Chapter 10

1013 Words
Lisma memilih masuk dan tidak akan ikut campur dengan urusan Violet juga Rezky itu. Ia percaya jika anaknya cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahnya tersebut. Rezky menuntut jawaban pada Violet, tentang kejadian semalam di saat memperkenalkan Nahwa sebagai calon istrinya tersebut. "Acaranya belum selesai kemarin itu?" tanya Violet dengan mata yang memicing. Rezky mengangguk tanpa rasa bersalah sama sekali. Violet yang saat ini tengah sedang berdiri di halaman dengan tangan yang masih setia memegang sapu ijuk, kemudian melanjutkan kegiatannya tanpa perduli dengan Rezky-- pria yang masih menjadi kekasihnya itu. "Iya! Kamu ini kenapa sih? Aku lagi bicara juga, malah sok sibuk sendiri," dumel Rezky yang tidak suka dengan Violet. Violet kini menghentikan kegiatannya itu, dan terdiam untuk beberapa saat. "Kamu ini mau apalagi sih, Ky? Bukannya semua tentang kita udah selesai?" "Aku ke sini hanya ingin ... memberikan undangan nikahan yang belum sempat kamu bawa," ucap Rezky santai. "Letakkan di meja saja, dan silahkan kamu pergi dari sini!" usir Violet tegas. Rezky tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Violet saat ini. Selama ini ia tidak pernah mendapatkan perlakuan sangat buruk seperti ini, apalagi sampai diusir mentah-mentah. Violet terpaksa mengusir Rezky untuk segera pergi dari hadapannya, karena rasa kecewa itu masih ada. Namun, ikhlas mulai ia usahakan. "Kamu mengusirku, Vi?" tanya Rezky. "Huftt!" Violet menghembuskan napas kasar. Mulai kembali drama yang sangat tidak penting ini, sungguh rasanya mual sekali. "Sudahlah Ky, jangan berlebihan. Urusan kamu selesai, silahkan pulang." "Okey, aku pulang sekarang. Jangan lupa untuk datang ke acaraku nanti," peringat Rezky sebelum pergi dari hadapan Violet. Violet hanya menganggukkan kepala tanpa menjawab sama sekali. Seperginya Rezky, Violet segera saja masuk ke dalam rumahnya tanpa mengambil surat undangan yang ada di atas meja teras tersebut. Lisma yang dari tadi mengintip di jendela, kini langsung gelagapan saat Violet masuk ke dalam rumah dengan raut wajah kesalnya. "Sudah urusannya, Nak?" "Sudah, Bu! Dia aneh banget, apa mungkin sudah gila?" tanya Violet pada Lisma. Violet mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang ada di ruang tamu. Tatapan matanya masih nyalang, karena menahan rasa kesal pada Rezky. Lisma tertawa renyah. Melihat Violet yang tengah menahan kesal seperti itu, ia hanya merasa sedikit lucu saja, dan dirasa itu bukan masalah besar kan? "Ibu kok ketawa sih?" tanya Violet kesal. "Oh, maaf! Ibu tadi sempat liat wajah Rezky, yang menurut Ibu sangat lucu sekali." Lisma menjelaskan pada Violet apa yang dilihat olehnya. "Sudahlah! Kamu sana mandi, Ibu mau pergi ke dapur dulu." Violet menatap Lisma yang kini beranjak pergi dari ruang tamu, dan menuju ke belakang di mana dapur berada. Violet hanya mendesah saja, dan ternyata bertemu dengan Rezky bukan ide yang baik, bahkan itu sangat buruk. Violet sebenarnya tidak sedih, hanya merasa sedikit kecewa, dengarkan baik-baik itu. 'Jodoh itu sudah digariskan oleh Tuhan. Ketika orang yang kamu cintai pergi, ingatlah doa yang selalu kamu panjatkan, untuk selalu menginginkan yang terbaik.' Violet bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya, dan mulai mandi untuk kembali menyegarkan tubuhnya tersebut. Tidak lama, Violet akhirnya selesai dengan mandinya dan rambutnya digelung menggunakan handuk. Dering telponnya kini berbunyi begitu nyaring, memenuhi ruangannya tersebut. "Siapa sih yang nelpon?" dumel Violet yang segera saja menghampiri tempat tidurnya, karena ia taruh asal di atas sana. "Loh ini Ibu Sofi! Ada perlu apa beliau menelponku?" Violet segera saja mengangkat panggilan telepon tersebut. [Hallo! Vivi ini Ibu Sofi,] ucap Ibu Sofi--ibu dari Rezky. Violet mengerutkan keningnya. [Iya, Bu. Ada apa? Tumben sekali menelpon begini,] kata Violet tenang. [Kamu sudah tahu belum kalau Rezky sebentar lagi akan menikah?] tanya Sofi dengan suara yang sama sekali tidak bersahabat. [Iya, Vivi sudah tau, Bu.] Violet sudah tahu apa maksud dari Sofi kini menghubungi dirinya seperti ini, pasti ada maksud lain di belakangnya, atau sesuai dengan apa yang diperkirakan olehnya. [Bagus deh! Kamu ikhlaskan anak Ibu ya, Nak! Dia sudah sangat bahagia dengan pilihan hatinya,] ujar Sofi dengan suara yang dibuat seramah mungkin. Violet hanya tertawa mendengar pernyataan konyol tersebut. Ia tidak akan pernah berharap lebih pada Rezky, karena ia tahu itu tidak akan berguna sama sekali. [Apa ada hal yang sangat lucu hingga membuatmu tertawa, Vi?] tanya Sofi di sebelah sana. Violet menggeleng, meskipun tidak akan diketahui sama sekali. [Oh, jelas tidak ada! Ibu tenang saja, Vivi tidak akan menganggu hubungan mereka berdua.] [Pegang omongan Vivi ini, Bu!] kata Violet mantap. Sofi bisa bernapas dengan lega sekarang. Akhirnya salah satu penghalang rencanannya menikahkan Nahwa dengan Rezky. Violet sendiri kini tahu bagaimana buruknya tingkah Rezky ataupun keluarganya. Percuma juga jika ia yang terlalu berlebihan, untungnya selama ini tidak berharap lebih, hingga hanya sedikit merasa kecewa saja. [Baik. Jangan pernah lagi menganggu anak Ibu, atau pun hubungan dengan istrinya kelak. Kamu ini sudah bukan siapa-siapanya lagi.] [Vivi tau itu, Bu! Lagi pula Vivi tidak perduli juga, jadi santai saja.] Violet memutuskan sambungan telepon itu sepihak. Malas juga rasanya mendengar kalimat ancaman yang cukup menggelikan di telinganya. Violet membuang ponselnya ke sembarang arah, dan jatuh terpental di tengah-tengah kasur. Ia tidak mau perduli dengan apa yang dikatakan oleh Sofi itu, yang jelas sudah tidak ada urusan apa pun dengannya lagi. Dering teleponnya kini kembali berbunyi dan hembusan napas kasar terpaksa untuk keluar. Sudah berhasil untuk pergi dari ocehan nenek lampir, anggap saja seperti itu. Masa iya harus ada part dua segala? [Ada apa, Bu?] tanya Violet yang langsung mengangkat telepon begitu saja, tanpa melihat sama sekali siapa yang meneleponnya itu. [Liat-liat dulu dong Vi siapa yang nelepon ini, main panggil Ibu aja. Emang aku udah tua banget apa?] tegur suara Trias dari balik telepon. Violet menarik teleponnya dari telinga, dan kini melihat siapa orang yang tertera pada layar tersebut. Nama Trias kini terpampang besar pada layar ponselnya, dan Violet hanya menepuk keningnya saja. [Sorry, aku gak sempat liat tadi.] [Kamu keknya lagi kesel ya? Ada masalah apa emang?] [Gak ada. Kamu ada apa nelpon aku ini?] Violet malah balik bertanya. [Ah, lupa!] Trias hanya tertawa begitu saja. [Benar-benar sudah tua kamu, udah pikun sih soalnya. Oh iya, aku rasa tidak masalah juga untuk memanggilmu dengan ... Ibu.] [Itu pilihan yang sangat buruk, sungguh!] Trias merengek pada Violet untuk tidak memanggilnya dengan kata itu, sungguh itu ibaratnya suatu kesialan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD