1

1061 Words
    Getaran tanah semakin terasa di hutan perbatasan. Dua pasang kaki berlari cepat menyusuri jalan setapak. Kesiur angin menggerakkan dedaunan.     “Di sana!” teriak salah seorang di antaranya, Franklyn. Dia juga menunjuk pada sebuah benda yang tertancap di batang pohon.     “Cepat!” sahut sosok yang satunya.     Keduanya berhenti tepat pada sebuah pohon berdaun rimbun. Batangnya sama besar dengan pelukan orang dewasa.     “Ini melukainya, Bertnard.” Franklyn mencabut anak panah yang semula tertancap pada batang pohon, kemudian menunjukkannya pada Bertnard.     “Ulah manusia,” ucap keduanya bersamaan.     “Makhluk lemah,” komentar Bertnard.     Dua laki-laki dari ras Dryad tersebut mendudukkan diri di bawah pohon itu. Menyenderkan punggung pada pohon oak dengan kedua kaki di luruskan.     Bertnard menyugar rambut sepanjang telinga miliknya. “Kau tahu?”     “Bagaimana aku bisa tahu jika tidak kau beri tahu?” sahut Franklyn.     “Manusia adalah makhluk lemah.”     Lawan bicara Bertnard mendongakkan kepala. “Kau sudah menyebut demikian sebelumnya,” desis Franklyn.     “Jika saja dulu manusia tetap tidak diperbolehkan tinggal di sini. Pastinya tidak akan ada panah yang mengenai para pohon di tempat ini.”     “Mereka ras pintar.”     Franklyn bangun dari duduknya. Lalu memandang sepanjang hutan.     “Jadi apa jika kedua ras dicampur?”     Tak ada sahutan dari Bertnard. Kedua laki-laki berparas tampan tersebut melanjutkan penelusuran yang sempat tertunda.     Gemericik air sungai terdengar tidak jauh dari tempat mereka berada saat ini. Dengan sepasang kaki panjangnya, kedua warga ras Dryad tersebut mengikuti arah suara. Langkah mereka penuh kehati-hatian. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara.     “Shhht.” Bertnard meletakkan jari telunjuk kanannya di depan mulut, kemudian ia menggerakkan bibir tanpa suara menyebutkan, “Huldra.”     “Tidakkah kau berhenti membicarakan dan mengintip ras itu?” ucap Franklyn. Keduanya telah sampai di tepi sungai. Bertnard menarik Franklyn yang hendak menceburkan diri dalam beningnya air sungai. Mau tak mau, ras Dryad yang memakai baju berbahan daun tersebut mengikuti temannya.     Posisi mereka yang berada di balik batu besar tentunya memudahkan Bertnard mengintip para Huldra yang sedang bermain air. Lain halnya dengan Franklyn yang menyenderkan diri pada batu tersebut.     “Mereka selalu cantik.” Mata bertnard seolah tak pernah salah. Terlebih ketika menilai makhluk bernama perempuan. Dia dengan canggihnya dapat mengetahui mana cantik dan mana yang tidak menarik.     Bibir Bertnard terbuka. Tangannya saling menggosok. “Ekor mereka terlalu indah untuk dilewatkan.”     Franklyn berdecih. “Bukankah jelas mereka tidak melirikmu.” Setelah berkata demikian, dia berjalan menjauhi sungai. Kaki jenjang itu terus melangkah dengan sebelah tangan memegang bagian atas dari bawahan pakaiannya.     Bertnard kembali menyugar rambutnya. Dia kemudian meraih akar gantung yang ada di dekatnya lalu ia panjat.     “Cepat. Sinar jingga mulai muncul.” Bertnard bergelantungan dari akar satu ke akar yang lain. Meninggalkan Franklyn yang mulai menyusul.     Dalam perjalanan menuju ruamh itu, sesekali mereka melihat matahari yang mulai tak terlihat. Menyisakan bayangan yang kian memanjang dan menghilang.     “Tak bisakah kita memiliki seseorang dari ras manusia?” tanya Franklyn yang hanya disambut tawa oleh sahabatnya.     “Jangan bodoh!” Lalu tanpa berbicara lagi, keduanya melanjutkan perjalanan. Selalu seperti itu. Keduanya tak pernah benar-benar membahas sesuatu yang penting selain kelangsungan hidup para Dryad dan pepohonan di hutan ini. ~~~     Suara mirip peluit yang terdengar dari seorang adis berambut hitam legam mengisi sunyinya senja diikuti langkah-langkah sibk dari hewan ternah yang ia gembalakan. Kemudian ia bertepuk tangan dengan irama konstan lima kali tepukan.     Pintu kandang di samping tempatnya berdiri sudah terbuka lebar siap menyambut penghuninya. Terlihat di dalamnya ada seorang pemuda dengan baju khas penggembala dan topi sedang menyusun makanan untuk domba-dombanya.     “Masuklah domba-domba manis,” ucap gadis tersebut yang di sambut suara embikan dari ternaknya. “Kalian lengkap hari ini.” Ia tersenyum lebar kala lebih dari dua puluh domba telah masuk dalam kandang.     “Kau tidak lelah, Cressentia?” tanya pemuda tadi seraya menutup pintu kandang. Dia sedikit menunduk guna membersihkan pakan ternak yang menempel pada bajunya. “Kau harus melakukan ini setiap harinya nanti.”     Gadis itu, Cressentia, tersenyum kembali. Kali ini lebih lebar. “Itu janji kita saat memutuskan untuk bertunangan.” Dia menengadah menatap lawan bicaranya. Tangan kanannya bergerak mengelus sebuah cincin yang melingkari jari manis tangan kirinya.     Dia menepuk pelan puncak kepala Cressentia membuat si empu tersipu. “Esok biarkan Ignes yang mengurus domba-domba itu,” ucapnya.     “Lalu kemana kita akan pergi, Bendict?”     “Berburu kelinci?”     “Tidakkah terlalu berbahaya mendekati hutan itu?” tanya Cressentia seraya mengajukan banding. Dia menatap tepat pada manik pemuda di depannya. “Kemarin Joy pulang dengan keadaan memprihatinkan. Dia tidak waras ketika ditemukan di pinggir hutan.”     Bendict mengulas senyum. “Itu karena kesalahan dia sendiri, Cressentia.” Kedua tangannya tergerak untuk mengelus pipi gadis itu. “Jika kita tidak membuat masalah. Hal itu tidak akan terjadi pada kita,” ucapnya dengan lugas.     “Kita tetap akan berangkat?”     Tanpa menjawab, pemuda itu menarik tangan kanan Cressentia dengan lembut. “Apa menu makan malam kita?”     “Bendict?”     Langkah keduanya berhenti tepat di depan pintu rumah. Bendict menatap Cressentia intens. “Percayalah padaku, Cres!” dia membuka pintu rumah, lalu kenbali menarik Cressentia bersamanya. “Kau harus memberiku makan sebelum aku mengantarmu pulang,” katanya tepat sebelum pintu rumah ia tutup.      “Apakah akan baik-baik saja jika kita memasuki hutan itu?”     Bendict menarik kursi sedikit ke belakang sebelum ia duduki. Dia meraik sebuah gelas dan teko, lalu menuangkan air putih hingga penuh. “Apa yang membuatmu begitu khawatir?” Laki-laki itu kemudian minum dengan rakus. Jakunnya bergerak naik turun dengan cepat seiring tegukannya.     “Itu daerah terlarang.”     Pemuda itu menyelesaikan minumnya. Dia menatap Cressentia yang berdiri membelakanginya. “Kita tidak akan menyentuh daerah itu. Bukankah kita sering membahas hal ini ketika kita hendak berburu?”     Cressentia menghentikan gerakan tangannya yang semula sibuk memotong sayuran. Dia membalikkan badan untuk menatap tunangannya. “Tapi, Ben....”     “Tapi apa!” sentak Ben. Ia mengetatkan rahang. “Aku tidak suka jika kita selalu berdebat dengan topik bahasan yang sama, Cressentia.” Bendict sengaja menekankan suaranya ketika menyebut sang tunangan.     Deritan kursi disusul Bendict yang berdiri dan melenggang menuju kamar mandi cukup untuk membuat Cressentia kehabisan kata-kata. Dia selalu kalah berdebat dengan laki-laki yang berstatus tunangannya tersebut.     “Selesaikan masakanmu sebelum aku selesai mandi!”     Ia memijat pangkal hidungnya baru kemudian melanjutkan acara memasak yang sempat tertunda. Bendict dengan sikap keras kepalanya selalu membuat Cressentia pening. Tidak suka dibantah apalagi didebat. Itulah karakter dari laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.     “Jangan melamun, Cressentia!” teriak Bendict dari dalam kamar mandi. Kemudian suara guyuran air mulai terdengar.     Cepat-cepat Cressentia menyelesaikan masakannya. Ia tidak ingin melewati waktu petang ini dengan sentakan-sentakan dari Bendict.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD