4

1194 Words
Pagi ini Dave terbangun dengan keadaan sangat segar. Ada rasa dalam dirinya yang melegakan dan susah untuk dia ekspresikan. Apa sebesar ini pengaruh menikmati tubuh perawan seorang gadis bernama Nia semalam?. Tubuhnya sungguh terpuaskan. Ngomong-ngomong soal Nia, apa wanita itu sudah terbangun?--batin Dave bertanya. Dave turun dari ranjangnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah merasa segar kembali dengan pakaian santainya Dave keluar dari kamar hendak melihat kondisi wanita yang sudah dia perawani semalam. Hari ini hari sabtu dan Dave sebenarnya harus berangkat ke kantornya. Perusahaan Dave memang memakai sistem libur di hari minggu saja, tapi hari sabtu hanya diberlakukan kerja sampai jam dua belas siang. Karena baginya pegawai di perusahaannya pasti juga ingin merasakan libur di sabtu dan minggunya. Dave sudah akan sampai memasuki kamar tamu saat netranya menatap sosok Nia yang tengah berkutat di dapur miliknya. "Apa yang kau lakukan di dapurku?!" bentak Dave keras membuat Nia telonjak kaget. "Dave? Aku" "Panggil aku Tuan saat kita sedang tak melakukan s*x!" "Ma. Maaf Tuan! Saya...." "Aku tanya sekali lagi, apa yang kau lakukan di dapurku?" Nia terdiam seketika. Wanita itu langsung mematikan kompornya. Nia tadi sedang memasak nasi goreng untuk dia makan bersama Dave. "Saya, saya masak nasi goreng Tuan." jawabnya ketakutan. "Siapa yang menyuruhmu?" "Ma, maaf Tuan. Saya,,," "Selamat pagi Tuan Dave." keadaan menegangkan dua orang di dapur tadi terbuyar seketika saat salah seorang pelayan di rumah Dave tiba. Dia Reni, salah satu koki Dave. Tak hanya Dave yang terkejut dengan keberadaan Nia di dapurnya. Reni pun juga sama terkejutnya. Dalam benaknya sekarang terlintas pikiran 'sejak kapan Tuan Dave mengizinkan seseorang menyentuh dapurnya kecuali kokinya?' "Jangan pernah menyentuh dapurku kecuali kokiku sendiri.!" ucap Dave tajam. Seketika Nia terdiam dan tak bisa berkata sedikitpun. Bahkan untuk bernafas saja dia nyaris lupa. "Ma—maafkan saya Tuan! Saya..." "Ikut aku! Reni, urus segala kekacauan di sini.!" setelah memerintah Nia untuk mengikutinya dan menyuruh Reni untuk membersihkan dapur bekas guna Nia tadi, Dave berlalu pergi menuju ruang kerjanya. Nia berjalan mengikuti Dave, tapi mata gadis itu melirik ke belakang sesekali untuk melihat apa yang koki Dave itu akan lakukan. Nia shock seketika saat wanita yang tampak masih muda itu membuang semua makanan yang sudah dia buat ke dalam tempat sampah. Ingin rasanya Nia berteriak dan menangis. Apa seperti ini sifat orang kaya? Tak pernah menghargai apapun?. Nia kini sudah tertunduk. Pikirannya berkecamuk. Otaknya memerintahkan untuk pergi saja dari sana tanpa menerima sepersenpun dari Dave. Dia takut jika nanti dia menerima uang dari Dave, pria itu akan membuatnya semakin tertekan. Dia takut jika nanti uang Dave yang dia gunakan sebagai pembayaran Apartemennya membuat hidupnya nanti akan kesakitan. Dave sudah duduk di kursi kebesarannya. Layaknya boss besar yang tengah memerintah. "Bayaranmu...." "Ah Tuan. Saya...." Nia segera memotong ucapan Dave. "Tidak jadi Tuan.! Tidak usah saja!" lanjutnya. Dave mengernyit. Apanya yang tidak jadi? Apanya yang tidak usah? "Apanya yang tidak jadi?" tanya Dave tajam. Dia benci ucapannya dipotong saat berbicara. "Hmm, itu—Kita lupakan saja kalau tadi malam pernah terjadi sesuatu. Aku—aku tak bisa menerima uang anda Tuan.!" kali ini keterkejutan Dave tak bisa dia sembunyikan lagi. Apa wanita ini sudah gila?- Batin Dave. "Apa yang kau katakan?" Dave mulai mengeram marah. "Saya minta maaf Tuan, saya..." Nia kesusahan menjawab pertanyaan Dave. Otaknya masih terus memutar kejadian di dapur tadi. Sedangkan dapur saja yang dia sentuh, Dave sudah marah sampai sebesar itu. Karena itu dia berniat menolak uang Dave dan melupakan kejadian semalam walaupun dia tahu tak akan pernah bisa dia lupakan. "Kau ingin bermain-main denganku?" "Tidak Tuan, sungguh. Saya hanya—hanya" "Kau salah mencari lawan Nona. Jika kau ingin bermain denganku bukan dengan cara yang seperti ini.!" "Tidak Tuan. Saya tidak sedang mencari masalah dengan anda. Saya hanya tak bisa menerima uang anda. Saya..." "Kau tersinggung karena aku membentakmu saat di dapur?" GOTCCHAA! Tebakan Dave tepat sasaran. Nia terdiam seribu bahasa. Kepalanya tiba-tiba saja pening. Sungguh! Dia ingin kabur sekarang juga. "Jika memang itu yang membuatmu tak mau menerima uangku, maaf Nona. Saya bukan pria b******k yang menyentuh wanita tanpa memberinya apa-apa. Kau ingin Apartemenmu dilunasi dan uang untuk hidupmu selama setahun penuh kan? Saya akan mentransfernya saat ini juga. Berikan rekeningmu!" GLEK! Nia kesusahan meneguk ludahnya sendiri. Dia ingin menolak tapi tatapan Dave membuatnya takut. Dia merasa seolah Dave ingin mengatakan lewat tatapannya kalau Ia tak bisa dibantah. "Tuan saya..." "Berikan rekeningmu...!" "Tuan..." "Kau ingin berurusan dengan pengacaraku atau denganku?" Nia semakin memucat. Berurusan dengan pengacara? Apa ini ada hubungannya dengan polisi? Nania merinding ketakutan. Matanya langsung melirik ke arah mata Dave untuk menyalurkan pengertian di sana tapi Dave seolah menolak mentah-mentah tatapan dari Nia. Nia menghembuskan nafasnya kasar. Kalau sudah begini dia harus menerimanya. Tapi kenapa dia merasa hidupnya tak akan baik setelah ini? Nia yakin akan ada banyak hal yang akan terjadi nantinya, walaupun Ia belum tahu hal apa itu, yang jelas itu pasti akan membuatnya semakin kesusahan. ***** Suasana dalam ruang kerja Dave sungguh mencekam. Mungkin ini hanya bagi Nania. Karena Dave sendiri tak merasa ini mencekam. Justru lelaki itu merasa ini sangat menarik. Membuat Nania ketakutan untuk memilih menerima atau menolak. Dave menatap lekat mata wanita di depannya ini. Sedangkan Nania masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Nia memainkan jemarinya di atas paha sambil menggigit bibir bawahnya gusar. Nia memang seperti itu. Dia akan menggigit bibir bawahnya jika dia sedang ketakutan ataupun bingung. Dan sekarang, kondisi hatinya sedang merasakan kedua-duanya. "Bagaimana.?" tanya Dave tajam dan dingin. "Kenapa harus bawa pengacara?" tanya Nia balik yang masih belum mau menerima uang Dave. Dia sangat ingin lari saja saat ini, namun dirinya terikat dengan ancaman gila pria yang ada di hadapannya tersebut. "Karena kau melanggar perjanjian yang kau buat sendiri.!" "Tapi yang aku batalkan bukannya persyaratan yang kubuat sendiri? Kenapa anda harus marah? Harusnya anda bersyukur saya tak memeras uang anda.!" Nania masih bersikeras. Dave yang sedari tadi mengetuk meja dengan kuku tangannya, langsung menggebrak bahan kayu itu cukup kuat membuat Nia terlonjak kaget. Nania kembali menciut saat Dave berdiri dan melangkah ke arahnya. Menggebrakkan tangan kanannya pada meja dan meletakkan tangan kirinya pada sandaran kursi yang Nia duduki. Dave menundukkan tubuhnya guna menjangkau akses terdekat agar bisa berbicara tepat di depan Nia. "Kau tahu? Aku bukan lelaki yang mau utang budi. Saat aku menggunakan tubuhmu demi kepuasanku, aku harus membayarnya untuk semua itu. Termasuk perawanmu." bisik Dave tajam di pangkal telinga Nia. Wanita itu kesusahan meneguk salivanya sendiri. "Apalagi kau yang dengan mudahnya menjual keperawananmu padaku hanya demi melunasi apartemen dan juga untuk biaya hidupmu satu tahun. Kau pikir itu bisa kau selesaikan begitu saja?" lanjutnya. "Tapi..." "Kau terima! Atau kau berurusan dengan pengacaraku!?" Bagaimana ini? Apa yang seharusnya dia lakukan. Apa sebaiknya dia terima saja. "Itu..." "Kau terima! Atau pengacaraku?" ulang Dave. "Tuan..." "Satu...." Dave tiba-tiba menghitung maju. Nia langsung dibuat panik oleh hitungan Dave. "Dave ini..." "Dua..." "Dave..." "Ti..." "Baiklah! Baiklah. Saya akan terima!" jawab Nia akhirnya. Dia terpaksa menerimanya. Karena Nia dihadapkan dengan pilihan yang tak bagus. "Pintar.!" Dave kembali berjalan menuju singgasananya. "Halo Damian? Ke ruang kerjaku di rumah sekarang! Dan bawa surat perjanjian itu.!" Dave menutup panggilannya dan duduk kembali. Nania lagi-lagi hanya bisa tertunduk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD