Familliar

1072 Words
Acacia membuka mata dari tidurnya ketika cahaya matahari mengenai wajahnya. Ia merenggangkan otot-ototnya mengumpulkan nyawanya yang masih ada di alam mimpi. Tiba-tiba Acacia terbangun dengan wajah yang kaget dan panik. Ia mengingat kejadian tadi malam yang menimpa dirinya, ia masih mengingat jelas sosok yang datang dan mengobrol kepadanya semalam. Hanya saja sekarang dirinya bingung, apa itu hanya mimpi atau nyata? "Arghh!! kenapa aku jadi bingung begini sih. Ya pasti itu hanya mimpi sebagai bunga tidur. Mana mungkin aku ngobrol sama cowok mempesona itu dan lebih parahnya lagi dia Raja Vampir. Ohh, No. Impossible. " Acacia mulai berbicara sendiri. Ia menganggap itu hanyalah mimpi yang belakangan ini mengusik dirinya. Acacia tidak tau saja jika itu adalah kenyataan bukan mimpi. "Aca, ada apa sayang? Mengapa kau berbicara sendiri?" tanya Rose, Acacia kaget karena tidak menyadari jika Rose sedari tadi berdiri di dekat gorden jendelanya. "Ah-, Mama ngapain di sana?" tanya Acacia, Rose mendecak. "Kau ini bagaimana sih. Mama kesini ya ingin membangunkanmu gadis nakal," jawab Rose dan menarik hidung Acacia, gemas. "Adaw. Sakit Mah," rengek Acacia, Rose menggelengkan kepala. "Ck. Cepatlah mandi, kita sarapan bersama di bawah. Yang lain sudah menunggu," perintah Rose. Acacia mengangkat tangan nya di samping pelipis nya seperti hormat bendera, "Siap bos." *** Mereka semua sudah berkumpul di meja makan. Ada Keluarga dan teman-temannya. Tapi yang membuat Acacia bingung seorang cowok yang duduk di kepala kursi meja makan.  Mengapa cowok itu duduk disana? Hey, itu tempat papanya biasa duduk dan mengapa semua orang terlihat hormat kepadanya? Emang dia siapa sehingga mereka tidak berani mengangkat wajah mereka di hadapan cowok itu, Pikir Acacia.  Acacia duduk disebelah Anora. Di meja makan sangat hening membuat Acacia jengah. Ia berpikir jika mereka tib-tiba menjadi bisu karena tidak ada yang mengeluarkan suaranya.  "Ck! Menyebalkan," decak Acacia memecahkan keheningan di antara mereka.  Sekarang semua mata menatap ke arah Acacia. "Ada Apa, sayang?" tanya Rose lembut.  "Ahh tidak, Ma. Aku hanya kurang berselera," ujar Acacia.  "Apa makanannya tidak enak?" tanya Rose.  "Bukan makanannya, tapi aku tidak berselera melihat kalian di meja makan ini," ucap Acacia kesal. "Apa kau terganggu karena kami, Queen?" tanya Rey, Acacia menganggguk.  "Ya. Mengapa kalian menundukkan wajah kalian dari tadi dan tidak ada yang mengeluarkan suara? Aku sempat berpikir kalian tiba-tiba bisu," ucap Acacia heran.  "Maaf, Queen. Jika itu membuatmu terganggu," ujar Rey. "Yaya, aku sudah memaafkan kalian. Jangan kalian tundukkan kepala kalian itu seperti ada seorang raja besar saja sehingga kalian tidak berani mengangkat wajah kalian itu," ucap Acacia membuat mereka terdiam.  "Dan kau." Acacia menunjuk cowok yg tidak di kenalnya itu, "Siapa kau? Mengapa kau duduk di situ? Itu adalah tempat duduk Papa," ketus Acacia, mereka yang berada di meja makan saling memandang.  "Aca. Biarkan saja, dia adalah tamu kita," ucap Martin memberitahu.  "Apakah harus sehormat itu, Papa?" tanya Acacia heran, Martin terdiam mendengar perkataannya.  Acacia kembali memandang cowok tersebut, "Tapi tunggu. Sepertinya aku pernah melihatmu. " Acacia mengingat-ingat nya kembali.  "Siapa kau sebenarnya? Apa kita pernah bertemu?" tanya Acacia menatap cowok yang juga menatapnya, tapi cowok itu masih diam menatapnya dengan mata tajamnya.  "Namanya Jullian, dia akan bersekolah bersama kalian sayang," ucap Rose mengenalkan jullian. "Aku tidak peduli," ujar Acacia cuek.  "Dan kau akan pergi bersamaku," ucap Jullian membuat Acacia mendelik.  "Tidak," tolak Acacia. "aku tidak mengenalimu, mengapa aku harus pergi bersamamu," tambah Acacia. "Acacia. Jaga bicaramu," tegur Martin. "Jadi Papa membelanya?" tanya Acacia tidak percaya.  Martin ingin membuka suara tapi Ia mengurungkan niatnya ketika mendapat tatapan tajam dari Jullian. "Mau atau tidak, kau akan tetap pergi bersamaku. " Bagaikan seorang raja, Perintah Jullian mutlak dan tak terbantahkan. (*memang Raja pun. Dalam dunia vampir.)  "Kak. Mengapa aku harus pergi bersamanya? Mengapa aku tidak bersamamu saja?" bujuk Acacia, Damian menggeleng.  "Tidak bisa, Aca. Aku ada urusan setelah ini, jadi kau bersama Jullian saja. Okey?" ujar Damian lembut. "Tapi aku merasa dia berbeda kak. Dia aneh," cicit Acacia, mereka semua terdiam. Semua menatap satu sama lain seperti berbicara lewat mata. Terkecuali Jullian yang masih menatap Acacia tajam. Mereka tidak menyangka jika Acacia mengatakan itu.  "Mungkin kau hanya belum mengenalnya saja." Damian mengelus pucuk kepala Acacia.  Mata Jullian berkilat marah, Damian yang sadar akan apa yang telah dilakukannya menundukkan kepalanya.  *** Mereka sedang berada di perjalanan. Acacia mengernyit, mengapa ini bukan arah jalan ke sekolahnya? Ia menatap Jullian heran, kemana Jullian akan membawanya?  Jullian menyadari kebingungan Acacia tapi ia tetap memilih bungkam dan fokus pada jalanan di depan nya. Acacia yang dilanda rasa penasaran tidak tahan lagi untuk bertanya.  "Kemana kau akan membawaku?" tanya Acacia tanpa menatap Jullian.  Jullian hanya diam mengabaikan pertanyaan Acacia. "Apa kau tuli!" Bentak Acacia, tapi tetap saja Julian bungkam.  "Aku tidak tau kau siapa. Aku merasa aneh jika berada di dekatmu. Sebenarnya siapa kau? Aku merasa kita terikat, aku tidak tau maksud dari perasaanku ini."  Jullian hanya diam mendengarkan Acacia. Ia ingin mendengar semua apa yang akan dikatakan Acacia, dalam hati Jullian tersenyum mendengar perkataan Acacia.  "Aku juga merasa kita pernah bertemu. Tapi aku tidak tau kapan itu atau itu hanya perasaanku saja. Aku merasa familliar dengan dirimu, apakah hanya aku saja yang merasakan keanehan denganmu? Dan aku merasa kau, berbeda."  Acacia menundukkan kepalanya setelah mengatakan kebingungan di hatinya. Jullian menatap Acacia sebentar dan kembali menghadap kejalan.  "Ya. Kita pernah bertemu." Kalimat yang dilontarkan Jullian membuat Acacia mengangkat kepalanya dan menatap Jullian menunggu kata selanjutnya. Tapi yang ditunggu-tunggu Jullian tidak melanjutkan kata-katanya.  "Kapan dan di mana?" tanya Acacia penasaran, Jullian menghentikan mobilnya dan menatap Acacia lekat dengan tatapan tajamnya.  Acacia kaget. Mata itu, wajah yang sama dengan mimpinya tadi malam yang mengaku dirinya Raja Vampir dan dirinya adalah Mate sang Raja Vampir.  "Itu bukan mimpi." Bagaikan tersambar petir, Acacia menatap Jullian takut.  Jadi itu bukan mimpi? Itu kenyataan? Bagaimana bisa? Tidak ada vampir di dunia modern ini, pikir Acacia.  "Ja-jadi ka-kau vam-vampir?" gagap Acacia merasa takut.  Bagaimana nanti aku digigit lalu mati dalam keadaan mengenaskan? Tidak! Aku tidak mau, aku masih ingin bersama keluargaku. Batin Acacia tekut.  "Tenanglah, aku tidak akan menyakiti Mateku sendiri," ucap Jullian datar menatap Acacia yang menatapnya takut.  "Jadi kau Raja Vampir?" tanya Acacia dengan wajah pucat.  "Ya. Dan kau adalah Ratuku," balas Jullian dan mengusap wajah Acacia.  Mata Jullian berubah merah semerah darah. Acacia dibuat kaget, ia bertambah takut. Badannya gemetar, Jullian membawa Acacia kedalam pelukannya dan mengelus rambutnya lembut.  Awalnya Acacia menegang, tapi lama kelamaan Ia mulai tenang dan merasa nyaman di dalam dekapan Jullian.  "Tidurlah. Ketika kau bangun semua akan seperti semula," bisik Jullian, bagaikan mantra Acacia pun terlelap dalam pelukannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD