ada keributan saat dia sedang makan. Clarisa menoleh ke sumber suara, sadar siapa yang bicara gadis itu spontan menyepak kaki Amel dan Maya membuat dua gadis itu terduduk bersamaan. “Pergi lo dari sini sebelum gue patahin hidung lo!” ancam Clarisa, Amel yang terlanjur malu dengan posisinya saat ini mau tak mau berdiri lalu pergi begitu saja. Maya juga ikut berdiri lalu dengan sengaja menyepak kaki Clarisa membuat si empunya meringis. “Lo kalau mau nyepak ke cabe tadi bukan gue, malu-maluin banget jatuh kek tadi,” omel Maya sambil membersihkan seragamnya. “Lagian lo kenapa sih, hah?” lanjut Maya bertanya. “Lo pada ngeliatin apa? Bubar sana!” bentak Clarisa mengabaikan pertanyaan dari Maya. Para murid yang sibuk bergerombol tadi memutuskan mengikuti perintah yang mulia Clarisa daripada mencari masalah dengan perempuan itu. Setelah itu Clarisa menarik tangan Maya untuk pergi ke kelas, diperjalan Maya tak henti-hentinya mengatainya yang iya-iya. Karena Maya sempat melihat Langit yang sedang makan juga di kantin, jadi dia bisa menyimpulkan kenapa Clarisa bersikap aneh seperti tadi. “Bucin banget lo! Alay!” maki Maya. “Sadar diri kek lo, May!” maki Clarisa balik. *** Saat ini waktu seolah behenti sejenak, hingga tak lama hanya terdengar isak tangis yang memilukan. Gadis itu, dia yang sedang menangis sambil duduk bersimpuh di lapangan sekolah. Tubuhnya kotor, dari tepung, air, bahkan lumpur menjadi satu seperti adonan. Ditambah terik matahari yang membuat tubuhnya menjadi super lengket bak lem. Tidak bisa melawan, dia hanya diam mendapatkan perlakuan dari teman-teman sekolahnya. Ah, bukan teman melainkan orang yang membencinya. Tak ada satu pun yang mau menolongnya di sini, ia hanya sendiri. Mungkin hanya sabar yang bisa ia lakukan sekarang. Tak lupa juga berdoa, semoga saja kejadian yang menimpanya hari ini hanya sebuah mimpi buruk atau mungkin hanya khayalan semata. Semoga. Plak! Satu tamparan membuat dirinya terkejut bukan merasakan sakit. Tuhan ternyata menyuruhnya untuk sadar kalau sekarang bukanlah mimpi melainkan kenyataan. Gadis itu masih diam, tak bergerak sedikit pun hingga membuat tangan orang yang berdiri di depannya terangkat berniat menampar lagi. Syela Adinda Putri nama gadis yang tengah dieksekusi oleh lima orang gadis lainnya di lapangan sekolah. Padahal sudah jam pulang tapi anak murid SMP Kencana tak ada yang berniat ingin pulang. Mereka menonton tanpa ada niatan menolong. CK! Manusia! Syela pasrah saja menunggu tamparan lagi di pipinya, tapi anehnya sampai saat ini ia tak merasakan apapun. Kepalanya terangkat, ingin melihat apa yang terjadi. Tepat di depan matanya seorang menahan tangan Monika—orang yang suka membullynya. Gadis itu membulatkan matanya sempurna, terkejut luarbiasa. Buru-buru dia menghapus air matanya lalu berdiri tepat di tengah-tengah dua gadis yang sedang beradu tatap. “Kak, Risa ...,” lirih Syela. Clarisa menoleh pada adik bungsunya, menatap sinis. Seolah ingin ikut menjambak rambut adiknya sendiri saat ini. Tapi tidak akan ia lakukan. Clarisa menyayangi Syela melebihi apapun. Gadis itu kembali menatap marah Monica sedangkan yang ditatap menarik paksa tangannya yang sedang digenggam Clarisa kuat. “Sye, hakikat cewek emang lemah. Tapi, nggak juga harus terlihat lemah. Kita bakalan dianggap kuat kalau berani melawan, kek ininih,” ujar Clarisa seraya menendang perut Monica hingga gadis itu jatuh tersungkur ke tanah dan buru-buru dibantu ke empat temannya yang di belakang untuk berdiri. “Lo siapa b*****t? Gak usah ikut campur!” teriak Monica murka lalu berniat menghampiri Clarisa untuk menjambak rambutnya. Belum apa-apa pipinya lebih dulu ditampar oleh kakaknya Syela, dua kali malahan. Teman-temannya maju tapi dengan mudah Clarisa mengalahkannya. Mereka semua saat ini tergeletak di tanah, bahkan Monica menangis histeris. Perempuan kalau udah main fisik ngerinya mengalahkan para cowok yang sedang tawuran. “Ada apa ini?!” teriak pak kepala sekolah saat mendapati anak muridnya ada yang terluka karena bertengkar di sekolahan. Para guru yang lain ikut menyusul dari belakang, terlebih bu Betty—guru BK yang paling dijauhi para murid sedang menatap marah pada Clarisa. Clarisa acuh, dia memilih untuk menarik tangan adiknya untuk pergi. Baru beberapa langkah mereka dihentikan oleh ucapan bu Betty. “Setelah membuat kekacauan, Anda mau pergi begitu saja?” katanya. Clarisa berbalik begitupula Syela, gadis itu mendesah panjang sebelum mulai berbicara. “Ya terus?” tanyanya malas. Tidak ada yang menjawab, tak lama pak Kepala sekolah bersuara untuk menyuruh anak muridnya yang lain pulang ke rumah masing-masing. Dirasa lapangan sudah sepi para guru yang lain menyarankan untuk berbicara di kantor saja. Clarisa sempat menolak tak mau dia berlama-lama di sekolah b*****t yang senang memelihara manusia kejam yang telah menyiksa adiknya. Tapi, karena desakan Syela akhirnya dia manut juga. Sementara Clarisa dan Monika sedang disidang oleh guru Syela, adik bungsunya itu memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu di toilet sekolah karena seingatnya dia masih punya baju ganti di loker. “Oh, jadi Anda bapaknya,” ucap Clarisa meremehkan. Bukan apa ya, pantas aja kepala sekolah itu tak memarahi Monica dan hanya sibuk memarahinya saja. “Saya bisa melaporkan Anda jika tak mau meminta maaf pada anak saya. Karena saya yakin, Monica nggak salah. Anak saya anak baik-baik!” tegasnya. “Ukuran baik untuk anak Anda dilihat dari mananya sih, hah? Iya, menurut Anda itu bocah memang baik. Kalau menurut saya kelakuannya nggak jauh dari setan, Pak.” Clarisa berkata santai, masih berusaha sabar. “Lo jangan kurangajar ya b*****t!” teriak Monica tak terima. “Nah ini buktinya, dia ngomong kasar sama yang lebih tua dari dia. Jadi guru jangan cuman pintar di mata peajaran. Tapi juga harus pintar cara menilai orang,” sarkas Clarisa. Para guru terdiam. “Kalian bisa melaporkan saya ke polisi, silahkan, saya nggak masalah. Tapi saya bisa tuntut balik ini sekolah!” lanjut Clarisa mengancam. “Udah ada buktinya, si Syela kena bully di sini. Ada nggak yang bela? Nggak ada! Saya yakin para guru di sini udah kehilangan hati nuraninya masing-masing. Saran nih, mending tutup aja nih sekolah.” “Jaga ucapan Anda ya di sini!” teriak pak Kepala sekolah marah, sedangkan bu Betty yang biasanya keseringan bacot sekarang malah diam tanpa berkutik di mejanya. Masing-masing para guru meminta izin pamit pulang, saat itu Clarisa sudah tertawa terbahak-bahak. Di ruangan hanya sisa guru BK, kepala sekolah, Monica dan Clarisa. Tawa Clarisa berhenti setelah adik bungsunya masuk ke dalam ruangan dengan takut-takut, perempuan itu kembali sedih melihat raut wajah Syela yang terlihat sangat tertekan. Clarisa merutuki dirinya sendiri, kemana saja dia selama ini. Kenapa dia baru tahu sekarang kalau adiknya mengalami kekerasan di sekolahnya. Jika tadi mereka sedang tak berada di sekolah sudah dipastikan Monica akan ia kirimkan ke UGD, berani sekali dia memukul adiknya yang susah payah dia jaga. Bahkan dirinya saja tidak pernah memukul Syela, bukan dirinya saja, orangtuanya pun tidak pernah menyentuh gadis itu dengan kekerasan. “Udah gue bilang ‘kan, Sye. Nggak usah takut sama mereka, if not today tomorrow I will knock down this school.” Kebiasaan Clarisa kalau bicara asal keluar aja, nggak pernah ada niatan menyaring terlebih dahulu. Menyaring bukan hal yang disukainya, cewek itu pernah bilang. “Ini hidup gue, ya serah gue lah!” Syela menelan salivanya susah payah, dia masih trauma. Selama ini sekolahnya tak baik-baik saja, dari kelas satu Monica selalu mengganggunya, menghinanya bahkan melukai dirinya. Syela yang pendiam tak berani untuk menceritakan semua masalahnya pada keluarganya, dia terlalu takut; takut merepotkan. “Halah anak pungut kek dia sok-sokan dibela,” hardik Monica, Syela meneteskan air mata. Sungguh, kalimat yang diucapkan Monica mampu merobohkan benteng pertahanan Syela. Meski yang diucapkan Monika tak benar tetap saja hatinya sakit bak diiris belati, napasnya terasa sesak. Brak! “Maksud lo apaan b*****t!” teriak Clarisa murka sambil menggebrak meja membuat semua orang yang di ruangan terkejut. Enak saja mengatai adiknya anak pungut, memang Monika tau apa tentang keluarganya. Kalau Syela benar anak pungut lalu siapa yang dilahirkan bundanya saat itu di rumah sakit. Memang salah satu fitnah dakjal inimah. “If you don't know anything, don't just talk carelessly! Gue gak takut masuk penjara asal lo tau, dalam semalam badan lo bisa gue belah jadi delapan potongan kalau berani ngomong begitu lagi depan adek gue!” lanjut Clarisa menggebu-gebu, diliriknya Syela yang sekarang sudah menangis sesenggukan. Tatapannya kembali fokus pada Monica yang sekarang sedang memainkan jarinya, takut. Monica takut tapi tidak dengan mulutnya yang masih terasa gatal untuk mengeluarkan hinaan untuk membuat Syela semakin sakit hati. “Emang kenyataannya kok. Lagian lo mau aja ngurus anak haram.” Clarisa membulatkan matanya sempurna, tak butuh waktu lama kedua tangannya sudah menarik kerah baju Monica kasar. Ayah Monica berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan cengkraman Clarisa pada anaknya, lepas, tapi setelah bogeman mentah melayang tepat di wajah Monica. Darah keluar dari hidung gadis itu, dia berteriak histeris karena darah yang keluar dari hidungnya cukup banyak ditambah lagi rasa sakit yang luarbiasa. *** “Lo kalau mau hina adek gue, silahkan. Mau kritik dia silahkan, mau ngomongin dia juga silahkan. Because you are human, I understand,” ujar Clarisa datar, tapi tatapannya tajam mengarah Monica yang sekarang sudah diobati lukanya oleh bu Betty. Ruangan sekarang terasa sedikit ramai karena bertambah dua orang lagi, orangtua Clarisa dan Syela. Mereka berdua langsung datang kesekolahan si bungsu setelah ditelepon oleh Clarisa. “Tapi, kalau lo main fisik sama dia.” Tunjuk Clarisa pada Syela, “Gua juga bisa kalik! Ketimbang cegat lo doang di jalan terus ngelempar lo ke sungai sss, gue bisa! Gampang malahan. Atau lo mau ngerasain diposisi adek gue sekarang, dipermaluin, dibully, dikasarin, atau dihina habis-habisan? Pilih mana?” Monica meneguk salivana susah payah, dia tak menyangka kalau Syela' yang sering dia bully adalah anak dari keluarga yang berpengaruh. Lagi, dia takut tapi tidak dengan mulutnya yang sudah terbiasa mengeluarkan kalimat pedas. Toh ada ayahnya yang akan membelanya nanti. “Gunanya kalian melihara anak pungut apa sih?” tanya Monica. Mau mati nih bocah! Tiba-tiba atmosfer di ruangan terasa sangat panas. Nathan yang daritadi diam sudah tak kuasa menahan amarah, jika bukan karena Luna—istrinya yang menahan tangannya sudah daritadi bocah di depannya itu ia basmi. Sampah sejenis Monica seharusnya tidak ada di dunia. Tapi dia lupa kalau di bumi, di manapun itu letaknya pasti tetap ada manusia sejenis Monica. “Kecill-kecil udah ada jiwa melaratnya ya,” kata Nathan. Terdengar tidak nyambung dengan topik pembicaraan. Tapi kalau ditelaah dengan baik, apa yang diucapkan sang ayah bersangkutan. Sekolah ini cuman dibuat pakek bata, bisa dihancurkan dengan mudah. Because, keluarga Rahardja bisa melakukan apa saja. “You're too cute to be destroyed, Son.” Luna yang dari tadi diam angkat bicara, mulut Monica sebenarnya tidak bisa ditoleransi. Tapi, wanita itu masih berusaha menahan diri. “Memang benar kok apa yang gue bilang. Memungut satu sampah nggak ada gunanya, malah bikin malu!” “Monica!” seru kepala sekolah tak menyangka kalau putrinya bisa berkata demikian. Dari tadi dia memang berusaha membela anaknya, tapi ia tak ingin ini terjadi. Ucapan anaknya terdengar seperti melecehkan, ini semua sudah diluar batas. “Ayah nggak pernah ya ngelajarin kamu bicara seperti itu!” marah kepala sekolah, Monica menatap tak percaya ayahnya. Dia pikir dirinya akan dibela mati-matian, tapi kenyataannya tidak. Ayahnya malah memarahinya di depan semua orang. “A-ayah,” cicit gadis itu dengan suara parau. Kepala sekolah mengabaikan, memilih menatap orang-orang yang ada di depannya. “Saya mohon maafkan putri saya yang terlalu kurangajar, kita bisa selesaikan semua masalah dengan cara kekeluargaan,” kata kepala sekolah tertunduk. Monica menatap nanar ayahnya, gadis itu tak terima ayahnya meminta maaf pada oranglain. Monica merasa dirinya tak bersalah, kenapa ayahnya harus meminta maaf? “Mudah banget ya ngomong maaf. Adek gua sampe trauma gara-gara anak lo! Lebih baik tutup aja ini sekolah, gak guna!” bentak Clarisa. “Dan lo! Kalau punya masalah sama adek gue selesaikan, jangan asal main fisik! “Sistem bully di sini udah kek adat istiadat aja,” timpal Nathan. “Just burn this school,” saran Luna yang langsung mendapatkan tatapan dari penghuni di ruangan. Dari tadi diam, sekalinya ngomong nggak ada basa-basinya sama sekali. “Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya mewakili nama sekolah dan putri saya untuk Nak Syela. Setelah ini saya pastikan tidak akan ada yang mengganggu Syela lagi di sekolahan. Saya berjanji.” “Ya kalau ada, emang bener-bener bakal saya bakar ini sekolah!” tekan Nathan. “ “Satu hal yang ingin saya ingatkan pada kalian, harga diri dimata keluarga kami adalah hal yang terpenting. Satu kalimat saja yang bisa menjatuhkan harga diri keluarga Rahardja akan binasa detik itu juga. Mungkin saat ini putri Anda sedang beruntung.” “Hinaan tadi saya anggap selesai detik ini juga,” kata Syela yang akhirnya berbicara. Clarisa yang dari tadi melototin matanya pada Syela akhirnya tersenyum, adiknya itu terlalu lemah jika dihadapkan dengan manusia seperti Monica. Masalah selesai, saat ini Clarisa dan Syela sudah pisah mobil bersama orangtuanya karena dia sendirikan bawa kendaraan. Sedikit tak menyangka adiknya bisa diperlakukan buruk oleh teman-temannya sendiri disekolah, parahnya tak ada perlawanan sama sekali. Kalau ia tau lebih dulu sudah Clarisa binasakan makhluk jenis Monica. Sayangnya ia baru tahu karena dirinya sangat jarang menjemput sang adik sepulang sekolah, Clarisa itu malas bawa mobil. Terlebih jam pulang Clarisa sama Syela berbeda, tapi karena Clarisa tau kalau adiknya hari ini ada acara di sekolahan dan pulangnya bertepatan dengan jam pulangnya jadi sekalian saja jemput adiknya. “Sye, emang ada masalah apa sih? Keknya tuh bocah benci banget sama lo?” tanya Clarisa pada adiknya. Beuh, sebenarnya bukan tipe Clarisa banget kalau mengajukan pertanyaan duluan. Gadis itu lebih suka menjawab dari pada bertanya. “Boy problem, Sis,” jawab Syela jujur, meski sedikit takut ia terpaksa berkata demikian. Lagipula kenapa juga ia harus membhongi kakaknya? “t*i emang! Cuman masalah cowok sampe segini? Alay, setan!” maki Clarisa. “Monika suka sama cowok di sekolah aku, tapi dengar-dengar cowoknya suka sama aku, Kak. That's why he got angry, padahal aku gak tertarik sama cowok itu sama sekali, just not close. Monika cuman salah paham,” jelas Syela tanpa diminta. “Why don't you explain?” “Udah, Kak. Tapi Monikanya gak percaya, dia malah makin marah sambil ngatain aku anak haram segala.” “Bocah banget!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD