Bagian Tiga

2251 Words
“Never trust what you can only see, even a salt look like sugar.” Semuanya berjalan lancar, sesuai yang mereka harapkan, Anna dan Gio tetap menjalani kehidupan masing-masing walaupun ada masalah kecil yang mengusik mereka, dan beberapa peraturan terasa longgar karena keduanya pun sering melanggarnya.  Terutama pada biaya hidup dan makan di tanggung masing-masing yang  tidak benar-benar berlaku karena Gio sering meminta—lebih tepatnya menyuruh Anna memasak sesuatu untuknya, atau Anna akan ketahuan sedang memakan beberapa snack yang di simpan pria itu di dalam kulkasnya. Proses kepemilikan apartemen ternyata berjalan lebih lama dan lebih rumit dari yang diperkirakan keduanya, sehingga sampai saat ini keduanya masih berbagi tempat tinggal. Meskipun begitu, Anna tidak begitu merasakan kehadiran Gio di apartemennya, pasalnya pria itu lebih suka menghabiskan waktunya di dalam ruang kerja atau dia akan lembur semalaman di kantornya.  Dan Anna yang notabennya adalah pengangguran, setelah beberapa bulan di wisuda—hanya menghabiskan banyak waktunya untuk bermalas-malasan, atau baru-baru ini dia menemani Flo untuk memeriksakan kondisi kandungannya atau sekedar melihat perlengkapan untuk calon bayinya.   Hah, ngomong-ngomong tentang kedua pasangan bodoh itu, mereka akan segera menjadi orang tua, for God's sake, Anna tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, saat Flo menemuinya langsung pada malam hari dengan wajah sumringah, dengan Lucas yang memperhatikannya dari ambang pintu dengan mata setengah terbuka, karena sangat mengantuk. Wajar saja, saat itu sudah setengah sebelas malam dan Flo ngotot untuk menemui Anna, mengatakan dia tengah hamil 5 minggu. Untung saja waktu itu Gio tengah lembur di kantornya, kalau tidak dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi, pria itu pasti akan langsung menceramahinya tanpa lelah. Satu lagi sifat aneh Gio yang Anna ketahui setelah beberapa hari tinggal bersama. Walaupun pertemuan mereka dapat di hitung jari, namun Gio selalu memberikan kesan khusus setiap kali mereka bertemu, kepada Anna. Pria itu cerewet. Sangat. Dia dapat berceramah sampai setengah jam hanya karena Anna lupa menutup selai kacang dan membiarkannya di penuhi semut, atau Anna yang mandi di kamar mandinya dan memakai samponya. Dia adalah seorang perfectionis, herannya semua yang ia lakukan tidak pernah mencapai kata sempurna.  Di saat ia memarahi Anna yang lupa menutup selai, dia sendiri juga akan melakukannya, Gio yang lupa mencuci piring kotornya setelah makan atau berteriak saat tidak menemukan remote yang jelas-jelas berada di saku kemejanya—karena takut Anna akan merebutnya.  Pria itu sangat aneh dan anehnya lagi, Anna menikmati ke anehannya. Seperti pagi ini, sudah pukul sebelas pagi namun Gio belum juga keluar dari kamarnya.  Padahal dari kemaren dia berkoar-koar di ponselnya tentang meeting penting pukul Sembilan hari ini .Anna sebenarnya tidak begitu peduli,  dia masih marah atas kejadian beberapa hari lalu, dimana Gio hampir saja menghilangkan nyawa mereka berdua. Dia tertidur saat memasak mie pada tengah malam, untung saja Anna terbangun dari tidurnya dan mematikan kompor, kalau tidak, mungkin saat ini mereka hanya tinggal nama. Anehnya lagi pada saat itu, harusnya Anna yang mengomelinya namun Gio yang terlebih dahulu mengomelinya karena menghabiskan snack yang ia belia sehingga Gio harus memasak mie ketika lapar di malam hari. Sudah beberapa jam berlalu, namun Gio belum juga menampakkan batang hidungnya, pria itu bahkan tidak keluar untuk makan siang. Anna merenggut sebal, kenapa dia harus khawatir dengan pria yang mendekam diri di kamarnya seperti anak baru gede putus cinta? Satu jam kemudian, ketika Gio tidak juga menampakkan batang hidungnya, Anna akhirnya memutuskan untuk memeriksa kamar pria itu. Dengan gerakan pelan, dia membuka pintu kamar Gio, namun sama pria itu tidak ada, ranjangnya masih rapi seperti tidak ditiduri, padahal lelaki itu jelas-jelas pulang tadi malam. Anna memeriksa kamar mandi namun Gio juga tidak di san. Pada qkhirnya ia memutuskan untuk memeriksa ruang kerja pria itu,  ruang yang tidak pernah dimasukinya lagi semenjak Gio mengklaim bahwa itu adalah daerah pribadinya, dan Anna tidak boleh mendekat bahkan hanya dalam radius satu meter. Anna memutar knop pintu, dan sedikit berteriak girang karena tidak dikunci. Dia mengendap-ngendap masuk kedalam ruangan bernuansa cream itu, di setiap sisi dipenuhi oleh rak-rak buku dan sebuah jendela besar di samping kanan. Di sana Anna menemukan Gio tengah meletakkan kepalanya ke atas meja, seperti orang tertidur. Punggungnya bergerak naik-turun dengan teratur, Anna mendekat dan terkesiap saat Gio bersuara. "Saya kan sudah bilang tidak boleh ke sini!" Anna hanya memutar bola matanya malas dan tetap meneruskan langkahnya, menghampiri Gio yang tidak bergeming dari tempatnya, pria itu bahkan tidak repot-repot untuk menoleh dan menatap Anna. "Aku juga ga bakalan masuk kalau—" Anna mengatupkan bibirnya.Apakah tidak apa-apa mengakui kalau ia sedikit khawatir tentang pria ini? Apakah nanti pria ini mengira Anna jatuh cinta padanya, menginga6 pria itu mempunyai rasa percaya diri yang tidak tertolong. Tau apa yang lebih berbahaya dari anakonda? Ya dia, pria tampan yang tau dirinya tampan. Ah tidak, tidak. Hal itu tak boleh terjadi, walau pun ada kata ‘sedikit khawatir’ di sana. Gio pasti akan tetap besar kepala. "Kalau apa?" Tanya Gio, dia masih membenamkan kepalanya di meja, sebelah tangannya memegang perut, namun Anna tak menyadari itu karena terlalu jengkel. “Kalau—ngg, aku mau mengajak teman-temanku ke sini malam ini!” alasan itu meluncur begitu saja dari mulut Anna, tapi, seperti orang tuli, Gio sama sekali tidak menghiraukan, membuat gadis itu semakin kesal, Anna mendekat beberapa langkah. “Hei! Halo, dengerin kek!” Masih sama, tidak ada gubrisan dari pria di depannya. Gadis itu melontarkan beberapa kata untuk membuat Gio bangun dan membalas ucapannya, seperti yang sudah-sudah. "Dasar pria kulkas, manusia homo paling nyebelin yang pernah exist, pacaran aja sana sama kerjaanmu, aku ga peduli, yang jelas hari ini, apertemen ini milikku pribadi, terserah kamu mau tidur dimana!” Setelah melontarkan kata-kata berisi nada jengkel itu, Anna menatap onggokan mahluk menyebalkan di depannya, dia tidak bergeming sedikitpun, karena kesal yang rasanya sudah menghabiskan seluruh porsi kesabaran di dalam hati, Anna berbalik dan meninggalkan ruang kerja Gio, mulutnya komat-kamit mengucap sumpah serapah. Sesampainya di pintu, suara berdebum seperti gajah jatuh terdengar, menahan langkah kaki, gadis itu segera berbalik dan betapa terkejutnya ia saat enemukan Gio tergeletak di lantai, bergelun seperti bayi. “Engh-“ Gio meringis menekan perutnya dan saat itulah Anna menyadari kalau wajah Gio sangat pucat dan keringat membasahi seluruh tubuhnya. Pria itu masih memakai kemeja yang dipakainya kemarin pagi, saat berangkat kerja, dasi masih terpakai acak-acakkan. Anna mendekat beberapa langkah lagi. "K-kamu, kenapa?" Tanya Anna, suaranya dengar bergetar saat menanyakan keadaan Gio. Pria itu tidak menjawab, dia hanya meringis dan makin menekan perutnya kuat. Melihat itu Anna segera berlari ke arahnya, merasai panas tubuhnya. "Kamu demam, ya ampun Gio!" Anna histeris melihat Gio mengerang kencang dan menelungkup.  "Kamu bisa jalan?" Tanyanya pani, sedetik kemudian Anna menyesali keputusannya untuk bertanya. ‘Ah, bodoh! tentu saja dia tidak bisa, jangankan untuk berjalan, beridiri saja, mungkin pria ini tidak sanggup. Lalu apa yang harus aku lakukan?’ Anna membatin. Akhirnya Anna hanya bisa mondar-mandir di dekat Gio yang masih mengerang sakit, mencoba untuk mencari jaln keluar yang tepat. Dia melirik Gio sekali lagi, pria itu punya badan besar, mungkin dua kali lipat badan Anna, tidak mungkin kan, Anna menggendonnya ke kamar. Kehabisan akal, Anna pun mencoba untuk mendudukkan Gio, sedikit susah, karena cowok itu sama sekali tidak mau membantu. Tubuhnya yang jauh lebih besar dan berat dari Anna terhuyung kesana-sini, saat Gio akhirnya terduduk, Anna menghela nafas panjang, menghapus keringat di dahi. Gadis itu kemudian berjongkok di depan Gio, menarik tangannya agar mengalung di leher Anna lalu berdiri. Gio kini sepenuhnya menumpukan berat tubuhnya pada gadis berbadan mungil itu. Tiba-tiba, adegan ini mengingat kan Anna dengan adegan putri Fiona yang sedang menggendong Shrek. Bedanya, Anna tidak memiliki tenaga kuda seperti putri Fiona untuk menggendong raksasa seperti Gio. Dengan hati-hati Anna menuntun langkah Gio, hembus nafas pria itu tepat di telinganya,  membuatnya bergidik.  Belum lagi erangannya saat menahan sakit. Ah, sial! Kamar Gio terasa jauh sekali, saat ini,  Anna sempat menyenggol beberapa vas dan hampir memecahkannya. Butuh perjuangan besar untuk membawa bayi besar itu kembali ke kamarnya. Anna memastikan bahwa Gio harus membayarnya nanti, saat pria itu sudah sembuh. Sesampainya di kamar pria itu, Anna merebahkan Gio di ranjangnya,  membuka dasinya yang masih terpakai dan membuka kemejanya yang telah basah oleh keringat. Anna membuka kemeja dan celana kerja Gio dan dengan segera menyelimutinya.  Anna bermaksud bangkit, untuk kedapur mengamblkan air untuk mengompres Gio, tetapi Gio meraih lengannya, menariknya untuk kembali terduduk di ranjang. Jantung tak tahu malu Anna langsung berdetak gila-gilaan, apalagi di jarak sedekat ini Anna dapat mencium bau aftershave yang entah kenapa masih meguar dari tubuh maskulin Gio. "Di sini aja, jangan tinggalin-" ujarnya serak dan terlihat begitu lemah. Entah kenapa, melihat kondisi Gio seperti ini, terlihat manis di mata Anna. Biasanya, pria itu hanya bisa mengomel, mengeluh dan cerewet minta ampun setiap kali mereka bertemu. Namun saat ini, Anna rela deh menunggui pria itu berjam-jam. "Aku ke dapur bentar, nanti ke sini lagi." Anna menjelaskan, pipinya bersemu tanpa alasan yang pasti. Akhirnya, Gio melepas cengkeraman tangannya pada tangan Anna, dengan perasaan yang meletup-letup tak karuan, Anna segera berlari ke dapur, mencari sesuatu yang bisa dijadikan untuk mengompres Gio. Demam Gio sangat tinggi dan satu-satunya hal yang Anna tahu untuk menurunkannya adalah dengan mengompresnya. Gio diam saja ketika Anna meletakkan kain yang telah di basahi air dingin itu di keningnya, tangan Anna merapikan anak rambut Gio yang menghalangi. Ketika Gio tiba-tiba menarik tangannya dan mengenggamnya erat di d**a Anna terkesiap, membulatkan mata. Pria mengigau menyebut sesuatu yang tidak bisa Anna dengar dengan jelas, hanya gigauan kecil, disela gemeretak giginya seperti kediginan. Anna memberanikan diri untuk mengelus rambutnya, mencoba membuat Gio tenang dan ajaibnya membuat pria itu diam, Gio tidak lagi menggigau namun tangannya masih di mengenggam tangan Anna dengan erat.   Sesekali Gio masih meringis sakit, namun saat Anna mengelus rambutnya dia akan kembali tenang.  Ini adalah pengalaman pertama Anna  merawat orang yang sedang sakit dan  dia rasa, ini tidak seburuk yang dia kira sebelumnya. Karena sudah hidup sendiri di umurnya yang bahkan belum mencapai angka belasan, Anna jadi kurang pengalaman tentang merawat orang lain. Dia tidak keberatan merawat Gio, walaupun ini terasa sedikit membosankan dan membuatmu mengantuk. Tapi lagi, ini tidak benar-benar seburuk apa yang ada di pikirannya. Suasana yang tenang dan hembus nafas Gio yang teratur membuat Anna tak kuat menahan rasa kantuk yang menyerang, dia memutuskan untuk menutup mata sebentar dan bersandar di pinggir ranjang,  mungkin beberapa menit cukup untuk menghilangkan kantuk, pikirnya. Ya,  hanya beberapa menit. *** Gio mengerjap membuka matanya yang terasa berat, kepalannya masih pusing, namun tidak separah yang tadi. Dia menoleh ke arah samping dan menemukan Anna tertidur dengan posisi yang tidak mengenakkan. Gio menatap lama, gadis itu pasti kesulitan merawatnya sedari tadi, meskipun sempat berfikir Anna akan tega membiarkannya sakit, ternyata Anna tidak sekejam yang dia kira. Gio bangkit dari tidurnya, merasakan perutnya yang masih nyeri karena Magh yang kambuh tadi malam,  sampai sekarang dia belum makan sedikitpun dan juga tidak berminat untuk makan sama sekali. Dia hanya sedang malas makan, itu saja. Matanya menelisik Anna yang tertidur lelap di sampingnya "Ah,  enapa dia tidak kembali ke kamarnya saja sih, merepotkan!" Berbeda dengan nada kesal yang dilontarkannya, Gio malah tersenyum sambil mengangkat tubuh gadis itu untuk berbaring di sampingnya.  Ya, dia pasti sudah gila.  Gio menyelimuti Anna dan ikut berbaring di sampingnya,  menatap wajah Anna yang terpantul cahaya lampu tidur di dekat ranjangnya. Entah kerasukan apa, Gio menyentuh wajah cantik itu, mengelusnya dan memperbaiki rambut nakal yang menutupi pesona kecantikannya. Gio mendekat dan meninggalkan kecupan kecil di kening Anna. Sedetik kemudian, dia membulatkan matanya,  menyadari apa yang baru saja ia lakukan.  Tidak salah lagi,  dia pasti sudah kehilangan akal sehatnya. Gio memukul kepalanya beberapa kali dan menyembunyikan tubuhnya ke dalam selimut yang ia pakai bersama Anna, menyusul Anna ke dunia mimpi tanpa khawatir akan kejadian besar di hari esok. *** Wanita paruh baya itu mengerjap saat memasuki apartement putra semata wayangnya. Sedari tadi malam, perasaannya tidak enak dan dia selalu teringat tentang anak semata wayangnya itu. Gio berjanji pulang kemaren sore, namun hingga pagi tadi, pria itu sama sekali tidak memberi kabar, membuat Elni semakin khawatir. Karena takut terjadi sesuatu pada Gio, dia akhirnya memutuskan untuk mendatangi Gio langsung ke apartemennya.  Butuh waktu yang cukup lama untuknya bisa ke sini karena Mamanya yang sedari tadi tidak membiarkannya kemanapun, namun Elni tetap ngotot menemui Gio ke apartemennya. Elni berjalan ke arah dapur, memindahkan masakan yang di bawanya di dalam rantang ke dalam piring. Perasaannya sedang baik saat ini, dia sudah sangat merindukan Gio, karena anaknya yang bengal itu sudah hampir satu bulan tidak mengunjunginya. Bersenandung riang, Elni  melangkahkan kakinya ke arah kamar yang ia ketahui di tempati oleh Gio, berniat member kejutan. "Gi, kamu di dalam?" Elni memutar knop pintu dengan pelan,lalu terkaget karena pintunya sama sekali tidak dikunci. Tersenyum senang, ia melangkahkan kakinya masuk lebih dalam ke kamar putra kesayangannya. Namun, langkah Elni terhenti saat melihat sosok lain yang tengah tertidur di samping putranya. Seorang gadis dan berpelukan dengan putranya. Dan, oh tunggu, Gio! Kemana bajunya? Elni hampir saja berteriak namun mengurungkan niatnya, dia tidak mungkin mempermalukan dirinya di depan gadis yang mungkin saja, adalah calon menantunya, namun dia benar-benar tidak bisa menahannya lagi saat menyadari gadis itu juga hanya di memakai tanktop bewarna babypink, dan ah, dia tidak bisa membayangkan lebih jauh apa yang telah terjadi. Menyandar di lemari di belakangnya, Elni menstabilkan detak jantungnya yang memacu lebih cepat. Mengetahui putra kecilnya sudah begitu dewasa, membuat perasannya tidak karuan.Setelah merasa nafasnya mulai stabil, Elni mendekat ke arah dua insan yang tertidur lelap itu, dan pada hitugan ketiga ia menyibakkan selimut yang menutupi keduanya, membuat Gio seketika terjaga, dua mata memerah menatap kaget. "Gionino Putra Febrian! Kamu harus jelaskan ini sama Mama!!" "M-Mama!?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD