“Ya Tuhan, syukurlah kamu sudah siuman, Nak.”
Gilly menatap bingung dengan keberadaan Fransisca Johana Bachmeier, ibu mertuanya. Tunggu sebentar….
Gilly mengedarkan pandangannya, gadis malang itu memang sedang tidak bermimpi. Ini alam nyata bukan alam lain di mana Gilly berpikir kemungkinan dia mati dan menyusul sang ayah.
Nyatanya sekarang ini dia terbaring lemah dengan selang infus yang terpasang. Ini pun bukan di rumah sakit seperti yang Gilly kira melainkan di dalam kamarnya.
“Nak…” Fransisca kembali memanggil, sekalipun Gilly bukan menantu kesayangan. Tetap, dia menantu keluarga Bachmeier.
Gadis itu terdiam, tatapannya kosong. Wajah cantiknya pun terlihat pucat.
“Ya, Mom….” Jawab Gilly, lemah.
Gilly menatap ibu mertuanya yang terlihat sedih, bola matanya terlihat berembun. Dari tatapan sendu nan tulus itu, lagi lagi membuat Gilly bertanya.
Sebenarnya apa yang terjadi sebelum dia tidak sadarkan diri, yang Gilly ingat jika tadi dia mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya.
“Gilly harus kuat ya, Nak. Ikhlas dengan cobaan hidup.” Gilly mengerjapkan mata lambat pandangi sang mertua.
“Mommy, yakin suatu saat nanti kamu pasti akan mendapatkan penggantinya,” kata Fransisca seraya menepuk punggung tangan Gilly.
Hembusan nafasnya yang teratur, Gilly mencoba mencerna perkataan sang mertua. Dalam hati, dia menerka apa yang dikatakan Fransisca. Apa mertuanya sekarang tahu jika putranya itu selama ini sering menyiksanya.
Jika benar, seharusnya bukan perkataan itu yang wanita senja itu katakana padanya. Entahlah apa maksud dari katakana akan mendapatkan penggantinya itu, dia masih bingung.
Mata Gilly melotot ketika menangkap sesuatu dari otaknya.
Apa Gabriel mati?
Ah, itu sangat impossible jika seorang iblis seperti Gabriel Jork Bachmeier mati. Siapa juga yang mampu membunuh lelaki itu di kediamanya yang diawasi banyak bodyguard suruhanya itu, tentunya tidak ada kan.
“Jangan nekat bunuh diri seperti ini karena kamu kehilangan janinmu, Nak.”
Gilly kembali melotot, kaget. Pandangannya tak lepas menatap Fransisca. Cukup lama Gilly terdiam seraya mencerna perkataan Fransisca dengan baik akhirnya si pelaku muncul dibalik pintu dengan ekspresi yang menakutkan.
“Jangan diingatkan, Mom. Gilly pasti masih syok. Dia belum percaya kalau calon anak kita tidak bisa diselamatkan. Padahal baru tadi siang kami mendapatkan kabar bahagia.”
Lelaki itu turut duduk di samping Gilly seraya mengecup keningnya.
“Aku memecat semua pembantu kita, Hone. Mereka lalai membersihkan lantai kamar mandi sehingga kamu terjatuh dan keguguran.”
Gilly menatap kosong, Gabriel tersenyum tipis lalu merangkul sang istri.
“Dokter Gina baru saja selesai tindakan. Eh, kamu malah ingin menyusul calon anak kita dengan cara menyayat tanganmu,” ujar Gabriel, santai.
Iblis memang iblis, lelaki itu begitu pandai berakting layaknya actor hollywood.
Saat pandangan mereka bertemu setelah Gilly siuman, Gabriel menunjukkan aura permusuhan. Tetapi lain halnya kali ini, lelaki itu terlihat bersedih di depan kedua orang tuanya begitu juga dengan saudara Gabriel yang berdatangan dan masuk ke dalam kamarnya.
“Ikhlaskan anak kita, Honey. Jangan berbuat bodoh lagi,” bisik Gabriel, membuat beberapa yang melihat keadaan Gilly pun ikut sedih.
“Maafkan Mommy tidak pernah datang mengunjungimu ke sini, Nak. Seandainya Mommy sering menjengukmu dan mengetahui kamu sedang hamil Mommy pasti peringatkan pelayan mansion ini agar tidak teredor bekerjanya.”
“Mom….”
Clarisa Bachmeier merangkul wanita senja itu, satu tangannya ikut menggenggam tangan Gilly yang terdiam membisu. Clarisa pun ikut menguatkan kakak iparnya.
“Jangan sedih terus ya, Kak. Minta sama Kak Gabriel lagi buat kerja keras bikin anak lagi. Pasti Kak Gilly akan kembali dikaruni anak.”
Gilly bergerutu di dalam hati begitu dengan Gabriel di sampingnya.
“Cepet sembuh ya, Kak.”
Gilly berikan anggukan sebagai jawaban, dalam hati Gilly merutuki Gabriel yang begitu kejam berbohong pada keluarganya dengan kabar keguguran ini pada keluarganya.
“Sudahlah, kalian jangan menangis seperti itu nanti Gilly ikutan sedih juga,” hardik Ronald Bachmeier. “Sudahlah kita keluar dari kamar, biarkan Kakak mu itu untuk beristirahat,” ujar Ronald kembali.
Semua anggota keluarga keluar, meninggalkan Gilly dan Gabriel di dalam kamar. Pria itu menarik nafanya dalam-dalam seraya menutup pintu kamarnya.
“Kenapa kamu harus bohong pada mereka, Gab?”
Pria itu berjalan mendekat, lalu duduk di tepi tempat tidur. “Apa aku harus jujur pada keluargaku, hm?”
Tidak ada lagi tatapan teduh yang ada kilatan mata yang tajam membuat Gilly menghela nafasnya dalam-dalam.
“Apa aku harus mengatakan pada mereka kalau kau memang sengaja ingin mengakhiri hidupmu? Tidak terima dengan kenyataan jika aku menyiksamu karena dendam ku pada Lorenza, hm?”
Tangan kekar itu kembali mencengkram dagunya agar sang istri mau menatapnya tidak menunduk.
“Perlu kau ketahui Gilly. Kau tidak akan mati sebelum dendamku pada wajah yang sama ini impas. Setelah aku puas menyiksa raga dan jiwamu maka kau boleh mati!”
Dihempaskan dagunya, punggung kecil nan lemah itu pun terjungkal ke belakang dan menabrak headboard.
“Kembali kau lakukan hal bodoh itu, maka bukan mayat kau yang akan aku mutilasi tetapi aku akan membunuh sahabatmu dan juga ibumu. Camkan itu, Gilly!” terang Gabriel, tidak main-main.
Gilly tidak mengangguk tidaklah menjawab, hanya air mata yang setia mengalir sebagai jawaban.
Seperti biasanya, setelah kalimat ancaman itu kembali terdengar yang entah berapa puluh kalinya entah ratusan kali. Pria itu melenggang pergi dari dalam kamar dan meninggalkan Gilly yang terisak.
Fransisca Bachmeier, Clarissa Bachmeier adik iparnya menginap di mansion nya untuk menghibur Gilly yang tengah bersedih karena kehilangan janin yang baru mereka ketahui.
Padahal, Gilly bersedih akan takdir yang begitu kejam membawanya pada sosok iblis yang menakutkan seperti Gabriel yang sering memperlakukan dirinya semena-mena.
Seminggu berlalu, kini Gilly terlihat membaik, kondisinya saat ini pun sudah sehat. Fransisca dan juga Clarisa memperlakukan Gilly dengan baik, itu membuat Gilly senang dan lekas sembuh.
Tak lama kedua wanita cantik itu berpamitan pulang ke mansion utama dan menyisakan Gilly dan Gabriel di dalam mansion mewah tersebut.
Sikap Gabriel yang menghangat dan lembut padanya pun, kini kembali pada settingan awal. Kaku, tegas, dan selalu menunjukkan aura permusuhan padanya.
Tak ingin kehangatan yang dia rasakan berakhir, Gilly pun mencoba memperbaiki sikapnya untuk melayani sang suami dengan baik sekalipun timbal baliknya pria itu selalu sama.
“Aku sudah siapkan pakaian kerjamu, semoga cocok,” ucap Gilly diiringi senyuman saat Gabriel keluar dari kamar mandi.
Pria dingin itu hanya diam seraya melihat pakaian yang disiapkan oleh istrinya.
“Kamu mau pakai dasi yang mana?”
Gilly menunjukkan koleksi dasi sang suami dan lelaki itu pun menujuk sembari memakai pakaian di depannya.
Gabriel menepis tangan Gilly yang hendak membantunya mengancingkan kemeja.
“Izinkan istrimu yang cacat ini melayanimu. Aku ingin belajar menjadi istri yang baik untukmu,” ucap Gilly penuh harap.
Tak peduli dengan tatapan Gabriel yang tajam dan juga tepisan tangannya yang berkali-kali, Gilly hanya ingin belajar menjadi istri yang baik.
Dikancingkan kemeja sang suami, lalu merapikan kerah kemejanya tak lupa gadis itu pun memasangkan dasi di leher suaminya.
“Jadi kau tengah berperan menjadi istri yang baik dan penurut, hm?”
“Bukannya peranku harusnya seperti itu? Menjadi istri yang baik melayani suami dan juga menurut?” Gilly berikan senyuman anggun pada Gabriel.
“Aku hanya ingin berdamai denganmu Gabriel. Berdamai dengan diri sendiri, takdir dan juga nasibku yang tidak baik ini.”
Dengan cekat, Gilly membantu memasangkan jas di pundak sang suami.
“Aku mengaku selama pernikahan kita, aku tidak memberikanmu peran yang baik.”
Senyuman manis itu tercetak lagi di bibir Gilly, Gabriel pun diam-diam menatapnya.
“Maafkan kesalahanku, Gabriel,” sambung Gilly diiringi meraih tangan Gabriel.
Dikecupnya punggung tangan sang suami. Lelaki itu hanya diam menatap.
Ya, mungkin dengan berdamai dengan semuanya. Diri, Gabriel, nasib dan juga takdirnya itu lebih baik daripada terus membangkang.
Gilly sudah tidak ingin kembali merasakan siksaan yang menyakitkan di tubuh dan hatinya.
Tidak pagi hari sikap Gilly berbeda, kini sore hari menjelang Gabriel pulang dari kantor pun Gilly sudah berdiri diambang pintu menyambut dengan senyuman.
“Biar aku yang membawakan tasmu.”
“Tidak! Ada Faruk,” jawab Gabriel ketus seraya melemparkan tasnya ke arah asisten pribadinya.
Gilly mengapit tangan kekar itu dan mengajaknya masuk ke dalam.
“Aku masak untuk makan malam kita,” ucap si gadis yang membuat langkah Gabriel terhenti.
“Kau tidak perlu repot-repot menyiapkan makan malam. Ada koki yang setiap hari memasak untuk kita.”
Gabriel berujar seraya kembali melangkah menuju kamarnya.
Gilly setengah berlari menghampiri Gabriel. “Ada pembantu di rumah ini dan kau hanya perlu duduk manis dan memerintahkan mereka,” sambungnya.
Gabriel mengendurkan dasinya lalu duduk di sofa kecil melepaskan sepatunya.
“Nggak apa-apa kok, sama sekali nggak keberatan. Aku juga kan nggak ada kerjaan di rumah. Jadi, aku coba masak buat kamu,” balas Gilly seraya membantu sang suami.
Pria itu hembuskan nafasnya. “Katakan apa yang kau, hm? Kau baik seperti ini tentunya ada mau nya bukan?” tebak Gabriel membuat gadis cantik itu melebarkan senyum.
“Bolehkah aku bermain piano di tempat latihan?”
“Apa piano di ruang tengah tidak berfungsi, hm?” balik Gabriel bertanya.
“Tentu berfungsi, tapi aku memanggil tutorku lagi untuk mengoreksi permainanku, Geb. Sebentar lagi pertunjukan solo ku akan digelarkan.”
Gabriel mengangkat dagu sang istri. “Bisakah tutormu itu membatalkan acara mu itu, hm? Aku tidak suka.”
Bibir Gilly memberengut menatap manik mata indah sang suami.
“Please, untuk yang terakhir kalinya aku membuat pertunjukan solo ku, Gabriel. Izinkanlah, setelah pertunjukan solo ku selesai aku janji nggak akan lagi mengadakan apapun.
“Aku juga janji padamu kalau aku tidak akan menjadi pianis lagi. Aku akan belajar menjadi istri yang baik untukmu dan menurut apa perintahmu,” bujuk Gilly, seraya memohon.
Ya, mungkin mengalah—mengubur impiannya itu lebih baik daripada dia harus bersitegang selalu dengan suaminya. Satu keinginan Gilly saat ini yaitu, dia ingin berdamai dengan keadaan.
Gabriel menarik nafasnya. “Baiklah, aku izinkan. Untuk yang terakhir kalinya kau boleh melanggarkan solo mu itu. Tapi dengan satu syarat.”
Manik mata indah itu menghunus tajam. Gilly menatap Gabriel dengan diam.
“Apa itu?”
“Kau harus—"