Keseringan Khilaf

1344 Words
"Astaga Mas … itu muka atau kertas ujian, sih? Lecek amat?" goda Sherena, kepada seorang pria, yang duduk sendirian di belakang rumah Viona. Pria itu duduk menunduk sendirian, seraya memainkan ponsel di tangannya. "Jangan ikut campur." Pria yang tidak lain adalah Abdi tersebut menoleh, kepada Sherena yang kini ikut duduk di sampingnya. "Ck, siapa juga yang ingin ikut campur? Aku itu datang kemari untuk mencari kamar mandi, tidak mungkin kan, ya, aku masuk ke kamar mandi yang ada di kamar tuan rumah. Nanti dikira aku mau mengambil sesuatu. Maka dari itu … aku pergi kemari. Eh, malah bertemu kamu di sini." Dengan santainya Sherena menjadikan pundak Abdi sebagai tempat tangannya bertumpu sebelum duduk di samping pria itu. "Kamar mandi ada di dalam. Bukan di sini." Abdi mendengus. "Pengantin pria seharusnya ada di dalam bukannya di sini!" balas Sherena tidak mau kalah. "Kamu jangan memperburuk keadaan." "Aku tidak memperburuk keadaan. Tapi, aku justru memperbaiki. Aku sudah membawa kakakku kesini dan menikah dengan Viona." "Itu belum selesai namanya. Setelah ini akan ada masalah baru. Kamu lihat saja." "Tidak ada. Semuanya sudah selesai. Acara pernikahan sudah berlangsung dengan baik." "Selesai dari pihak wanita. Tapi, tidak di pihak pria. Kamu lupa, aku juga memiliki keluarga yang akan malu jika pernikahanku gagal dilangsungkan?" tutur Abdi. Mengadahkan kepalanya, agar buliran bening yang telah menggenang tidak luruh begitu saja. Namun, apa yang dilakukan Abdi tetap saja membuat kesedihannya terpampang nyata di hadapan Sherena. Menggugah hati kecilnya untuk berucap, "Ayo ikut aku! Aku yang akan membantumu terlepas dari semua ini. Sebagai ganti permintaan maaf atas kesalahan yang diperbuat kakakku." Langsung berdiri dan mengulurkan tangannya pada Abdi. Agar pria itu bangkit dan ikut bersamanya, menyelesaikan kekacauan yang ada. Rasanya tidak masalah ia membantu Abdi, yang harus batal menikah dengan Viona, calon istrinya sendri yang tidak sengaja memberikan kegadisannya kepada Miko semalam. Miko yang tidak lain adalah kakak sepupu Sherena. Jadi tidak ada salahnya, bukan? Ikut berkorban sebagai tanggung jawab atas kekhilafan yang dilakukan Miko kepada Viona. Namun, apa yang dipikirkan Sherena tidak semulus yang diharapkannya. Karena Abdi malah menepis tangannya dan menatap lurus ke depan. "Pergilah! Kamu pikir masalah ini bisa selesai hanya dengan berbicara jujur kepada mereka?" Abdi menarik satu sudut bibirnya. "Yang ada kamu semakin memperkeruh keadaan dan mempermalukan teman, serta kakakmu sendiri." "Ck, siapa yang ingin jujur? Aku ingin mengajakmu menikah. Dengan begitu, keluargamu tidak akan malu karena pernikahanmu batal!" tegas Sherena. Menaikkan alisnya saat Abdi menatap horor padanya. "Me-menikah?" tanya Abdi tak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Sherena. "Iya, nikah, yuk, Bang. Biar Abang senang. Dan Abang tenang saja, meskipun aku begini, aku wanita ori tanpa bahan pengawet," gurau Sherena. Mengulurkan tangan dan menyipitkan matanya. Abdi menatap Sherena dari ujung kaki hingga ujung rambut. Gadis cantik berambut sebahu itu memang sangat berbeda dari gadis lainnya. Disaat yang lain datang menggunakan dress atau kebaya, ia justru datang dengan kemeja lengan panjang yang kedodoran. Membiarkan salah satu sisi kemejanya masuk ke dalam celana jeans yang dikenakan, dan membiarkan sisi lainnya diluar. Namun, itu semua tidak mengurangi kadar kecantikan yang gadis itu miliki. Sehingga Abdi menerima uluran tangannya dan bangkit. "Pikirkan lagi. Saat kita masuk ke dalam, kamu akan menjadi istriku." Sherena mengangguk. "Itu urusan belakangan. Jangan pikirkan itu dulu, sebelum ini selesai. Setelah itu baru kita pikirkan bersama-sama." Dengan langkah yang pasti, Sherena berjalan beriringan bersama Abdi. Memasuki ruang tamu, tempat acara dilangsungkan. Tidak lupa ia mengabari sang ayah agar segera datang untuk menikahkannya sekarang juga. Gadis itu berdalih ketahuan berduaan dengan pria di dalam kamar, dan di grebek massa. Sehingga harus menikah dengan pria tersebut saat ini juga. Sherena juga membagikan lokasinya saat ini kepada sang ayah, agar mudah menemukannya. "Aku nebeng di acara pernikahan teman, Pi. Agar aku bisa merasakan pesta pernikahan, meskipun nikahnya karena digrebek massa. Hiks." Deretan kata yang dikirim Sherena, sebagai penutup pesannya kepada sang ayah. Sekaligus penghibur hati sang ayah yang pastinya shock saat mengetahui sang putri digrebek massa. Ada-ada saja. "Maaf semuanya. Masih ada tempat kosong nggak, ya? Kami mau menikah juga," ucap Sherena. Begitu ia dan Abdi sampai di ruang tamu. Sontak saja membuat semua orang melihat ke arahnya. Termasuk Vano. Ia adalah orang yang paling terkejut melihat sepasang anak manusia, yang kini sama-sama menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sherena?" pekik Dita. Langsung berdiri dari tempat duduknya. Tidak menyangka Sherena akan muncul bergandengan bersama Abdi. Hal serupa juga dilakukan kedua orang tua Abdi dan Viona. Calon besan yang batal tersebut tengah berbicara masalah pernikahan anak mereka, nyaris saja terkena serangan jantung. Karena kejutan yang dibawa Abdi dan Sherena. ****** "Aku udah bilang, kita nikah bukan karena saling cinta. Tapi, aku hanya membantumu selamat dari rasa malu karena kakakku yang menikung calon istrimu. Jadi, tolong … tolong … banget. Jangan minta aku untuk menjadi istri yang baik. Kita berteman saja, ya!" pinta Sherena dengan nada suara yang lembut dan pelan. Tidak seperti biasanya saat ia beradu argumen dengan sang suami. Abdi yang sedari tadi lelah beradu argumen dengan Sherena mengangguk. "Akupun tidak akan pernah memintamu untuk menjadi istri yang baik. Karena aku yakin kamu tidak akan pernah bisa dan aku juga sadar pernikahan kita hanyalah formalitas semata. Lagipula, aku tidak yakin kamu bisa menjadi seorang istri, karena kamu saja tidak pernah ingat kalau sudah memiliki suami," sindir Abdi. Menyipitkan matanya, mengintimidasi Sherena yang masih bertahan dengan wajah sok imutnya. Setelah Reihan, sang ayah memintanya untuk menjadi istri yang baik untuk Abdi jika masih ingin dianggap sebagai anaknya. Sherena yang takut dipecat menjadi putri kesayangan, menyetujui tapi hanya di bibir dan di depan Reihan saja. Ketika pria paruh baya itu pergi, ia kembali meralat dan menegaskan status rumah tangga mereka kepada Abdi. "Tidak ingat bagaimana? Perasaan aku ingat terus deh, kalau kamu itu suami aku. Secara kita tinggal dan bobok bareng. Jadi mustahil aku lupa," ucap Sherena, dengan kedua ali yang bertaut. Lagi-lagi gadis itu lupa apa yang telah dilakukannya, sampai-sampai ayahnya datang dan marah-marah lagi. Dan padahal Reihan baru saja pergi dari rumah mereka. Bahkan … aroma parfumnya masih tercium di ruang tamu tersebut. "Mustahil apa? Itu tadi kamu ngapain hubungi ayah marah-marah minta uang bulanan, padahal aku udah kasih kartu debit ke kamu!" sindir Abdi. Kedua alisnya terangkat. "Eh?" Sherena mengerjap. Dahinya semakin berkerut saja mendengar ucapan Abdi dan keberadaanya yang semakin dekat saja. "Aku lupa …" sambungnya. Memamerkan giginya yang tersusun rapi. Mengusap kepalanya yang tidak gatal, saat mengingat alasan sang ayah datang dan marah-marah. Karena beberapa saat yang lalu Sherena menghubungi sang ayah. Marah-marah saat meminta penjelasan kenapa hingga detik ini uang bulanan tak kunjung ditransfer. "Ada apa, Ren?" tanya Reihan, begitu mengangkat panggilan dari Sherena. Tidak biasanya gadis itu menghubunginya pagi-pagi seperti sekarang. Karena semenjak menikah, Sherena cenderung menjauh darinya karena didesak untuk membuatkan cucu. Sherena yang menikah dengan Abdi yang katanya hanya demi kemanusiaan saja, tentunya tidak ingin memiliki anak meskipun dipaksa sekalipun. "Pi, biasanya tanggal lima sudah transfer. Ini sudah tanggal dua puluh tujuh, tapi belum ada tanda-tanda uang jajanku masuk ke rekening," keluh Sherena. Seraya duduk di tepi ranjang dan memainkan kuku jari tangannya. "Uang bulanan?" Sherena mengangguk meskipun Reihan tidak bisa melihat apa yang dilakukannya. "Iya. Papi lupa?" "Sepertinya bukan Papi yang lupa. Tapi kamu." "Kok aku?" "Ya, kamu." "Lah, kenapa coba?" "Tunggu Papi di sana, nanti Papi jelaskan." Terputus. Tanpa ada kata penutup, Reihan langsung mengakhiri panggilan. Padahal Sherena ingin membuka mulut untuk mengajukan protesnya. Alhasil, tidak lama kemudian Reihan datang dan mengingatkan bahwasanya kini Abdi yang akan menanggung segala kebutuhannya. Dan mengingatkan kesepakatan yang telah dibuat, bahwasanya aliran dana darinya akan turun jika Sherena menjadi istri yang baik dan membuatkan seorang cucu. "Sudah ingat?" tanya Abdi saat Sherena mengangguk-anggukan kepalanya. "Sudah," sahut Sherena acuh. "Bagus. Berarti benar kan kamu itu pelupa?" Sherena menggeleng. "Bukan. Itu bukan lupa, tapi sebuah kekhilafan." "Sama aja!" "Bedalah. Dari segi penulisan aja beda, otomatis artinya pun berbeda." Sherena mencebikkan bibirnya dan pergi begitu saja. Meninggalkan Abdi dengan mata yang membesar atas ucapannya. "Bisa-bisanya nemuin jawaban untuk ngelak," gerutu Abdi. Setelah Sherena menjauh darinya. Untuk kesekian kalinya ia selalu kalah jika berdebat dengan istrinya itu. Entah kapan ia menang, padahal ingin merasakan kemenangan meskipun hanya sekali. Setidaknya seri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD