Violet asyik berbincang dengan Trias melalui sambungan telepon. Melupakan semua ucapan dari Sofi yang menyuruhnya untuk pergi menjauh dari kehidupan Rezky, padahal tanpa disuruh sekalipun akan dilakukannya dengan senang hati.
Apa sih yang harus dipertahankan dengan seorang lelaki yang seperti Rezky itu? Tidak ada sama sekali.
"Violet! Sini sebentar, Nak!"
Violet mengakhiri sambungan telepon tersebut, saat mendengar panggilan dari Lisma.
[Ngobrolnya besok aja, aku dipanggil sama Ibu ini.] Violet berpesan pada Trias terlebih dahulu.
[Siap, Vi! Besok berangkat kerja jangan telat.]
[Iya,] ucap Violet dan tidak berselang lama panggilan tersebut kini mulai berakhir.
Violet bergegas untuk keluar dari kamar, dan menuju ke dapur yang letaknya tidak begitu jauh. Hanya butuh beberapa langkah saja, dan akhirnya sampai.
Violet melihat Lisma tengah sibuk untuk menata piring di atas meja makan, dan segera untuk membantunya.
"Udah selesai masaknya, Bu?" tanya Violet dengan kening yang berkerut.
Lisma menoleh ke arah Violet. "Sudah dong! Ibu kalau masak gak butuh waktu yang lama juga," kata Lisma membanggakan diri.
Violet terkekeh pelan. Sudah bukan hal aneh lagi jika ibunya begitu percaya diri penuh, dan ditambah dengan selalu membanggakan hasil masakannya yang memang selalu saja lezat.
Masakan dari Lisma bahkan sangat disukai oleh semua orang. Pernah di suatu waktu itu pernah ada suatu acara dan ia memasaknya.
Katanya suruh membuka katering, tapi Violet tidak mengizinkannya karena merasa sudah cukup besar juga pendapatannya saat ini.
"Vi kamu panggil Ayah sana, kok jam sekarang masih belum kelihatan saja orangnya," suruh Lisma pada Violet.
Violet yang sedari tadi belum melihat ayahnya, hanya bisa menggeleng saja. "Memang Ayah ada di rumah, Bu?" tanya Violet polos.
Lisma menepuk keningnya pelan. Ia melupakan sesuatu dan cepat bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya.
Violet yang melihat Lisma sangat aneh tersebut, hanya bisa menggeleng saja dan segera duduk.
"Dia kira jika menjauh dari anaknya membuatku kelabakan? Ya jelas ... banget sih, tapi mau gimana lagi aku pun udah tau sekarang statusnya itu apa." Violet menundukkan kepalanya.
Violet memang sama sekali tidak perduli dengan apa yang dikatakan oleh Sofi, karena merasa akan melakukan hal tersebut bahkan tanpa diminta sekalipun.
Meskipun hubungan Violet dan Rezky hancur, ia tidak akan berbuat setega itu untuk membuat sakit hati perempuan lain.
Lisma dan Samsudin kini masuk ke dapur, dan melihat Violet yang tengah melamun segera saja menegurnya.
"Ngelamun mulu, Nak!" tegur Samsudin dengan suara beratnya.
Samsudin sedari tadi tidur di kamarnya karena keletihan sehabis melembur. Itu lah mengapa Violet tidak mengetahuinya sedari pagi tadi.
"Ayah, siapa juga yang melamun," kilah Violet cepat.
Violet menatap Samsudin dan Lisma bergantian. Merasa aneh, kenapa bisa ayahnya sudah berkumpul bersamannya, sedangkan ia sendiri tidak melihatnya sedari pagi tadi.
"Kenapa kamu, Vi?" tanya Lisma yang sudah duduk di samping Samsudin.
"Ayah sejak kapan ada di sini, Bu?" Violet bertanya pada Lisma.
"Ayah itu ada di kamar, dan seharian belum sempet keluar." Lisma menjelaskan sembari terkekeh ringan.
"Di kamar, Yah?" tanya Violet pada Samsudin yang kini mengangguk dengan bibir yang tersenyum.
"Sudah-sudah! Kita makan sekarang, jangan berisik nanti," ucapa Lisma.
Mulai menyedokkan nasi tersebut di atas piring suaminya, sedangkan Violet mengambil sendiri, memang anak yang mandiri sih.
Mereka bertiga makan dengan tenang, dan tidak ada suara apa pun selain dentingan garpu dan sendok yang terbentur piring.
Violet kini sudah selesai terlebih dahulu, dan beranjak untuk membawa piringnya ke wastafel lalu mencucinya di sana.
"Nak, habis selesai itu sini kamu duduk kembali," kata Samsudin yang terlihat ingin berbicara dengan Violet.
Violet menengok ke arah Samsudin yang masih tengah sibuk mengunyah makanan tersebut. "Baik, Yah!"
Setelah selesai dengan kegiatannya tersebut, Violet menghampiri Samsudin yang masih setia duduk di salah satu kursi tersebut.
"Ayah mau bicara sama kamu sebentar," kata Samsudin dengan tegas.
Samsudin menatap wajah Violet yang masih seperti biasanya, tidak ada mata yang sembab dan tidak ada kantung hitam efek begadang.
"Ibu sempet cerita sama Ayah tentang hubungan kamu dengan Rezky. Apa itu benar, Vi?" tanya Samsudin serius.
Violet mengedikkan bahu tak acuh. "Seperti yang Ayah dengar."
"Apa kamu bersedih hati dengan yang dilakukan olehnya, Nak?"
"Tidak sama sekali, Ayah. Buat apa Vi sedih coba? Laki-laki di dunia ini sangat banyak sekali, dan ngapain hanya terfokus dengan dia seorang?" Violet terkekeh pelan.
Violet bahkan sudah tidak perduli dengan apa yang dilakukan oleh Rezky.
Awalnya Violet selalu berharap jika Rezky kelak akan menjadi pendamping hidupnya, tapi ia sadar jika berharap dengan sesama pasti akan mengecewakan dan berakhir tragis, maka dari itu sekadarnya saja.
Samsudin merasa apa yang dikatakan oleh putrinya tersebut sangat benar, dan seperti orang yang jauh lebih dewasa dari sebelumnya.
"Kamu benar! Vivi bilang gini sama Ayah, di belakang gak menangis diam-diam kan?" selidik Samsudin pada Violet yang justru menanggapinya dengan tertawa renyah.
"Bagaimana bisa Ayah punya pemikiran seperti itu?" tanya Violet pada Samsudin. "Violet gak akan merasa sedih sama sekali. Apa lagi sampai menangis untuk orang yang seperti itu."
Lisma memperhatikan cara bicara Violet yang terlihat sangat tegar sekali. Menurutnya ini sangat aneh, pasti ada satu hal dimana ia bersedih, karena impiannya itu dihancurkan oleh seseorang yang disebut pelakor.
"Kamu bicara seperti ini, Ibu semakin curiga jadinya," kata Lisma dengan mata yang menatap Violet.
"Curiga kenapa sih, Bu? Memangnya Vivi tengah menyembunyikan sesuatu apa?" kata Violet dengan menggeleng pelan.
"Sepertinya iya," ucap Lisma asal.
Lisma berpikir jika orang biasa itu pasti akan menangis setelah putus cintanya, apalagi ini kisah dihancurkan karena perselingkuhan. Sungguh luar biasa kuatnya untuk terluka.
"Apa menurut Ibu sikapku ini agak aneh?" Violet merasa semua orang pasti akan berpikir seperti itu.
Lisma dan Samsudin dengan cepat mengangguk. Bayangkan saja jika ada salah satu orang yang kamu kenal, dulunya itu bucin sekali, dan saat impiannya hancur karena datang orang ketiga, ekspresi wajah datar dan santai.
Apa menurut kalian itu heran atau tidak?
"Loh? Kenapa Ayah juga ikutan mengangguk coba? Haha ...." Violet hanya tertawa konyol.
"Nak! Katakan saja kalau kamu itu sebenarnya tersakiti karena tingkah dari Rezky, jangan dipendam seorang diri seperti ini, gak baik," petuah Lisma.
"Ibu, Ayah. Vivi itu baik-baik aja, dan sama sekali gak sedih itu karena berpikir ... Tuhan sudah baik, dan pasti akan menggantikan yang lebih baik lagi."
"Lalu apa ada yang salah dengan hal itu? Vivi tidak mau mempermasalahkan ini, karena ya begitu." Violet hanya menarik napas pelan.