Tiada Beda

2021 Words
Gadis cantik berambut sebahu, dengan bulu mata yang begitu lentik, tampak begitu menggemaskan saat ia menutup mata. Tertidur dengan begitu lelap dengan hembusan nafas yang sangat teratur. Melihatnya dengan posisi tersebut, tidak akan pernah ada yang tahu suaranya begitu nyaring, kata-kata yang pedas, dan tatapannya yang tajam menghunus ke dalam jantung. Sakitnya sampai ke sumsum tulang belakang hingga menyakiti ginjal yang tak berdosa. Itulah sikap Sherena, yang diketahui Abdi, suaminya sendiri. Dalam kesunyian pagi, Abdi menatap wajah cantik Sherena, yang masih terlelap. Begitu cantik dan mempesona. Meskipun tidak ada makeup menghiasi wajahnya. Akan tetapi, kecantikan itu malah semakin terlihat begitu jelas. Namun, sayangnya itu hanya bisa dilihat Abdi ketika Sherena tidur saja. Karena ketika matanya terbuka, ia akan berubah begitu menakutkan. "Andai saja aku tidak lelah, tentu saja saat ini kamu sudah mendarat di lantai," sindir Sherena. Dengan kedua matanya yang masih tertutup, tapi sudah tahu ada Abdi yang sedari tadi memandangnya. "Ah, padahal sedari tadi aku sedang menunggu tendangan maut darimu. Tapi, sayangnya tendangan tersebut tidak terjadi pagi ini. Benar-benar tidak sesuai dengan ekspektasiku," balas Abdi. Sebelum beringsut dari tempat tidur. "Segeralah berkemas. Hari ini kita ada undangan ke pernikahan salah satu rekan kerjaku. Sebagai istri, tentu saja kamu harus datang untuk mendampingiku." Abdi berucap tanpa melihat ke arah Sherena. Ia malah sibuk menyusun bantal dan selimut ke atas tempat tidur, yang tadinya tersusun rapi di lantai. Untuk mengantisipasi tendangan dari Sherena, yang setiap pagi membuatnya terjatuh ke atas kerasnya lantai kamar. Hanya karena tak sengaja anggota tubuhnya menyentuh Sherena. Oleh karena itu, saat terbangun di tengah malam tadi Abdi langsung menyusun bantal dan selimut sebagai tameng agar tak bersentuhan langsung dengan lantai Tapi, semuanya sia-sia karena Sherena memberikan ampunan untuk pagi ini. Wah wah, benar-benar peka terhadap keadaan. Mata Sherena mengerjap. Kedua alisnya nyaris bertaut saat melihat Abdi mengambil bantal dan selimut di lantai. Kepalanya pun menggeleng, tidak habis pikir Abdi sampai segitunya mengantisipasi serangan darinya. "Aku harus pergi, ya?" lirih Sherena. Dengan suara yang begitu pelan dan mendayu, layaknya seorang anak kecil yang sedang memohon kepada ayahnya, agar permintaannya dikabulkan. Tangan Abdi yang sedang melipat selimut berhenti. Suara lembut Sherena membuat sensor di tubuhnya aktif, untuk mengantisipasi pergerakan yang tak terduga. Karena tutur bicara Sherena yang sangat-sangat jauh dari biasanya, sekaligus menimbulkan kecurigaan yang begitu besar. "Apa yang kamu inginkan?" Tanpa aling-aling apapun, Abdi langsung saja pada inti permasalahan. Meskipun Sherena hanya bertanya, tapi ia sudah tahu ada sesuatu yang tidak beres di dalam pertanyaan tersebut. Sherena beringsut duduk. Menatap Abdi dengan tatapan berbinar. Terharu suaminya itu sudah bisa membaca isi pikirannya tanpa disebutkan secara rinci maksud dan tujuannya. "Aku tidak bisa ikut ke pesta itu. Kamu kan tahu aku bagaimana.. Tidak suka berkumpul dengan orang ramai dan tidak bisa mengikuti fashion istri-istri para pengusaha, yang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan aku," keluh Sherena. Ia tampak bergidik membayangkan apa yang harus dikenakannya ketika menghadiri pesta pernikahan. Kalau bukan long dress dengan pundak terbuka dan belahan hingga paha, palingan mini dress selutut yang akan membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Dipadukan dengan heels yang begitu tinggi, serta sedikit perhiasan untuk melengkapi penampilannya. "Aku tidak sanggup," gumam Sherena. Menggelengkan kepalanya dan kembali berbaring. Menutupi tubuhnya dengan selimut dan sepertinya tidur adalah jalan yang terbaik untuk menghabiskan weekend saat ini. Abdi yang sudah yakin ini akan terjadi hanya bisa menghela nafas. Sherena yang sangat berbeda dari gadis kebanyakan, tentu saja menghadiri pesta pernikahan adalah hal yang mengerikan baginya. Apalagi saat mengingat bagaimana risihnya Sherena saat mengenakan gaun pengantin, untuk duduk di pelaminan bersamanya. Kalau tidak terpaksa, tentu saja ia tidak akan pernah mau mengenakan gaun tersebut. "Jadi aku harus pergi dengan siapa? Nggak mungkin, kan, aku sewa wanita lain untuk menemaniku pergi? Bisa-bisa aku dilibas habis sama papi. Karena undangan ini pun sampai ke tempatnya." Abdi duduk di tepi ranjang. Berpura-pura tidak tahu lagi harus berbuat apa, sehingga memasang wajah pias tak berdosa. Berharap Sherena mau ikut dengannya, meskipun harus berbohong dan membawa nama Reihan di sana. Sebenarnya Abdi tidak ingin berbohong, hanya saja ia malu datang sendirian padahal sudah menikah. Kalau dulu pas masih jomblo, sangat wajar ia datang sendirian. Tapi, sekarang sudah menikah dan pastinya sangat-sangat tidak lucu jika masih saja datang sendirian. "Papi?" Sherena tersentak. Sekeras apapun keinginannya agar tidak datang, tentu saja saat mendengar kata 'papi' akan membuatnya menuruti segala keinginan Abdi. Mana sanggup dia menolak keinginan sang ayah. "Iya, papi. Papi pun akan datang karena kebetulan sama-sama merupakan rekan bisnis kami di kantor," sahut Abdi. Selesai dengan bantal dan selimut, kini ia beralih ke ponselnya. Untuk melengkapi kebohongan agar lebih sempurna. Rekan bisnis yang sama. Sherena langsung menangkap ada yang tidak beres di sana. Mana mungkin sang ayah dan Abdi memiliki rekan bisnis yang sama, sedangkan perusahaan mereka bergerak di bidang yang berbeda. Reihan yang merupakan pengusaha alat berat, dan Abdi pemilik hotel berbintang lima yang tersebar di berbagai kota. Termasuk di kota tempat kini mereka tinggal. Sangat tidak mungkin mereka berdua memiliki rekan bisnis yang sama. . "Kamu pikir aku begok!" dengus Sherena dalam hati. Seraya tersenyum penuh arti, mencemooh kebohongan yang dibuat Abdi di pagi hari yang begitu cerah, secerah ide gila di kepalanya. "Ohh, baiklah … aku akan segera berkemas, dan kita akan pergi ke pesta pernikahan tersebut. Kita juga akan menjadi pasangan paling istimewa daripada yang lainnya." Sherena merangkak mendekati Abdi, dengan mata yang mengerjap tak karuan. "Tunggu aku, ya, tidak lama kok …" Abdi meneguk ludahnya. Melihat Sherena yang merangkak mendekatinya dengan senyuman merekah penuh arti. Matanya berkedip dengan cepat, memberikan sinyal peperangan yang akan terjadi dalam waktu dekat. "Segeralah berkemas." Abdi langsung bangkit dari tempat duduknya. Berpura-pura tidak tahu jika Sherena kini tengah mengajaknya berperang. Sherena mencebikkan bibirnya. Mencemooh Abdi yang kini telah kabur ke kamar mandi. Menghindari tatapan intimidasi dari Sherena yang akan meruntuhkan pertahanannya. Bisa-bisa nanti ia malah menyerah dan jujur atas kebohongan tersebut. "Ck, kalau berbohong itu harus dipersiapkan dari awal syarat dan ketentuannya," gerutu Sherena. Meraih ponselnya dan menghubungi sang ayah. Untuk memastikan firasatnya benar atau salah. "Papi jangan membela dia. Papi itu harus ingat yang menjadi anak Papi itu aku bukan dia. Jadi tolong banget, ya, Pi … jangan ada dusta diantara kita. Dusta …" "Yang menikah hari ini adalah anak dari kolega bisnis Papi. Yang menjadi rekan bisnisnya Abdi itu anaknya. Nama pengantinnya Bella dan Yogi, mereka akan melakukan resepsi pernikahan di hotel yang sama denganmu dulu," terang Reihan. Membaca isi pesan singkat yang dikirim Abdi beberapa menit yang lalu. Sherena memutar bola matanya. "Drama yang sempurna, Pi … sangat-sangat sempurna. Tapi, sayangnya aku tahu kalian berdua sedang mengerjaiku." "Terserah padamu ingin percaya atau tidak, Ren. Yang jelas Papi tunggu kamu di sana." "Ck, iya, iya, Pi …" gerutu Sherena. Langsung mengakhiri panggilannya tanpa berpamitan terlebih dahulu. Tidak sopan? Sherena tidak merasa begitu karena saat ini hatinya mengatakan ada yang tidak beres dengan keterangan Abdi dan sang ayah. Namun, tetap saja ia harus ikut agar tak dimarahi oleh ayahnya sendiri. Bagaimanapun, kemarahan Reihan adalah bencana besar bagi Sherena. Dengan hati yang lebih berat daripada sebuah alat berat, Sherena menyeret langkahnya. Membuka pintu lemari yang isinya nyaris sama satu dengan yang lainnya. Jika dilihat sekilas tidak ada yang berbeda diantara tumpukan baju tersebut. Karena didominasi oleh kemeja dan celana. Di sana tidak ditemukan blouse, rok, apalagi dress karena Sherena tidak pernah mengenakan pakaian jenis itu, kecuali saat resepsi dan acara wisuda. "Cepatlah. Kita bisa terlambat karena lokasi pesta sangat jauh dan cendrung macet saat akhir pekan seperti sekarang." Abdi yang telah selesai dengan ritual mandinya melemparkan handuk kepada Sherena yang masih tertegun di depan lemari. Melihat pakaian apa yang cocok dipakai dan melihat Abdi ingin memakai apa saat pergi nanti. Meskipun terpaksa ikut, setidaknya warna pakaian mereka senada agar tidak terlalu kelihatan jika mereka bukanlah pasangan suami-istri yang akur. Mengenaskan. "Iya, ini aku mau ngambil baju," sahut Sherena. Memutar bola matanya sekali. Tapi, ia tidak bergerak sama sekali seperti ucapannya. Abdi pun menunggu. Saat Sherena mengucapkan ingin mengambil baju. Dalam pikirannya, gadis itu ingin mengambilkan baju pula untuk dirinya. Sehingga ia tak bergerak sama sekali dan diam memperhatikan Sherena yang juga memperhatikan dirinya. "Katanya mau ambil baju?" Abdi yang telah lelah menunggu, akhirnya membuka suara juga. Karena Sherena masih saja mematung di depan pintu lemari, tanpa melakukan apa-apa. "Eh," Sherena mengerjap. "Bukannya kamu yang mau ambil baju?" "Bukannya kamu yang mau ngambilin?" Kedua alis Abdi nyaris bertaut. Sherena menggelengkan kepalanya. "Aku tidak pernah mengatakan ingin mengambilkan pakaian untukmu. Bukankah tadi aku mengatakan ingin mengambil pakaian saja, tanpa untuk sama sekali." "Astaga … Sheren. Bisa-bisanya kamu memberikan harapan palsu padaku." Dengan wajah yang memelas Abdi mendekat dan memilih pakaian untuknya sendiri. "Padahal tinggal ambil aja kan, ya, bisa-bisanya kamu perhitungan seperti itu." "Aku tidak tahu kamu mau pakai apa." "Ya, kamu kan bisa kira-kira saja apa yang bagus dan cocok untuk aku pakai ke kondangan. Lagipula mempersiapkan pakaian yang akan dikenakan suami, salah satu tugas istri." Meraih satu baju batik berwarna maroon dan celana bahan hitam. sambil misuh-misuh ia pun beranjak dan mengenakan pakaiannya. "Aku tidak tahu apa yang cocok untukmu. Dan aku juga tidak tahu salah satu tugas istri adalah mempersiapkan pakaian suaminya." Sherena menjawab dengan acuh dan meraih pakaian untuknya. Baju kemeja maroon lengan panjang dan celana jeans hitam panjang pula. Dengan percaya diri ia memasuki kamar mandi, agar bisa segera pergi ke pesta pernikahan dan selesai pula tugasnya untuk menemani Abdi. Abdi yang tidak memperhatikan pakaian yang diambil Sherena, melanjutkan untuk bersiap. Begitu selesai ia langsung turun ke bawah untuk meminta kopi kepada asisten rumah tangganya. Hal yang biasa dilakukan Abdi setiap pagi hari, dari masih lajang sampai sudah beristri pun tetap begitu. Tidak ada yang berubah dari hidupnya, kecuali tidur. Dulu tidur sendiri, kini sih sudah tidur berdua tapi, tetap ada bantal guling sebagai pemisah antara ia dan Sherena. Abdi menghela nafas berat. Meskipun kopi yang disuguhkan diberi gula, tetap saja terasa pahit karena membayangkan nasibnya. Namun, Abdi masih bisa bersyukur karena kehadiran Sherena, patah hatinya karena Viona tidak terlalu menyakitkan. Karena sudah teralihkan oleh tingkah Sherena yang begitu menyebalkan baginya. Sehingga Abdi tidak memiliki waktu untuk meratapi kepergian Viona, karena waktunya sudah habis tersita beradu argumen dengan Sherena. Setiap hari. Jam. Menit. Bahkan detik, ada saja yang akan mereka perdebatkan. "Ayo kita berangkat. Aku ingin cepat sampai dan cepat pula pulang," ucap Sherena. Yang baru saja sampai di dapur dan menenggak satu gelas air putih dingin yang baru saja dikeluarkan dari kulkas. "Sheren?" Abdi mengerjap. Memperhatikan sang istri dari ujung kaki hingga rambut. Kemeja maroon lengan panjang yang begitu longgar. Celana jeans hitam, dipadukan dengan sepatu skate berwarna senada dan rambut yang dibiarkan tergerai. Make tipis dan lip tint berwarna merah, mempertegas kecantikan yang dimiliki. Tapi, sayangnya Sherena tidak mengenakan dress agar penampilannya semakin sempurna. "Kenapa lagi? Ada yang salah?" Sherena ikut memperhatikan penampilannya dari ujung kaki ke ujung rambut. Sehingga matanya harus melihat ke atas untuk melihat poni yang menghiasi dahinya. Abdi menggeleng. "Tidak ada yang salah. Hanya saja kamu harus mengenakan dress untuk pergi ke sana. Bukan kemeja dengan jeans seperti ini." "Ck, jangan protes. Bukankah kamu tahu penampilanku seperti ini?" "Iya, aku tahu. Tapi, sekarang kamu sudah menjadi istriku, sudah sepantasnya kamu sedikit mengubah penampilan." "Meskipun aku setuju, itu tidak akan ada gunanya," sahut Sherena acuh. Tidak peduli Abdi marah ataupun batal mengajaknya. "Kenapa?" "Aku tidak pernah memiliki pakaian seperti itu. Kalau tidak percaya silahkan periksa sendiri. Dan jika kamu sudah selesai memeriksanya, susul aku ke mobil," ucap Sherena acuh. Meraih kunci mobil yang ada di dekat Abdi dan membawanya keluar. "Astaga … Sherena …!" Abdi yang tidak percaya dengan ucapan Sherena, tentu saja langsung pergi ke kamar untuk memastikan ucapannya benar atau tidak. Hingga matanya membesar melihat isi lemari yang tidak pernah diperhatikan dengan baik. Ia baru sadar lemari empat pintu tersebut tidak menyimpan dress atau semacamnya. Yang ada hanya pakaian yang mirip dengan pakaiannya. Warnanya pun tidak ada yang mengarah ke warna seorang wanita, seperti merah muda dan putih. "Sherena itu beneran wanita atau bukan, sih?" gumam Abdi. Ia benar-benar tidak percaya apa yang dilihatnya saat ini. Disaat lemari istri yang lain dipenuhi tas, sepatu dengan tumit tinggi, lemari sepatu mereka dipenuhi dengan tas ransel, sepatu pantofel dan skate. Seakan penghuni kamar tersebut tidak ada yang wanita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD