Derita hidup

2908 Words
Geo dan Hito sudah selesai meeting, semua karyawan sudah tau kalau Hito adalah pegawai baru perusahaan itu. “Geo, lo udah bilang sama bokap lo, kalau gue kerja disini?” “Hem, lo tenang aja, bokap gue udah setuju kok. Lagian kalau gue jadi buka perusahaan sendiri, lo sama Vian akan ikut gue.” “Emang bokap lo gak masalah kalau Vian ikut lo?” “Gak, Vian itu gue yang rekrut. Papa udah punya asisten pribadi dan sekretaris sendiri. Lo kan tau, gue kerja disini buat belajar binis, sebelum gue mandiri nanti.” “Bener juga sih, lo kan selama ini gak pernah kerja, mana lo dulu bergelimang harta, mau ini itu tinggal minta nyokap lo pasti semua kebeli. Anak sultan gitu loh,” sindir Hito saat mengingat bagaimana kehidupan Geo dulu sebelum perusahaan sang papa bangkrut. “Tapi gue bukan Geo yang dulu lagi. Gue sekarang tau bagaimana susahnya cari duit. Gue serius mau bantu bokap nyokap gue agar bisa bangkit lagi.” “Lo tenang aja, gue akan dukung lo.” Geo menepuk bahu Hito yang duduk di sampingnya. “Gue akan ngandelin lo mulai sekarang.” “Siap, gue gak akan ngecewain lo.” Geo tiba-tiba teringat dengan apa yang tadi Hito katakan sebelum meeting. “Oya, lo belum bilang sama gue, semalem lo tidur dimana?” “Rumah Celin.” Kedua mata Geo membulat dengan sempurna. “Hah! Rumah Celin! Lo serius!” “Hem.” “Bagaimana bisa? emangnya nyokap bokapnya ngebolehin lo tidur disana?” “Gue juga gak tau gimana gue ada disana, mungkin gue emang minta teman Franky buat nganter gue ke rumah Celin. Saat gue bangun, gue berada di kamar yang asing, tapi saat gue keluar dari kamar itu, gue baru tau kalau itu rumah Celin.” “Kedua orang tua Celin gak ada saat gue bangun. Mungkin lagi di rumah kerabatnya,” lanjut Hito lagi. “Terus sikap Celin ke elo gimana? Apa masih kayak dulu?” Geo tau, kalau dulu Celin dan Hito sangat dekat, tapi entah karena masalah apa, Celin mulai menjauhi Hito dan menolak cinta sahabatnya itu. “Hem, gue juga gak tau apa salah gue sama dia. Tapi, tadi Celin bilang soal kekasih-kekasih gue gitu. Apa jangan-jangan Celin tau soal gue sama Hanin?” “Emang lo sama Hanin udah selama itu?” “Hem, semenjak masih kuliah.” “Buset dah! Ternyata lo b******k juga ya. Tapi yang bikin gue penasaran, kenapa Hanin mau lo gituin?” “Karena dia cinta sama gue, tapi gue gak cinta.” “Awas lo, To. Sekarang lo bilang gak cinta, tapi siapa tau nanti giliran lo yang cinta mati sama Hanin dan gak mau kehilangan dia.” Hito tergelak. “Gue gak mungkin jatuh cinta sama Hanin, lo tau siapa yang gue cintai.” “Tapi Celin nolak lo.” “Kan gue kemarin bilang sama lo, kita gak akan tau masa depan, karena mulai hari ini, gue mau ngejar Celin lagi,” ucap Hito sambil menyunggingkan senyumannya. Geo melihat jam di pergelangan tangannya. “Mau makan siang dimana nih?” “Terserah lo aja. Tapi lo yang traktir kan?” “Ck, mau ngejar cewek tapi makan aja minta dibayarin. Dasar!” Hito terkekeh. “Setelah gue dapat gaji dari lo, gue akan belikan hadiah buat Celin.” “Serah lo dah!” Geo lalu beranjak dari duduknya, melangkah keluar dari ruangannya. Hito bergegas menyusul Geo. “Lo gak ajak bokap lo makan sekalian?” Kini mereka tengah berjalan menuju lift. “Bokap gue palingan pulang ke rumah, kalau enggak nyokap gue datang kesini buat anterin makan siang bokap gue.” Pintu lift terbuka, mereka melangkah masuk ke dalam lift. “Kok lo gak minta bawain sekalian?” “Emangnya gue udah gila? ya kali gue udah nikah masih minta makan sama nyokap gue. Yang ada entar nyokap bokap gue curiga sama gue.” “Betul juga sih, susah ya jadi lo, udah bini gak perhatian sama suami, mau jujur sama orang tua juga gak bisa.” “Gue bisa jalani semua ini, asal Siren gak mengganggu keluarga gue.” Pintu lift terbuka di basement, mereka lalu melangkah keluar dari lift, lalu berjalan menuju mobil Geo. Mereka lalu masuk ke dalam mobil. Geo melajukan mobilnya keluar dari basement kantor sang papa. “To, lo ingat sama pelayan club yang semalam gak?” “Yang mana?” “Yang Jasson sewa buat gue.” “O ... yang itu. Kenapa? emangnya lo semalam beneran ngajak dia ngamar?” “Gak. Gue malah ditampar sama dia karena nyium paksa dia.” Hito tergelak mendengar cerita sahabatnya itu. “Serius lo! Astaga! berani juga dia nampar lo.” “Sialan itu cewek, gue kan niatnya mau bantuin dia, e ... malam kena tampar. Lo kan tau kalau mabuk gue gak bisa kendalikan pikiran gue.” “Lo juga kenapa masih sosor aja. Lo yakin itu cewek bersih?” Geo mengedikkan kedua bahunya, karena dirinya juga tak tau tentang pelayan itu yang masih bersih atau pernah dipakai oleh pengunjung club itu. Sesampainya di restoran, Geo memesan makanan dan minuman untuk dirinya dan juga Hito. “Gue ke toilet sebentar,” ucap Geo lalu beranjak dari duduknya, melangkah pergi meninggalkan Hito. Sesampainya di depan toilet, ia berpapasan dengan Nicholas. Tapi Geo tak tau tentang Nicholas, begitu juga dengan Nicholas, karena dia juga tak tau wajah Geo, karena dia juga belum pernah bertemu dengan Geo. Setelah selesai, Geo melangkah menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Setelah itu, ia melangkah keluar dari toilet itu. Tapi, saat ingin menghampiri Hito, Geo melihat Leta yang berada di luar restoran itu. “Ngapain dia disana?” Geo pun melangkah keluar dari restoran itu untuk menghampiri Leta. “Ngapain lo disini?” Leta yang ditegur oleh Geo pun terkejut. “Kamu!” serunya dengan kedua mata membola. “Kamu ngikutin aku ya!” “Ngapain gue ngikutin lo? Kurang kerjaan.” Leta melangkah mundur. “Jangan macam-macam ya, kalau kamu macam-macam, aku akan teriak!” ancamnya yang sudah mulai ketakutan. Apalagi saat mengingat kejadian semalam, dimana semalam Geo menciumnya dengan paksa. “Ck, gue gak mau ngapa-ngapain lo. Gue gak sengaja lihat lo, makanya gue samperin.” “Kita gak saling kenal, jadi lebih baik kamu pergi.” “Kalau gitu kita kenalan dulu,” ucap Geo lalu mengulurkan tangan kanannya. Tapi Leta tak langsung menjabat tangan Geo, karena ia juga tak ingin berkenalan dengan pria yang sering datang ke club malam tempatnya bekerja. “Ck, lo gak mau kenalan sama gue?” Leta melihat taksi yang melintas. Ia lalu menghentikan taksi itu, lalu masuk ke dalam taksi. “Sialan! Gue dicuekin! Emangnya tampang gue tampang kriminal apa, sampai dia setakut itu sama gue?” Sementara itu Hito yang menyaksikan interaksi Geo dan Leta tergelak, karena baru kali ini dirinya melihat sahabatnya ditolak di depan umum seperti itu. “Geo-Geo. Kenapa lo harus mempermalukan diri lo sendiri? apa karena Siren, lo mulai gila?” Hito melihat Geo yang kembali masuk ke dalam restoran dan melangkah ke arahnya. “Gimana? Sukses lo deketin itu cewek?” “Ck, siapa juga yang mau deketin dia. Gue itu cuma mau minta maaf, e ... malah dia nyuekin gue. Emang tampang gue tampang kriminal ya?” “Tampang lo emang mirip sih sama kriminal,” canda Hito lalu tertawa. “Sialan lo!” Sementara ini di tempat lain, Leta sudah sampai di rumahnya. Setelah membayar ongkos taksi, ia melangkah keluar dari taksi itu. Leta melangkah menuju pagar rumahnya, membukanya, lalu melangkah ke halaman rumahnya. Ia melihat sang ibu yang tengah duduk di kursi yang ada di teras depan. “Ibu ngapain duduk disini? Ibu kan lagi sakit.” “Ibu bosen di kamar terus. Makanya Ibu duduk disini. Ibu sudah agak enakkan, Ta. Jadi kamu jangan terlalu mencemaskan Ibu.” Leta mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di sebelah sang ibu. “Aku beli makanan buat Ibu, Ibu belum makan kan?” “Ta, maafin Ibu ya. Kamu harus kerja siang dan malam hanya untuk Ibu.” Leta mengulum senyum, lalu menggenggam tangan sang ibu. “Aku melakukan semua ini juga karena aku sayang sama Ibu, hanya Ibu yang aku miliki di dunia ini.” “Tapi kamu sampai dikeluarkan dari kampus gara-gara merawat Ibu.” “Aku gak apa kok, Bu. Kalau ada rejeki lebih, aku bisa kuliah lagi. Tapi sekarang yang lebih penting itu kesembuhan Ibu.” “Kamu memang anak baik. Ibu bangga punya kamu,” ucap Ibu Leta yang bernama Sinta. “Aku juga bersyukur lahir dari rahim, Ibu. Sekarang kita masuk, Ibu harus makan setelah itu minum obat.” “Tapi kamu gak akan balik kerja lagi kan?” Leta mengulum senyum. Ia sebenarnya juga tak tega meninggalkan ibunya sendirian. Tapi, dirinya tak punya pilihan lain, karena dirinya harus bekerja. Leta bekerja di sebuah toko dari pagi sampai sore, setelah itu ia lanjut kerja di club malam sampai jam 02.00 dini hari. Seandainya ayah Leta masih hidup, dirinya tak perlu banting tulang sendirian seperti ini hanya untuk membiayai pengobatan ibunya dan kebutuhan sehari-hari, apalagi sekarang semua kebutuhan sehari-hari semakin mahal harganya. “Setelah ini aku harus kembali bekerja, Bu. Maafkan aku ya, Bu, karena aku gak bisa temani Ibu. Tapi aku janji, aku akan pulang cepat hari ini.” Sinta hanya bisa menganggukkan kepalanya, karena dirinya juga tak ingin membebani putri semata wayangnya itu. Dirinya hanya tak tega melihat Leta yang begitu kelelahan setiap harinya. Tapi putrinya itu tak pernah mengeluh padanya selama ini. Leta lalu membantu ibunya untuk masuk ke dalam rumah, menyiapkan makanannya dan juga obat untuk sang ibu. Leta juga menemani ibunya makan, karena ia juga harus memastikan ibunya menghabiskan makanan yang disiapkannya. “Sekarang Ibu harus minum obat,” ucap Leta saat melihat sang ibu yang sudah selesai makan. Leta mengambil 3 butir obat yang berbeda dan segelas air minum, lalu diberikan kepada ibunya. Sinta mengambil 3 butir obat itu dari tangan Leta, lalu memasukkan ke dalam mulutnya sekaligus, setelah itu diteguknya air putih yang tadi diberikan oleh Leta. “Sekarang Ibu istirahat ya, aku akan antar Ibu ke kamar.” Leta lalu membantu ibunya ke kamar, karena ia tak mungkin meninggalkan sang ibu begitu saja. “Bu, aku kembali bekerja dulu ya. Kalau ada apa-apa Ibu telepon aku, aku akan usahakan untuk segera pulang.” “Hem, jaga diri kamu baik-baik ya, Ta. Maaf kalau Ibu belum bisa membuat kamu bahagia. Seharusnya Ibu yang mengurus kamu sampai kamu menikah, tapi malah kamu yang harus mengurus Ibu.” Sinta menggenggam tangan Leta. “Kapan kamu akan mengenalkan Ibu sama calon suami kamu? Ibu ingin sebelum Ibu meninggal, kamu sudah menikah, biar Ibu tenang nantinya.” “Bu, aku gak punya calon suami. Aku juga gak mau menikah. Aku masih ingin sama Ibu, merawat Ibu, jadi jangan bicara seperti itu lagi. Aku yakin, Ibu pasti sembuh.” Leta lalu mencium punggung tangan sang ibu. “Aku gak mau bahas itu lagi, Bu. Aku berangkat kerja dulu,” pamitnya lalu beranjak dari duduknya dan melangkah keluar dari kamar sang ibu. “Sial! Gara-gara cowok tadi, uang aku habis buat bayar ongkos taksi. Sekarang gimana aku pergi ke toko? Ya kali aku harus jalan kaki.” Leta melihat sebuah motor matic melaju ke arahnya. Ia mengenali siapa pengendara motor itu. “Len, berhenti!” Leta merentangkan kedua tangannya. Lena menghentikan motor maticnya tepat di depan Leta. “Ngapain kamu di pinggir jalan kayak gini? Bukannya kamu kerja?” “Hem, kamu mau anterin aku ke toko gak? Duit aku habis buat bayar ongkos taksi tadi.” “Ck, ngapain juga kamu gaya-gayaan naik taksi segala, udah tau ongkos taksi mahal.” “Nanti aku ceritain deh, sekarang yang penting kamu antar aku ke toko dulu. Aku gak mau sampai dipecat gara-gara aku terlambat balik ke toko.” “Yaudah ayo naik, kebetulan ada yang ingin aku omongin sama kamu.” Leta lalu naik ke motor Lena. “Pegangan, nanti jatuh lagi,” canda Lena lalu melajukan motor maticnya. “Apa yang ingin kamu bicarakan sama aku?” tanya Leta sambil mencondongkan wajahnya ke depan agar Lena mendengar apa yang dikatakannya. “Kamu masih ingat Ferdi kan? Cowok yang suka sama kamu.” “Hem. Terus apa hubungannya sama aku?” “Ternyata kedua orang tua mau jodohin aku sama dia. Gila kan?” “Hah! Serius!” kedua mata Leta membulat dengan sempurna. “Hem. Makanya aku pusing. Kalau aku menolak, kedua orang tua ku gak mau menganggap aku sebagai anaknya lagi.” “Ya kamu terima aja, lagian dia tajir lo.” “Kalau dia tajir, kenapa kamu nolak dia dulu?” “Ya ... karena aku gak cinta. Selain itu, kamu tau kan kondisi keluarga aku gimana. Ibu aku sakit-sakitan, aku gak mau merepotkan Ferdi.” “Tapi kamu pernah punya rasa sama dia kan?” Leta hanya diam. Sesampainya di toko, Lena masih mencerca Leta tentang perasaan Leta sama Ferdi. “Len, semua itu hanya masa lalu. Lagian aku yakin, perasaan Ferdi sudah berubah. Buktinya dia mau dijodohin sama kamu, padahal dia tau kalau kita berteman.” “Tapi kalau dia masih cinta sama kamu, apa kamu juga masih cinta sama dia?” Leta menggelengkan kepalanya, karena saat ini dirinya tak ingin menjalin hubungan dengan pria manapun, apalagi dirinya selama ini bekerja di club malam. Siapa juga pria yang mau dengan wanita yang bekerja di club malam seperti dirinya? Sementara ini Geo dan Hito sudah kembali ke kantor. Saat masuk ke dalam ruangan, Geo terkejut saat melihat sang papa dan papa mertuanya berada di dalam ruangannya. “Pa,” sapa Geo lalu mencium tangan sang mertua, lalu mendudukkan tubuhnya di sofa tunggal. “Ada apa Papa datang kesini?” tanyanya kemudian. “Karena kamu sudah datang, Papa pergi dulu.” Marco lalu beranjak dari duduknya, lalu melangkah keluar dari ruangan sang putra, karena ia tau ada hal penting yang ingin Roy bicarakan dengan putranya itu. “Gimana perkembangan hubungan kamu sama Siren?” “Baik, Pa.” Geo terpaksa berbohong, tapi memang sejak kemarin sikap Siren mulai berubah padanya, meskipun ada udang dibalik batu dari perubahan sikap Siren itu. “Kamu kenapa mengembalikan semua kartu kredit Siren? apa kamu pikir Papa gak tau tentang itu?” Geo menghela nafas panjang, ia juga tau kalau semuanya pasti akan diketahui oleh mertuanya itu. “Pa, aku juga gak mungkin melakukan itu sama Siren. Papa juga tau bagaimana kehidupan Siren selama ini. Aku ingin Siren mulai menerimaku sebagai suaminya, bukan malah semakin membenciku gara-gara masalah uang itu.” “Tapi dengan kamu mengembalikan semua itu pada Siren, dia gak akan bisa merubah sikap keras kepalanya itu.” “Soal itu Papa gak usah cemas, karena Siren sudah mulai berubah, Pa. Tadi pagi saja Siren mau menyiapkan sarapan buat aku, membawanya ke kamar pula, karena aku bangun kesiangan.” Dahi Roy mengernyitkan dahinya. “Memangnya Siren gak bangunin kamu?” “Aish! Sial, kenapa ini mulut asal ngomong sih!” umpat Geo dalam hati. “Bu-bukan gitu, Pa. Semalam kan aku tidur larut malam karena menyelesaikan pekerjaan aku, jadi mungkin Siren tak ingin mengganggu istirahat aku, makanya dia gak bangunin aku, gitu Pa,” ucap Geo sambil nyengir kuda. “Kamu gak lagi bohongi Papa kan?” “Mana berani aku bohong sama Papa, kalau Papa gak percaya, Papa bisa tanya sama Siren, kalau gak, Papa bisa tanya sama bibi, Siren memang sudah berubah, Pa.” Geo harus tetap menyakinkan mertuanya kalau hubungannya dengan Siren memang baik-baik saja. “Ok, Papa akan percaya sama kamu. Tapi kalau kamu ketahuan bohong, Papa gak akan segan-segan memblokir semua kartu kredit Siren, agar itu anak tau rasa.” Geo menelan ludah dengan susah payah, ia tak bisa membayangkan bagaimana hidup Siren tanpa uang sepeser pun. Dirinya memang bisa memberi Siren uang, karena itu memang kewajibannya sebagai seorang suami. Tapi, yang jadi pertanyaan disini, apakah Siren mau menerima uang darinya? apalagi gengsi istrinya itu sangatlah tinggi. Geo dan Roy mendengar suara pintu diketuk. “Masuk,” sahut Geo sambil menatap ke arah pintu. Pintu terbuka dengan perlahan, menampakkan sosok pria tinggi bertubuh kekar yang tak lain adalah Hito. “Maaf, apa saya mengganggu?” tanya Hito yang masih berdiri di depan pintu. “Masuklah.” Geo lalu menatap sang mertua. “Kenalkan, Pa. Dia Hito sahabat aku dan sekarang menjadi asisten pribadi aku.” Hito melangkah mendekati Roy, lalu menjabat tangannya. “Senang berkenalan sama Om,” ucapnya. Roy mengangguk. “Kalau begitu Papa pergi dulu, Papa juga gak mau mengganggu pekerjaan kamu,” ucapnya lalu beranjak dari duduknya. Geo lalu mengantar Roy sampai di depan pintu, karena setelah ini Roy ingin ke ruangan Marco yang ada di lantai 4 gedung itu. Geo kembali masuk ke dalam ruangannya, menghampiri Hito yang tengah duduk di sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya di samping Hito. Geo menghela nafas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. “Hampir aja gue keceplosan soal gue sama Siren yang pisah ranjang selama ini.” “Kenapa? mertua lo mulai curiga sama lo?” “Kayaknya. Sepertinya gue harus lebih hati-hati lagi.” “Kenapa lo gak bilang aja yang sejujurnya sama mertua lo itu tentang kelakukan putrinya yang sudah bersikap kurang ajar sama lo?” “Gue gak bisa, gue gak ingin membuat mertua gue kecewa, karena mertua gue menaruh harapan besar ke gue. Selain itu ....” “Karena hutang budi lo sama mertua lo itu kan?” tebak Hito yang langsung mendapat anggukkan kepala dari Geo. “Kalau begitu lo nikmati aja derita hidup lo!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD