Bagian Dua

1979 Words
I  believe in hate at the first sight. –Marylin Monroe             “Maliiiing!”             Anna berteriak saat menemukan seorang pria asing di dalam apartemennya. Tak ada yang tahu tentang kepindahannya ke apartemen yang baru selain Flora dan Lucas. Dan sekarang, seorang pria yang sialnya tampan tengah berada di dalam apartemennya, berdiri di depannya dengan tangan mengusap kepalanya yang nyeri terkena lemparan odol.             Lelaki itu mendongak menatap Anna yang berdiri terpaku di tempatnya. Wajahnya memerah sampai ke telinga, tampak geram dan lelah bukan main. Saat lelaki itu bergerak hendak menghampiri Anna, gadis itu spontan berteriak kencang.             “Stop! Stop! Jangan mendekat!” ujarnya sambil mengayun-ayunkan panci di tangannya. Seolah tuli, Gio tetap berjalan sehingga ia tepat berada di depan Anna, saat gadis itu lengah, dia merebut senjata satu-satunya senjata milik gadis itu—pancinya. Dia tertawa pelan melihat panic kecil menggemaskan itu, lalu menatap Anna dari atas ke bawah dengan tatapan mengintimidasi. "Harusnya saya yang nanya itu ke kamu! Apa yang kamu lakukan di apartement saya, dasar maling?" Pria itu menekankan suaranya pada kalimat akhir mencoba mengintimidasi Anna lebih jauh. "Apartement kamu?”Anna tertawa sambil membekap mulutnya, lalu tiba-tiba tawanya berhenti dan dia menatap Gio datar, “jangan ngelantur…ini apartementku!" Gio tertawa sinis tak percaya, dia lalu mengeluarkan ponselnya mencoba meng-hubungi seseorang, sedetik kemudian—saat sambungan di ujung di jawab oleh operator, lelaki itu mengumpat pelan. "Dasar sinting, ini apartement apartemen saya! Kamu lihat barang-barang yang  ada disana? Itu barang-barang saya!" Anna mengikuti arah telunjuk Gio, barang-barang pemilik apartemen yang lama—yang belum sempat di ambil—sengaja ia tumpuk di sudut ruangan agar lebih mudah ketika pemilik sebelumnya datang menjemput. Anna tidak berani mengeluarkan baraang-barang tersebut dari apartemen, berfikir pemiliknya akan segera datang. ‘Tapi kan yang jual apartement ini ke gue kemaren kan Ibu-ibu’ batin Anna, dia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Gio yang kini tampak semakin jengkel, kening pria itu berkerut, wajahnya kusam dan kelelahan. Pria itu hanya membalas pandangan Anna dengan datar, bibir tipisnya menipis kesal dan mata tajamnya itu serasa menguliti tiap lapisan kulit Anna. Tiba-tiba Anna teringat film serial killer yang baru di tontonnnya beberapa hari lalu. Pria ini selain tampan juga menyeramkan. Tunggu, dia bilang apa barusan? Anna menggeleng, menyadarkan diri, "Kamu ga liat kalo barang-barang yang kamu sebut milikmu itu bahkan udah di packing, and let we see...barang-barangku bahkan lebih banyak dari barang-barang milikmu dalam apartement ini. Tidak usah melucu malam-malam begini ya, ini waktu istirahat, aku bisa saja melaporkan kamu ke polisi!" ujar Anna menatapnya sinis. ‘Cowok sinting macam apa yang berani-beraninya masuk ke apartement orang lalu marah marah dan langsung mengklaim miliknya’? Anna tak habis pikir. Pria itu mengehla nafas gusar, jari-jari panjangnya mengacak rambutnya kesal. "Fine, kalo ini emang apartement kamu…mana surat-suratnya?" tanyanya lalu bersidekap menatap Anna. Anna terdiam sebentar, lalu saat melihat senyuman kemenangan di bibir pria itu, ia segera berlari ke kamar dan mengambil semua surat-surat apartement miliknya. Saat keluar dari kamar, dia melihat pria itu tengah berdiri sambil menyembunyikan sesuatu dibelakang tubuhnya. Anna segera berjalan ke arahnya dengan kecepatan penuh dan saat beberapa langkah di depannya gadis itu segera memperlihatkan surat-surat miliknya serentak dengan gerakan tangan Gio yang ternyata juga memperlihatkan surat-surat kepemilikannya. Dan, hell, mereka memiliki surat yang sama persis. *** ‘Haha, Okay you gotta be kidding me!’ Gio tertawa sumbang, jari-jari panjangnya kembali lari dan mengacak rambutnya. Ia tau ini kerjaan siapa. Siapa lagi kalau bukan Omanya tersayang, di dalam otak Gio cuman Omanya yang punya ide selicik ini. Menjual apartement? Bukan tidak mungkin. Wanita penghujung 50 tahun itu akan melakukan apapun agar Gio kembali kerumah, dan tinggal bersamanya. Ngomong-ngomon tentang Oma, orang tua penyayang itu memang sudah lama tidak ke Jakarta,  sudah hampir 5 tahun.  Dan saat dia berkunjung dan ingin menetap di rumah orangtua Gio, pria yang notabene adalah cucu semata wayangnya tidak lagi tinggal di rumah, tentu saja itu membuat sang Oma bersedih dan berkali-kali meminta cucunya untuk tinggal di rumah lagi. Tapi Oma harusnya mengerti, Gio tidak bisa lagi seperti anak bujang yang selalu mengandalkan orang tua, jarak rumah ke kantor sangat jauh, berbeda dengan dari apartemennya ini. Dari sini, Gio bisa menghemat beberapa menit untuk istirahat sebelum berangkat ke kantor. Walaupun seperti itu, dia juga sudah berjanji untuk mengunjungi Oma setiap akhir pekan, tapi ternyata Oma punya ide lain untuk membuatnya pulang dan memutuskan untuk kembali tinggal di rumah. "So, kayaknya sekarang sudah jelas ya kalau ini adalah apartementku. You may go out, pintu keluarnya masih di sana!" ujar Anna, membuat Gio yang sedari tadi menatap kertas-kertas mereka mendongak. Gadis itu sudah mendapatkan kembali pancinya. "Ga bisa. Saya juga punya surat yang sama persis seperti yang kamu punya, kenapa harus saya yang keluar, kenapa bukan kamu?" Gio mengatupkan rahangnya dan menatap Anna sebal. "Karena aku udah mahal bayar buat apartemen ini, aku juga sudah menyuruh orang untuk memperbaiki kerusakan di apartement ini, kamu tau ga sih kalau kamu itu jorok banget? Toilet rusak aja ga di baikin!" semprot Anna berapi-rapi. Gio melongo. Ya, dia tau hal itu, hanya saja dia belum sempat untuk memperbaikinya karena banyaknya kerjaan yang harus diurus, dia juga yakin, bahwa gadis itu pasti telah membayar mahal untuk apartement ini,  namun berhubung karena dialah pemilik asli apartement ini  dan sama sekali belum tahu-menahu tentang 'penjualan' gelap ini, tentunya dia masih memiliki hak penuh atas apartemen ini!         "Saya juga bayar! Kamu pikir apartemen ini dulu saya beli pakai daun? Tidak, pokonya saya tidak mau tau, ini apartement saya, kamu yang harus keluar!" final Gio, dia bersidekap menatap Anna dengan satu alis terangkat. Tiba-tiba gadis itu memukuli Gio dengan pancinya dan menatap Gio dengan wajah menakutkan. Alis mengerut, bibir mengerucut, napasnya terdengar keras seperti dengusan banteng. Gio mundur beberapa langkah. "Kamu ngeselin banget sih,  apa salahnya kalau kamu yang keluar? Cari apartement lain! Kemaren aku udah ngasih uang sama Ibumu, nah kamu minta saja sana sama dia, beli apartement baru!" Gio yang tadi tersudut kembali menegakkan kepalanya, dia melangkah sehingga membuat Anna sedikit terdorong kebelakang. "Tidak mau, tidak akan mau! Ini apartement saya!' ujarnya tak mau kalah,  dia melipat tangan di depan d**a dan menatap Anna dengan tatapan menantang. Giliran Anna yang terdiam. Semua ini tidak akan selesai jika salah satu dari mereka tidak ada yang mengalah, dengan sifat mereka yang sama-sama keras kepala, sama-sama tidak ada yang mau mengalah perdebatan ini akan berlangsung sampai pagi. Sementara itu, Anna tau mereka berdua sudah sangat lelah, pria itu sudah seperti akan tumbang dalam beberapa menit. Jadi, demi menyelamatkan hari kepindahan yang sudah lama ia tunggu-tunggu, demi esok pagi yang indah tanpa sirine polisi dan ambulan, serta kemungkinan munculnya koran dengan headline berita tentang mereka, Anna akhirnya mencoba bernegosiasi meskipun rasanya sangat berat. "Fine! Lets make a deal…” ujarnya, menarik perhatian Gio, wajah lelahnya menatap Anna lekat. “Karena kamu juga punya surat yang sama persis dengan milikku, aku akan memberikan keringanan, kamu boleh tinggal di apartementku-" "Kenapa apartement kamu, ini kan apartement saya?" Potong Gio tak mau kalah,  Anna seketika mendelik tajam membuat pria itu akhirnya memilih bungkam. "Fine then, untuk sementara ini boleh jadi apartement kamu juga--" Ujarnya hampir berbisik namun Gio masih bisa mendengarnya dan mendengus kecil.  Mereka sudah duduk di sofa empuk ungu milik Anna dan mencoba memutuskan untuk membicarakan ini dengan kepala dingin seperti orang dewasa pada umumnya. "Aku benar-benar ga tahu kesialan apa yang menimpa ku hari ini, sampai-sampai harus berbagi apartement sama cowok aneh sepertimu.” Gio menatap Anna dengan satu alis terangkat, gadis itu berdecak, membuat Gio lagi-lagi bungkam seketika. ‘Ya tuhan kenapa aku terkesan takut sekali dengan dia?’ batin Gio mendelik sewot dan kembali memusatkan perhatiannya ke arah kertas kosong yang berserakan di atas meja tamu. "Yang pertama, namaku Anna, kamu?" "Kenapa, untuk apa?" "Untuk berkomunikasi, bapak. Situ mau dipanggil oi, oi, maling?" Anna kesal. “Gio!" ujar Gio datar, sebenarnya sudah sangat malas. Hilang sudah rencananya untuk tidur pulas. Gadis itu segera menuliskan nama Gio ke kertas dan menulis namanya di sisi lain. "Ada beberapa aturan yang harus kamu patuhi saat menumpang di apartement ini. Kita butuh ground rules,setidaknya sampai masalah ini diselesaikan, mengngat kita ounya berkas yang sama. Aku piker ini akan membutuhkan watu yang ama untu mengurusnya.” Anna menatap Gio. “Yang pertama yang harus kamu ketahui, ini apartemenku, kamu cuman numpang,  jadi segala sesuatu yang terjadi di sini harus seizinku—" "Tunggu-tunggu…" Gio menyela, jelas-jelas dia tidak setuju dengan peraturan konyol ini. Apapun alasannya, ini juga apartemennya kan? "Tidak bisa seperti itu, ini kan apartement saya juga. Seharusnya kita menentukan peraturanya sama-sama!" Anna menatap lekat, "Untuk ukuran cowok kamu termasuk cerewet juga ya?  Padahal kukira awalnya kamu itu cowok kalem, dingin, dan ga banyak omong. Ternyata kemasan bisa menipu, huh? " Anna mendengus, memutar-mutar pena itu di ujung jarinya, sementara matanya kembai memerhatikan wajah Gio yang memerah, menurutnya itu lucu sekali. Makanya sedari tadi dia senang sekali membuat pria itu kesal. Lihat saja sekarang, pria itu berkali-kali menghela nafasnya dan lagi-lagi mengacak rambutnya yang sudah kusut masai. Di sisi lain, Gio tidak tau harus merasa tersanjung atau terhina, dia memutuskan untuk tidak menghiraukan ucapan Anna dan merebut pena dari tangan gadis itu, mulai menulis peraturan pertama. Mengambil alih. "Yang pertama, semua hal yang terjadi di apartement ini harus dengan izin ke dua pihak, masalah yang diperbuat dipertanggung jawabkan oleh masing-masing pihak, Deal ?" Anna memutar bola mata dan mengangguk pasrah. "Yang ke dua, dilarang mengusik privasi pihak lain." "Cih, siapa juga yang mau ngusik privasi kamu? Hellooo, aku punya urusan lain dari pada ngurusin mahluk sepertimu..." Anna mengambil pena dari tangan Gio dan menulis peraturan ke tiga. "Makan dan biaya hidup ditanggung sendiri..." "Fine, Yang Keempat, dilarang membawa tamu ke apartement pada malam hari,  jam malam berlaku sampai 23.30." Gio sudah merebut kembali pena dari tangan Anna dan menulis peraturan ke empat. Anna langsung protes dan menatap Gio tidak percaya. Jam Malam, yang bener saja! "Ga adil, kamu kira aku anak gadis tujuh belas tahun pake jam malam segala? Ga, ga, ga ada…itu privasi masing-masing aku ga setuju sama peraturan ini, hapus!" Gio menahan tangan Anna yang hendak mencoret peraturan nomor empat,  Anna mendelik sewot. "Tidak bisa,  saya tidak mau ada orang asing di apartemen saya. Kalau kamu tidak suka, kamu boleh cari apartemen lain!" "Egois!" Gio mengangkat bahu acuh, dan tersenyum miring, dia kembali menulis beberapa peraturan lain yang direspon Anna dengan anggukan tak acuh. Sampai akhirnnya, pria itu membuat peraturan terakhir yang terpenting dari yang terpenting.  "DILARANG JATUH CINTA DINTARA KEDUA BELAH PIHAK!!" Peraturan terakhir itu di tulis dengan huruf capital dan ditebalkan. Terpenting dari yang terpenting. Gio tidak terkejut mendengar tawa menggelegar dari gadis di depannya, gadis itu memegang perutnya dan telunjuknya menunjuk-nunjuk Gio tak percaya. "Jatuh cinta? Sama kamu? Hahaha, ngimpi!" gadis itu masih saja tertawa terpingkal-pingkal membuat Gio tersinggung. "Siapa tau aja, you dont know the future, sekarang kamu bisa bilang tidak, siapa tahu nantinya kamu kepincut sama saya!" ujarnya percaya diri. Anna mencoba meredam tawanya dan menatap Gio lekat, tampang seriusnya yang membuat Gio bergidik "Tenang aja,” ujarnya penuh keyakinan.“Cinta adalah hal terakhir yang pernah terlintas di benakku. Aku tidak akan pernah jatuh cinta, apa lagi kepadamu. Saat itu terjadi adalah saat dimana langit memuntahkan bakso yang sangat banyak!" Mata Anna berkilat-kilat, seperti mengucapkan ikrar akan membuktikan ucapannya sampai titik darah penghabisan. Gio terdiam sejenak, dia menyandarkan punggungnya ke sofa, lalu menatap Anna dengan tangan terlipat di d**a. "Saya pegang omonganmu." *** Setelah sekumpulan aturan yang mereka buat semalam suntuk itu selesai, Gio dan Anna memutuskan untuk menempelnya di ruang tengah, ditanda tangani oleh keduanya dengan sanksi; apabila salah satu dari mereka melanggar, maka yang melanggar harus angkat kaki dari apartement. Entah sudah menjadi takdir atau sebuah kesialan. Mereka dengan mudah menerima kenyataan untuk tinggal satu atap hingaa permasalahan mereka diselesaikan. Ego masing-masing membuat keduanya enggan mengalang dan memilih jalan palin mudah tanpa memikirkan efek yang akan mereka terima kedepannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD