1. Takut Suntik

1266 Words
Mobil dokter muda nan tampan yang bernama lengkap Ardhito Suhendra itu tiba di sebuah rumah sakit swasta tempatnya bekerja sebagai seorang tenaga medis, pria itu langsung turun dari mobilnya. Ia membukakan pintu untuk wanita yang ia tolong itu, beruntunglah karena wanita itu tidak menangis lagi. Sebenarnya Ardhito begitu benci mendengar suara tangis, tetapi ia tidak mungkin memarahi orang yang baru pertama kali ia kenal. Apalagi wanita itu tengah terluka dan lukanya memang harus dijahit, Ardhito mengajak Angger memasuki area rumah sakit itu. Banyak pasang mata yang menatap ke arahnya dan Angger dengan tatapan penasaran, seakan bertanya-tanya siapakah wanita yang dibawa oleh sang dokter tampan? Maklum saja kalau banyak orang yang terheran-heran dengan hal itu, mereka melihat jas kesayangan sang dokter tampan itu berada di lengan wanita yang tak mereka ketahui siapa namanya. Mereka terheran-heran karena tak biasanya Ardhito mengizinkan orang lain menyentuh jasnya, kini yang terlihat malah Ardhito nampak panik dengan keadaan wanita itu. Orang-orang yang melihatnya pun jadi bertanya-tanya, apakah Ardhito Suhendra kini sudah memiliki kekasih? Ardhito mengabaikan tatapan penuh penasaran dari banyaknya orang, fokusnya kini adalah Angger. Wanita di sampingnya ini butuh diobati atau ia akan pingsan karena kehabisan banyak darah, meskipun sudah dibalut dengan jasnya nyatanya masih ada darah yang merembes. "Suster!" panggil Ardhito pada seorang suster yang lewat. "Iya, Dok?" Suster itu sudah tersenyum karena Ardhito memanggilnya, tetapi senyumnya luntur ketika melihat Ardhito datang dengan seorang wanita. "Tolong berikan wanita ini obat bius, bersihkan lukanya dan sepertinya lukanya perlu dijahit. Apakah suster bisa melakukannya?" tanya Ardhito. "Tentu saja bisa, Dok." Ardhito mendesah lega mendengarnya. "Kamu jangan takut ya? Suster ini akan mengobati kamu, saya harus pergi karena sepertinya banyak pasien yang menunggu saya. Sus, urus dia untuk saya ya? Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya." Ardhito tersenyum sekilas ke arah Angger kemudian pergi meninggalkan dua wanita itu. Angger mendesah kecewa, ia pikir Ardhito yang akan mengobatinya. Nyatanya yang akan mengobatinya malah seorang suster, gagal deh dirinya berlama-lama menatap wajah tampan Ardhito. "Ayo, kita masuk." Suster itu menuntun Angger memasuki sebuah ruangan. "Kamu ini ada hubungan apa dengan Dokter Ardhito?" tanya Suster itu sambil menuangkan cairan bius ke dalam suntikan. "Hubungan? Kami tidak ada hubungan apa-apa, saya tadi kecelakaan dan kebetulan sekali dokter itu menolong saya." Suster yang bernama Wulan itu mengangguk-angguk. "Aneh sekali, tidak biasanya dokter membiarkan jasnya disentuh oleh orang lain." Wulan bergumam pelan, hal itu masih dapat didengar oleh Angger. Angger menatap jas yang berada di lengannya sesekali tersenyum, benarkah apa yang suster itu katakan? Ia jadi tersanjung. "Tahan sedikit ya? Mungkin ini akan sedikit sakit, sakitnya cuma seperti digigit semut kok." Wulan akan mendekatkan jarum suntik itu ke dekat lengan Angger, Angger melotot. Seketika tubuhnya merinding, ia langsung beringsut mundur. "Loh? Kenapa mundur?" tanya Wulan bingung. "Ehem ... bisa tidak kalau luka ini diobati tanpa suntikan itu?" pinta Angger dengan tatapan ngeri ke arah jarum suntik yang tengah Wulan pegang. "Mana bisa begitu? Kemungkinan besar luka yang kamu alami lumayan parah, saya harus memberikan obat bius sebelum membersihkan luka kamu dan mengobatinya. Butuh beberapa jahitan sepertinya," balas Wulan agak sedikit merasa aneh dengan pasien ini. Masa iya sudah besar begitu takut dengan jarum suntik? Angger langsung bergidik ngeri ketika mendengar perkataan suster itu, ia membayangkan betapa menyakitkannya ketika lengannya di jahit. 'Jangan dibayangkan, Angger, itu akan membuat kamu semakin merinding takut.' Angger membatin dalam hati, antara takut dan berusaha menguatkan hatinya. "Kamu takut jarum suntik ya?" Tanpa ragu dan perlu bergengsi pun Angger langsung mengangguk, ia memang takut jarum suntik. "Masa iya sama jarum suntik aja takut? Anak kecil zaman sekarang aja enggak takut lagi sama jarum suntik," sambung Wulan mencoba memacu keberanian Angger agar mau disuntik. Bisa bahaya kalau ia tidak bisa mengatasi masalah sekecil ini, nanti kalau ia kena marah Dokter Ardhito bagaimana? "Enggak apa-apa saya kalah dari anak kecil, asal saya enggak jadi disuntik. Saya benar-benar takut, Sus. Saya punya trauma sama jarum suntik, saya enggak mau disuntik. Jangan suntik saya ya, Sus?" Angger menatap Wulan dengan tatapan memohon, Wulan sebenarnya tak tega melihat itu. Namun, ini adalah tugasnya dan diminta langsung oleh Dokter Ardhito. Bagaimana mungkin ia mengabaikan tugas ini? "Terus kalau tidak diberi obat bius, saya mengobati kamu bagaimana caranya? dibius enggak sesakit saat tangan kamu terluka kok." Wulan kembali membujuk Angger, tetapi wanita itu menggeleng keras. Ia tetap tidak mau disuntik. "Enggak diobati juga enggak apa-apa kok, Sus. Saya 'kan awalnya memang mau mati." TUKK! Suntikan yang berada di tangan Wulan langsung terjatuh begitu mendengar perkataan Angger, Wulan menatap Angger horor. "Saya tadinya mau bunuh diri, pacar saya selingkuh. Padahal kami udah pacaran lama banget, tega-teganya dia khianatin saya. Padahal saya cinta banget sama dia, terus saya ada niat bunuh diri enggak taunya saya malah masih selamat dan ketemu si dokter tadi." Ini kenapa jadi sesi curhat begini ya? pikir Wulan merasa bingung dengan keadaan saat ini. "Luka kamu harus diobati, kalau tidak diobati kamu benar-benar akan mati. Saya tidak mau menjadi tersangkanya, lagian memangnya kamu siap mati? Di kuburan sendirian, tidak punya teman, belum lagi kalau dosanya banyak kena siksa kubur. Katanya sih kalau mati karena bunuh diri bisa langsung masuk neraka, surga tidak menerima orang-orang yang mati karena bunuh diri." Mata Angger langsung membelalak, jadi kalau ia mati ia akan sendirian, disiksa dan masuk neraka? Mengapa seram sekali? "Kok Suster nakut-nakutin saya?" tanya Angger sambil bergidik. "Saya enggak nakut-nakutin, karena kenyataannya memang begitu. Jadi, masih yakin ingin mati? Serem loh sendirian di kuburan." Lagi, Wulan kembali menakuti. "Saya enggak mau mati, obati saya, Sus." Wulan tersenyum, bukan hal yang sulit bagi Wulan untuk membujuk pasiennya. Ia sudah terbiasa menghadapi pasien seperti Angger ini. "Nah, kalau begitu disuntik bius dulu ya?" Namun, begitu ia mendekat, Angger langsung mundur sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak usah, Sus. Langsung diobati saja, enggak perlu dibius." Wulan menghela napas, ia menarik kembali kata-katanya kalau ia terbiasa menghadapi pasien seperti Angger. Ia tidak terbiasa dan tidak sanggup, Angger terlalu keras kepala sebagai seorang pasien. "Dibius dikit aja ya? Harus berani, jangan takut." Wulan kembali membujuk, perlahan-lahan ia mendekati Angger. Ia langsung menahan Angger yang akan turun dari brankar, ia memegangi lengan Angger yang berontak. BRUKK "A-aduh!" Wulan terjatuh ketika Angger mendorong tubuhnya kuat-kuat dengan tangannya yang tidak terluka. "M-maaf, Sus." Angger menatap Wulan penuh sesal. "Enggak apa-apa, saya enggak apa-apa kok." Wulan tersenyum masam ketika melihat Angger. "Jadi kamu ini maunya apa? Tadi katanya mau diobati tapi tidak mau disuntik, saya harus apa? Saya juga banyak pekerjaan yang harus diurus. Mohon kerjasamanya ya?" Perkataan itu memang begitu sopan dan lembut, tetapi terselip nada kesal karena Angger yang mempersulit dirinya. "Saya juga bingung, Sus. Maafin saya," ucap Angger penuh sesal. Angger juga bingung dengan dirinya sendiri, ia ingin sembuh tetapi ia takut jarum suntik. Jadi bagaimana ini? Ia tidak mau mati muda, ia tidak jadi ingin mati karena ternyata mati itu menyeramkan apalagi karena bunuh diri. Kalau saja dulu tidak ada kejadian yang membuatnya trauma pada jarum suntik, sudah dari tadi ia mempersilakan suster itu menyuntikkan obat bius padanya. Ia kembali menatap lengannya yang terluka, ia meringis karena rasa sakit itu semakin terasa. Benar apa yang dikatakan suster, ia harus segera diobati. "Sepertinya saya harus memanggil Dokter Ardhito, kamu tunggu sini saja. Jangan ke mana-mana, saya akan segera kembali." Tanpa kata, suster itu keluar. Ia akan memanggil Ardhito karena sepertinya yang bisa mengobati Angger adalah Ardhito, mengingat tadi wanita itu terlihat begitu anteng berada di samping Ardhito. Ada saja model pasien zaman sekarang, kadang kalau ia tidak ingat kalau ia butuh pekerja ini mungkin saja ia lebih memilih keluar. Semoga saja setelah ini tidak ada pasien keras kepala seperti Angger yang menyusahkannya dengan alasan dia yang takut jarum suntik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD