Gretha menatap langit mendung itu beberapa saat. Hujan saat ini sudah turun, beruntung dia membawa sebuah payung.
Baru saja dia mengembangkan payung dan berniat bergerak. Perhatian Gretha terhenti ketika melihat seorang anak laki-laki berdiri di tepian gedung sambil menatap datar hujan lebat tersebut.
Gretha menatap payung di tangannya. Gadis muda itu tersenyum, dan bergerak mendekat ke arah si anak laki-laki.
“Hai.”
Suara Gretha begitu lembut menyapanya.
Perlahan anak laki-laki itu menoleh dan menatap Gretha dengan wajah datarnya. Gretha tersenyum manis.
“Ini untuk kamu. Pakai saja, ingin aku antar ke halte bus? Atau kamu dijemput seseorang?” tanya Gretha.
Anak kecil itu tak menyahut, tetapi dia menunjuk ke ujung sana.
“Ah, kamu akan ke sana? Pakailah payung ini, hujan makin lebat.”
“Grethaa!”
Suara seseorang memanggil nama Gretha menarik perhatian. Gretha langsung berdiri.
“Iya iya! Aku ke sana sekarang!” teriak Gretha.
Perempuan itu menunduk dan menatap anak laki-laki di sampingnya. Gretha tersenyum, kemudian mengambil setangkai bunga lili putih yang ada di keranjangnya.
“Ini buat kamu.” Gretha memberikan setangkai bunga lili putih tersebut kepada anak laki-laki itu.
Setelah bunga tersebut berpindah tangan, Gretha kembali tersenyum. Dia mengusap pelan puncak kepala si anak, sebelum akhirnya dia berlari menerjang hujan lebat.
Mendungnya di kota itu pada siang ini nampaknya menyeluruh sampai ke pelosok sekalipun. Kini seorang pria bertubuh kekar sedang memperhatikan pasukan air itu menyerbu bumi dari dinding kaca mansion mewahnya.
“Daddy.”
Suara seseorang mengalihkan perhatian Kendrick. Dia tersenyum kepada Kyler, anak laki-lakinya.
“Hei, Boy. Kamu sudah pulang. Bagaimana sekolahmu hari ini?”
“Aku ingin seseorang.”
Kening Kendrick berkerut. “Seseorang?”
Kyler menyodorkan setangkai bunga lili putih kepada ayahnya. Kendrick menatap bunga lili itu dengan wajah tak paham.
“Kamu memberi Daddy bunga?”
“No. Aku ingin mencari orang yang memberikan aku bunga itu. Aku ingin dia menjadi teman mainku.”
Kendrick memiringkan kepalanya menatap sang putra. Dia cukup merasa terkejut, mengingat karakter Kyler sangat tertutup dan terbilang introvert.
“Seperti apa ciri-cirinya?” tanya Kendrick.
“Dia cantik dan baik, suaranya lemah lembut. Aku ingin bermain dengannya.”
“Ah, perempuan,” batin Kendrick. “Dia teman sekolahmu?” tanya Kendrick lagi.
“No. Dia sudah besar, mungkin sudah kuliah.”
Kening Kendrick berkerut. “Kamu bertemu dengannya di mana?”
“Di sekolah, dia sering ke sekolah mengantar bunga.”
“Baiklah, Daddy akan carikan dia dan akan membuatnya menjadi teman bermainmu.” Kendrick berdiri dan menyuruh bawahannya mencari tahu si pengantar buka ke TK sang putra.
Berada di belahan lain, masih di kota yang sama. Sekarang Gretha sedang bernyanyi sembari membersihkan setiap bunga yang ada pada toko bunga tersebut.
Seperti itu setiap harinya, Gretha memang gadis yang ceria. Meski hidupnya terbilang menyedihkan, pedih tanpa adanya kedua orang tua, dia sebatangkara.
“Gretha.”
“Iya, Bibi?” Gretha langsung mendekat ke arah Hela, si pemilik toko bunga.
“Kamu antar ini, ya. Pakai ini, jangan hujan-hujanan lagi, kamu bisa sakit.” Hela memberikan sebuket bunga dan payung kepada Gretha.
Gadis kecil itu terkekeh polos. “Iya, Bibi. Aku akan segera antarkan. Alamatnya tidak jauh ternyata, ya.”
“Iya, bisa jalan kaki.”
Tak pernah Gretha mengeluhkan kehidupannya. Dia selalu menikmati setiap alur cerita hidupnya sejuah ini.
Karakter Gretha yang seperti itu ‘lah membuat Hela, menjadi suka. Gretha sudah bekerja bersamanya sedari dia berumur sepuluh tahun.
Ketika ibu Gretha pergi untuk selamanya delapan tahun lalu. Hela menyuruh Gretha tinggal di toko bunga, sehingga Gretha pun sudah menganggap Hela sebagai ibu pengganti bagi dirinya.
“Ah, meski hujan tak selebat tadi, tapi ini masih sangat mendung, ya. Padahal sekarang sudah siang, tapi serasa masih pagi hari atau bahkan seakan hampir senja.” Gretha menatap sekitar dengan wajah cerianya.
Sedang asik berjalan, Gretha terkejut ketika sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya. Hanya beberapa menit, tiba-tiba beberapa pria bertubuh kekar keluar dari mobil dan menarik paksa tubuh Gretha.
“Eh eh, ada apa ini. Tolooong!”
“Jangan berontak dan ikut jika tidak ingin kami sakiti.”
Gretha didorong masuk mobil dengan paksa. Perempuan itu merasa takut, dalam mobil semuanya pria bertubuh kekar.
“A-apa yang ingin kalian lakukan? Apa salah saya? Tolong, saya bukan anak orang kaya. Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menculik saya seperti ini. Tolong tuan-tuan, keluarkan saya,” pinta Gretha dengan wajah pucat ketakutan.
“Diamlah.”
Greta bungkam, dia tak tahu harus bagaimana. Rasa takutnya seakan berada di ubun-ubun, begitu takut.
Gretha memperhatikan jalanan dengan wajah takutnya. Padahal di luar san sedang hujan lebat, tetapi Gretha mulai berkeringat dingin.
Semakin lama, perjalanan mereka membuat Gretha bingung. Apalagi ketika mobil itu mulai mamasuki halaman mansion yang begitu megah.
“Kenapa mereka membawaku ke sini? Apa ini istana? Ah, apa mereka sedang mencari karyawan?” Gretha bertanya-tanya di dalam hati.
“Turun!”
Gretha dibawa keluar dan dikawal masuk ke dalam mansion mewah tersebut. Mulut Gretha ternganga memperhatikan bangunan itu benar-benar tak ada bedanya dengan istana.
“Ini benar-benar istana,” gumam Gretha dengan polosnya.
“Masuk!”
Gretha terkejut ketika tiba-tiba dirinya didorong masuk ke dalam sebuah ruangan. Gretha terkejut, dia berniat bertanya, tetapi pintu sudah lebih dulu tertutup.
“Tuan! Tuan!” Gretha memanggil sambil mengetuk pintu dari dalam ruangan itu. “Tolong buka pintunya, saya tidak tahu, untuk apa saya di sini? Tuaan, tolonglah.”
“Berisik.”
“Astaga.” Gretha terlonjak saat tiba-tiba suara berat seseorang mengalun dari dalam ruangan yang sama.
Perlahan Gretha membalikkan tubuh dan membelakangi pintu. Perempuan itu meneguk ludahnya kasar ketika melihat seorang pria di ujung sana sedang duduk di atas sebuah kursi kerja.
Melihat dari tatanan ruangan, sepertinya itu adalah ruangan kerja pribadi.
“Mendekat!”
“H-hah?” Gretha tak paham dengan kalimat pria di depan sana.
“Kau tuli? Mendekat ke sini!”
“B-baik, Tuan.” Gretha langsung bergerak mendekat ke arah si penyuruh.
Kendrick, dia menatap Gretha dari atas sampai ke bawah dengan mata tajamnya. Pria itu menilai penampilan gadis kecil tersebut.
“Hem, dia benar masih kecil. Harusnya masih dua puluh tahun. Tak ada yang menarik, tapi kenapa Kyler menyukainya untuk menjadi teman?” Kendrick berbicara di dalam hati.
Gretha sendiri masih diam, tubuhnya kaku. Kepalanya tertunduk, tak berani menatap pria dihadapannya.
“Namamu?”
“Nama saya Gretha Carissa, Tuan.”
“Mulai sekarang kau bekerja di sini, sebagai babysitter putra saya.”
Gretha terkejut, dia langsung mengangkat kepalanya dan menatap si lawan bicara. Gretha terkejut saat melihat bola mata coklat milik Kendrick, mata pria di hadapannya juga begitu tajam, ada pesona tersendiri yang tak dapat dielakkan.
Gretha kembali menunduk. “Tapi saya tidak merasa melamar pekerjaan, Tuan. Saya juga sudah memiliki pekerjaan. Say ....”
“Kalimat saya tadi adalah perintah, bukan hanya sekedar pemberitahuan,” sela Kendrick.
Gretha kembali mengangkat kepalanya. “K-kenapa begitu, Tuan? Saya tidak bisa bekerja di sini karena saya sudah memiliki pekerjaan lain. Saya minta maaf, tapi saya harus kembali.
Kendrick tersenyum miring. “Silakan kembali, sebelum kau sampai ke toko bunga itu, saya jamin, toko bunga itu sudah rata dengan tanah.”
Deg ...