Cinta mati

2878 Words
Geo membuka kedua matanya secara perlahan. “Ah! Kepala gue sakit banget!” pekiknya sambil memegang kepalanya. Geo mencoba untuk bangun, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran ranjang. “Dimana gue?” tanyanya pada diri sendiri, karena tak ada siapapun di dalam kamarnya. Sepertinya Geo tak ingat dengan kejadian semalam. Bahkan dirinya belum menyadari kalau saat ini dirinya berada di dalam kamarnya sendiri. Geo menatap sekeliling kamar itu, dan ternyata dirinya berada di dalam kamarnya sendiri. Masih bingung, ia pun kembali bertanya pada dirinya sendiri. “Siapa yang membawa gue pulang semalam? Seinget gue semalem gue pergi ke club sama Hito. Lalu ....” Geo terdiam, saat bayang-bayang dimana dirinya berdebat dengan Leta melintas di pikirannya. “Apa itu tadi? Kenapa gue bisa bersama dengan pelayan itu?” Geo masih memijat kedua pelipisnya, kepalanya terasa sangat pusing. Geo lalu mengambil segelas air putih yang ada di atas nangkas, lalu meneguknya sampai habis. Diletakkannya kembali gelas itu ke atas nangkas. Kembali terlintas kejadian semalam di pikiran Geo, dimana saat itu Geo tengah mencium paksa Leta di tempat yang sepi itu. “Aish! Sialan! Sebenarnya apa yang sudah terjadi semalam! Bayang-bayang apa tadi! Gak mungkin gue melakukan itu sama pelayan itu!” seru Geo dengan memukulkan kepalan tangannya ke ranjang. Geo mendengar suara pintu kamarnya mulai terbuka dengan perlahan. Dimana saat ini Siren yang sudah terlihat segar tengah melangkah masuk ke dalam kamarnya sambil membawa sarapan Geo. “Kamu sudah bangun?” Siren meletakkan nampan yang diatasnya ada sepiring makanan dan segelas air putih ke atas meja. “Siapa yang mengantarku pulang semalam?” Geo beranjak turun dari ranjang. “Kamu gak ingat apa yang terjadi semalam?” Dahi Geo mengernyit. “Memangnya apa yang terjadi semalam?” tanyanya penasaran. “Ya mana aku tau. Saat aku masuk kamu sudah ada di dalam kamar kamu. Aku paling benci sama pemabuk.” Geo menyunggingkan senyumannya. “Memangnya aku peduli, lagi pula kamu memang sejak awal sudah gak suka sama aku kan?” Geo lalu menatap sepiring makanan yang ada di atas meja. “Terima kasih untuk sarapannya, bisa kamu keluar dari kamarku sekarang? aku mau mandi,” ucapnya lalu melangkah menuju kamar mandi. “Ck, lagian siapa yang mau nungguin kamu disini, kurang kerjaan!” Siren lalu melangkah keluar dari kamar Geo sambil terus mengomel. Geo bisa mendengar semua yang tadi Siren katakan, karena dirinya belum masuk ke dalam kamar mandi. “Gue mau lihat, sampai mana dia akan mulai berubah.” Geo lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, karena dirinya ingat kalau hari ini ada meeting penting. Sementara di tempat lain, Hito pun baru bangun dari tidurnya. Pria tampan itu begitu terkejut saat mendapati dirinya tak berada di kamarnya. “Dimana gue?” Hito memegang kepalanya yang terasa pusing. “Sial! Tau gini gue semalem gak meladeni Jasson sama Franki. Jam berapa sekarang?” Hito menatap jam dinding yang menempel di dinding kamar itu. “Hah! Sial! Kesiangan lagi!” umpatnya lalu bergegas turun dari ranjang dan melangkah keluar dari kamar itu. Hito ingin mencari pemilik rumah itu, karena kamar yang tadi dirinya tempati sangat asing baginya. Tapi, setelah keluar dari kamar itu, dirinya terkejut saat melihat pigura besar yang menggantung di dinding ruang tamu. “Sial! Jadi sekarang gue ada di rumah ....” “Kamu sudah bangun,” potong Celin yang tengah melangkah menghampiri Hito. Celin berniat untuk membangunkan Hito, karena dirinya harus berangkat bekerja. Ia juga tak mungkin meninggalkan Hito di rumahnya sendirian. Hito nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Hai, apa kabar?” “Baik. Lebih baik sekarang kamu mandi, habis itu sarapan, setelah itu kamu pergi dari sini karena aku harus berangkat bekerja.” “Tunggu!” Hito menarik tangan Celin, saat wanita itu ingin melangkah pergi. Celin menatap tangannya yang tengah dipegang oleh Hito. “Ah ... maaf,” ucap Hito dan langsung melepas genggaman tangannya. “Aku gak punya banyak waktu, To. Apa yang ingin kamu katakan?” “Terima kasih karena sudah mengizinkan aku untuk menginap disini semalam.” “Aku terpaksa, karena kamu datang dalam keadaan mabuk berat, tengah malam lagi. Kalau aku usir kamu, itu namanya aku gak punya hati.” “Kamu memang gak punya hati, Lin, karena kamu terus saja menolak cintaku,” gumam Hito dalam hati. “Semalam aku ....” “Aku gak mau mendengar cerita kamu. Seperti yang tadi aku bilang, aku gak punya banyak waktu.” Setelah mengatakan itu Celin melangkah menuju ruang makan untuk membereskan bekas makanannya. Hito menghela nafas panjang. “Jangan menyerah, To. Lo harus yakin, kalau suatu saat nanti Celin pasti mau terima cinta lo. Semangat!” ucapnya untuk menyemangati dirinya sendiri. “Lebih baik sekarang gue mandi, nanti ganti baju di rumah aja. Mana hari ini gue ada janji sama Geo lagi. Sial!” Hito lalu kembali masuk ke dalam kamar tadi untuk membersihkan tubuhnya. Hito tak ingin berlama-lama di kamar mandi, karena ia tak punya banyak waktu untuk memanjakan tubuh kekarnya itu, karena bisa dipastikan dirinya akan kena omel setelah sampai di kantor nanti. Hito melangkah menghampiri Celin yang tengah duduk di sofa ruang tamu, karena sedang menunggu dirinya. “Maaf, kalau aku sudah merepotkan kamu.” “Sudah tau ngerepotin, ngapain kamu malah datang ke rumah aku?” Celin beranjak dari duduknya. “Aku juga gak tau kalau aku malah datang kesini, kamu tau kan kalau orang mabuk itu gak bisa berpikir jernih? Tapi yang aku tau pasti, kalau orang mabuk itu pasti berkata jujur.” “Apa maksud kamu?” tanya Celin sambil mengernyitkan dahinya. “Mungkin semalam yang ada dalam pikiran aku itu hanya kamu, makanya aku datang kesini. Karena aku sangat merindukan kamu.” Celin memutar kedua bola matanya jengah. “Jangan buang waktuku hanya untuk mendengar omong kosong kamu! lebih baik sekarang kamu ma ....” “Aku gak bicara omong kosong, karena memang itu kenyataannya,” potong Hito. Celin menghela nafas panjang. “Aku harap ini terakhir kalinya kamu datang kesini,” ucapnya lalu melangkah pergi. Hito mengikuti Celin dari belakang sampai mereka keluar dari rumah minimalis itu. “Bisa antar aku ke rumah? Rumah aku masih yang dulu.” Celin melihat jam di pergelangan tangannya. “Aku gak bisa, aku sudah terlambat. Kamu kan bisa naik taksi.” “Aku ada meeting penting hari ini. Kalau naik taksi kelamaan,” ucap Hito tak sepenuhnya berbohong, karena dirinya memang ada janji dengan Geo di kantor papanya Geo. “Aish! Yaudah ayo!” kesal Celin lalu membuka pintu mobilnya. Hito mengulum senyum. Rencananya untuk bisa berdua dengan Celin di dalam mobil berhasil. Ia lalu berjalan memutar, membuka pintu penumpang depan, lalu melangkah masuk. Dalam perjalanan menuju rumah Hito sama sekali tak ada percakapan antara Hito dan Celin, karena Celin juga tak ada niatan untuk bicara dengan Hito. Pria masa lalunya yang sangat ingin dilupakan nya dan dijauhinya. Pria yang sudah menggoreskan luka di hatinya. Luka yang sampai detik ini belum sembuh, kesalahan Hito yang sampai detik ini belum bisa dirinya maafkan. Entah Hito menyadari kesalahannya atau tidak, yang jelas dirinya sudah tak ingin melihat wajah pria tampan yang saat ini tengah duduk di sebelahnya. “Lin ....” Hito kembali mengatupkan mulutnya, saat melihat Celin menoleh ke arahnya. Tapi beberapa detik kemudian kembali menatap ke depan, karena saat ini Celin tengah menyetir dan dirinya tak ingin sampai celaka nantinya. “Kok kamu di rumah sendirian? Dimana kedua orang tuamu?” akhirnya keluar juga pertanyaan yang sejak tadi tercekat di tenggorokan Hito. “Aku juga gak perlu menjawab pertanyaan kamu itu kan?” Hito menghela nafas panjang. “Sebenarnya aku penasaran. Apa sih salah aku, sampai kamu begitu membenciku? Padahal dulu kita lumayan dekat.” “Pikir aja sendiri.” Celin lalu menghentikan mobilnya tepat di depan pagar rumah Hito. “Keluar,” pintanya kemudian. “Kamu belum jawab pertanyaan aku. Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran kamu. Memang, wanita itu ternyata sama aja, sulit banget dipahami.” “Jangan samakan aku dengan kekasih-kekasih kamu itu!” seru Celin tak terima kalau disamakan dengan para wanita yang selalu bergelayut manja pada Hito. “Lin ... jangan bilang kamu ....” “Aku bilang keluar!” teriak Celin keras sambil mendorong tubuh Hito. “Iya-iya aku keluar.” Hito akhirnya membuka pintu mobil dan keluar dari mobil Celin. Hito melihat mobil Celin yang sudah mulai melaju pergi. “Apa maksud dari kata-kata Celin tadi? Kekasih?” Hito melihat jam di pergelangan tangannya. “Sial!” serunya dan bergegas membuka pintu pagar rumahnya lalu berlari menuju pintu. Sementara ini Geo sudah sampai di kantor sang papa sejak lima belas menit yang lalu, tapi sampai detik ini dirinya belum melihat kedatangan sahabatnya itu. “Kemana sih itu anak, sampai jam segini belum datang juga! Jangan bilang dia lupa kalau hari ini dia mau ke kantor gue.” “Mending gue telepon aja dah.” Geo lalu mengambil ponselnya dari dalam saku celana kerjanya, ia lalu bergegas menghubungi nomor sahabatnya itu. “Lo dimana?” tanya Geo tanpa basa basi setelah panggilan itu sudah mulai tersambung. “Sorry, bentar lagi gue nyampai.” Geo melihat panggilan itu sudah berakhir. “Sialan si Hito, main matiin aja. Sebenarnya yang jadi bos disini itu gue apa dia sih!” dengusnya kesal. Geo lalu beranjak dari duduknya, melangkah keluar dari ruangannya, menghampiri sekretarisnya yang saat ini tengah memeriksa berkas yang ada di atas meja. “Vian. Apa berkas-berkas untuk meeting kita nanti semua sudah siap?” Geo sudah berdiri di depan meja kerja Vian. Vian yang terkejut sontak langsung beranjak dari duduknya. “Sudah, Pak. Tapi bukannya Bapak masih menunggu Pak Hito?” Geo memang meminta Hito untuk datang ke kantor sang papa, karena ia ingin memperkenalkan Hito sebagai asisten pribadinya untuk membantu pekerjaannya. Tapi, setelah nanti dirinya mendirikan perusahaannya sendiri, ia akan membawa Hito dan Vian bersamanya. Apalagi sang papa tak melarangnya untuk membawa karyawan yang berada di bawah naungannya, karena Marco sebenarnya juga sudah mempunyai pegawai yang bisa dirinya andalkan. Tapi Marco memang sengaja memberi kebebasan kepada putranya itu agar lebih mengasah kemampuannya dalam dunia berbisnis. “Tolong buatkan saya kopi, gulanya jangan banyak-banyak.” “Baik, Pak.” “Nanti tolong kamu antar ke ruangan saya.” Setelah mengatakan itu Geo kembali melangkah menuju ruangannya. Sementara itu Hito saat ini sudah sampai di kantor, ia bergegas keluar dari mobil dan berlari menuju lift. Ruangan Geo ada di lantai 3. “Sial!” Hito bergegas keluar dari lift setelah pintu lift terbuka dan dengan secepat kilat dirinya berlari menuju ruangan Geo. “Sorry-sorry, gue telat,” ucap Hito setelah membuka pintu ruangan Geo. “Bukan lagi telat. Lo ngapain aja sih! Jangan bilang lo semalam menginap di club?” Hito mendudukkan tubuhnya di samping Geo sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. “Lo pasti terkejut saat lo tau dimana semalam gue tidur,” ucapnya sambil menyunggingkan senyumannya. “Memangnya lo tidur dimana? Paling-paling di hotel sama wanita sewaan lo.” “Sialan lo! Gue gak pernah menyewa wanita malam ya. Cuma Hanin tempat gue untuk menyalurkan hasrat gue!” cebik Hito tak terima. Meskipun dirinya gila akan sek, tapi ia tetap memilih lubang yang akan dirinya nikmati. Dan bukan sembarang lubang yang akan dirinya masuki untuk melampiaskan hasratnya itu. Selain tak perlu keluar duit, Hanin wanita bersih, karena hanya dirinya seorang yang menikmati tubuh wanita cupu itu, sehingga dirinya tak perlu takut tertular penyakit yang membuatnya bergidik ngeri hanya dengan membayangkannya saja. Geo dan Hito mendengar suara pintu diketuk, lalu mulai terbuka dengan perlahan. Muncullah Vian sang sekretaris sambil membawa nampan yang di atasnya terdapat secangkir kopi untuk sang atasan. “Ian, kok aku gak dibuatin sekalian,” decak Hito saat melihat hanya ada secangkir kopi di atas nampan itu. “Siapa suruh datang telat.” Geo menerima secangkir kopi dari tangan Vian, lalu meniupnya secara perlahan untuk mengurangi suhu panas kopi itu, lalu mulai meyeruputnya secara perlahan. “Sip, kamu memang jago buat kopi. Kalau kamu menikah nanti, istri kamu gak perlu capek-capek bikinin kopi buat kamu,” puji Geo pada sekretarisnya itu. Kenapa Geo lebih memilih seorang pria untuk menjadi sekretarisnya? Karena Geo tak ingin mempunyai sekretaris yang hanya modal tampang saja. Apalagi wajah tampannya itu begitu menarik di mata kaum hawa. Geo takut nantinya sekretarisnya itu tak fokus dengan pekerjaannya dan malah sibuk mengagumi dirinya. Terlalu percaya diri kamu Geo. Nyatanya Siren yang cantik saja sama sekali tak tertarik sama kamu. “Emangnya kalau udah nikah terus bininya gak boleh bikinin kopi gitu? Terus ngapain nikah segala kalau semua harus dikerjakan sendiri.” “Tugas bini itu buat muasin kita di ranjang. Kalau urusan yang lain kan udah ada pembantu.” “Lo sendiri gimana? Emangnya ....” Hito menghentikan ucapannya karena hampir saja dirinya membuka aib rumah tangga sahabatnya. “Hampir saja,” gumam Hito dalam hati. Hito lalu beranjak dari duduknya. “Daripada ngerumpi, lebih baik kita pergi sekarang, bukannya sudah waktunya meeting.” “Benar juga. Tapi lo udah siap kan kerja sama gue?” “Hem, daripada gue nganggur, mending gue kerja sama lo, mana jadi asisten pribadi lo lagi, mana bisa nolak gue,” ucap Hito sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun. “Sip.” Geo lalu beranjak dari duduknya. Mereka bertiga melangkah keluar dari ruangan itu. Sementara ini Siren merasa bosan di dalam rumah. Ia pun akhirnya memilih untuk keluar rumah. Tentu saja tempat tujuannya hanya satu, apartemen Nicholas. Tapi, saat Siren sampai di apartemen Nicholas, kekasihnya itu tidak ada di apartemennya. Ia akhirnya menghubungi kekasihnya itu untuk menanyakan keberadaannya. “Halo, Nich, kamu dimana sekarang?” tanya Siren saat panggilan itu sudah mulai tersambung. “Aku lagi di rumah temen. Kenapa, Sayang?” “Aku ada di apartemen kamu, tapi kamu gak ada.” “Sorry, tapi aku gak bisa pulang sekarang. Gimana?” “Kasih tau aku dimana rumah teman kamu itu, aku akan susul kesana.” “Ah ... jauh lo, Sayang. Gini aja, gimana kalau kamu datang lagi nanti malam. Aku juga gak enak kalau kamu datang kesini, disini cowok semua, nanti kamu malah gak nyaman lagi.” “Em ... ok deh. Kalau begitu aku pulang aja.” Siren lalu mengakhiri panggilan itu. “Lebih baik aku ke rumah Erika aja deh. Lagian mau ngapain juga di rumah, bosen.” Siren lalu melangkah pergi dari apartemen Nicholas. Sementara ini di tempat lain, Nicholas beserta teman-temannya tengah bersenang-senang dengan pasangan mereka masing-masing. “Nich, lo serius mau ngeduain Siren? bukannya lo cinta mati sama dia ya?” tanya salah satu teman Nicholas yang bernama Hengky. “Gue emang cinta mati sama Siren, tapi lo tau kan kalau Siren lebih milih nikah sama pria pilihan bokapnya? gue juga gak tau apa yang dilakukan Siren sama suaminya itu.” “Sekarang gue tanya sama lo, apa lo pernah tidur sama Siren?” “Hem, tapi dia sudah gak suci lagi, karena sudah direnggut oleh suaminya. Jadi sekarang gue akan lakukan hal yang sama,” ucap Nicholas sambil mengecup pipi wanita yang saat ini berada dalam rangkulannya. “Kalau sampai Siren tau gimana? Lo yakin bisa melepas Siren?” “Siren gak mungkin ninggalin gue, karena gue tau, dia cinta mati sama gue. Dia bahkan sampai rela melawan bokapnya demi gue, meskipun akhirnya dia menikah dengan pria itu.” Wanita yang berada dalam pelukan Nicholas, saat ini tengah meraba d**a bidang Nicholas. “Sayang, cari tempat lain yuk, aku pengen mesra-mesraan sama kamu,” ucap Nita dengan suara menggoda. “Ok. Ky, gue pinjem kamar lo ya. Kayaknya cewek gue ini udah gak tahan pengen diajak ke nirwana.” “Ck, emangnya lo pikir kamar gue itu hotel apa! terus kalau gue pengen sama cewek gue gimana?” “Lah kan kamar lo banyak. Gue akan pakai kamar tamu, jangan sampai ada yang mengganggu, karena gue mau menghajar Nita sampai dua ronde,” ucap Nicholas sambil mencolek hidung mancung Nita. Nicholas meminta Nita untuk ke kamar tamu duluan, karena ada hal yang ingin dirinya bicarakan dengan sahabatnya. “Jangan lama-lama ya, Sayang. Aku sudah gak tahan nih,” pinta Nita dengan mengusap lembut pipi Nicholas. “Hem. Cuma bentar kok.” Nita lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kamar tamu yang ada di rumah Hengky. “Apa yang ingin lo bicarakan sama gue?” tanya Hengky penasaran. Nicholas menatap ke arah dua sahabatnya yang lain yang saat ini tengah meneguk minuman keras bersama dengan pasangannya. “Lo punya pil anti hamil gak?” “Buat apaan?” “Gue gak suka pakai pengaman, gue juga gak mau Nita hamil.” “Ck, gue gak punyalah.” “Sial!” “Pakai pengaman aja kenapa sih?” “Gak enak tau! Kurang puas aja.” “Emang saat lo ngelakuin itu sama Siren, lo gak pakai pengaman?” “Gak.” “Kalau Siren hamil gimana?” “Ya tinggal gue nikahin, kan itu emang tujuan gue agar Siren dan suaminya itu cerai.” “Ternyata lo pembinor juga ya.” “Sialan lo!” umpat Nicholas lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kamar tamu, karena dirinya tak ingin membuat Nita menunggu lama. Nicholas mengunci pintu kamar itu, ia tersenyum saat melihat Nita yang sudah melepas semua pakaiannya. “Bersiaplah, Sayang, aku gak akan pernah melepaskanmu,” ucap Nicholas sambil melepas semua pakaiannya, lalu berjalan menghampiri Nita yang tengah menunggunya di atas ranjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD