‘Jadi seperti ini pengabdianmu sebagai istri, hm? Masih sama. Aku tidak bisa menggaulimu. Milikmu masih tidak bisa berfungsi layaknya wanita lain.’
‘Pengobatanku belum selesai, Gabriel.’
‘Ah, begitu. Oke, kalau yang itu tidak berfungsi bagaimana jika di tempat lain?’
‘Apa maksudmu?’
Gilly membiarkan air matanya mengalir bebas di sela dia duduk di depan piano.
Pandangannya yang serius dan jemarinya yang lincah di atas tuts-tuts pun tak berhenti memainkan melodi piano yang lembut namun terdengar emosional.
‘Kau ingin berdamai denganku bukan, hm? Maka jika milikmu yang satu itu masih tetap sama maka aku akan menggaulimu di tempat yang lain.
'Hal seperti itu sudah umum terjadi bukan? Bahkan pada pasangan yang tidak menikah sekalipun mereka sering melakukan di tempat yang ingin aku lakukan sekarang ini?’
Gilly meringis, rasa sakitnya masih terasa. Sesuatu yang di maksud Gabriel itu bagian yang lain yang sangat sempit dan juga kotor.
Bukan kenikmatan yang Gilly dapatkan ketika suaminya menggaulinya melainkan luka baru yang akan membekas di hatinya atas kelakuan Gabriel yang tidak bisa ditoleransi lagi.
“Hhhhhhhhhh….” Teriak Gilly, frustasi.
Bayangan perkataan Gabriel membuat pikiran Gilly kacau. Mrs Rebecca yang berada di tempat pun menghampiri, wanita senja itu langsung memeluk murid kesayangannya itu.
“Kamu baik-baik saja kan, Gilly?"
"Jika kamu lelah, istirahatlah. Saya tahu kamu pasti stress dengan pertunjukanmu yang tinggal menghitung hari.”
Mrs Rebecca mengusap lembut pundak Gilly seraya menenangkan, semenjak menikah Gilly sudah jarang latihan ditempatnya lagi.
Gadis malang itu menarik nafasnya dalam-dalam yang terasa sakit, kemudian tersenyum pada Mrs Rebecca.
Gilly stress bukan karena pertunjukan solo nya melainkan Gilly muak, stres, marah, kesal dan juga kecewa pada suaminya yang masih bersikap kasar padanya. Itulah, yang membuat Gilly tidak bisa berkonsentrasi.
“Maafkan saya Mrs. Benar kata anda, mungkin saya stress dengan pertunjukanku yang tersisa empat hari lagi. Bolehkan saya beristirahat sebentar, Mrs?”
Mrs Rebecca mengangguk kepala. “Istirahatlah, jika kondisimu sedang tidak enak badan sebaiknya kamu pulang dan beristirahat di rumah. Kita masih ada waktu untuk kembali latihan.”
Gilly manggut-manggut, setelah mengucapkan terima kasih Mrs Rebecca pun berlalu pergi meninggalkan ruangan dan kini berganti dengan Faruk yang membawa troli makanan untuk Gilly.
Gadis itu mengabaikan kedatangan Faruk dan kembali duduk di depan grand piano besarnya. Ia kembali memfokuskan pikirannya dan melanjutkan permainannya.
Saat Gilly larut dalam permainan pianonya, dengan tiba-tiba seseorang membuka pintu secara tiba-tiba, membuat Gilly terkejut.
Namun, apa yang membuat Gilly betul-betul terkejut adalah siapa yang berdiri diambang pintu. Di hadapannya, ada Tissa, sahabatnya sejak kecilnya.
Kesedihan beberapa menit lalu pun berganti dengan kegembiraan, Gilly segera berdiri dan melepaskan tangannya dari piano.
“Kamu menyelinap masuk tanpa sepengetahuan bodyguard Gabriel?” Tanya Gilly tak percaya.
Wanita itu pun mengangguk membenarkan. Gilly nampak terlihat waspada lalu lekas menutup pintu rapat-rapat. Gabriel tidak menyukai Tissa begitupun sang ibu yang terpaksa Gilly titipkan pada Tissa dan keluarganya.
Gadis berusia satu tahun lebih tua dari Gilly pun merasa hatinya berdebar kencang setelah berhasil menyelinap masuk ke ruangan latihan.
“Ehm. Aku sangat mencemaskanmu, Gilly. Setelah pembicaraan kita terakhir, number sulit dihubungi lagi.”
“Ah, itu. Ponselku dirusak oleh Gabriel. Dia tidak memberiku ponsel lagi,” jawab Gilly diiringi hembusan nafas lelah.
“Dia menyiksamu lagi?” Tissa meraih lengan Gilly yang terlihat lebam.
“Sudahlah, tidak usah ditanyakan lagi karena kamu sudah tahu jawabannya, Tissa.”
Gilly membawa Tissa untuk duduk di sofa panjang. “Gabriel masih tetap sama sekalipun aku belajar menjadi istri yang baik untuknya.
“Aku sudah berdamai dengan takdir, tapi takdirlah yang tidak mau berdamai denganku, Tiss,” ucap Gilly, sedih.
Tissa mengumpat di dalam hati atas sikap Gabriel, digenggamnya tangan sahabatnya.
“Jalan satu-satunya kita harus keluar dari kota ini, Gilly. Menjauh dari Gabriel.”
“Itu mustahil kau tahu sendiri bagaimana dia mengurungku di mansionnya,” jawab Gilly diiring hembusan nafas.
“Apa kamu tahu kejadian terakhir kita berbicara lewat telepon?” Gilly berikan gelengan tidak tahu.
“Suamimu mendatangi kami dan mengancam keluargaku. Suami mu yang kejam itu meminta kami tidak mengganggumu lagi.”
Mata Gilly berembun, Gabriel sudah keterlaluan sampai harus mengancam keluarga sahabatnya.
“Dengarkan aku, Gilly. Aku sudah merencanakan hal ini dengan keluargaku. Kami akan membawa ibumu keluar dari Berlin.”
Gilly menatap penuh sang sahabat. “Ini berbahaya, Tissa.”
“Ya, aku tahu tapi tidak ada lagi cara untuk kita lepas dari suamimu itu.”
Tissa menepuk pundak Gilly agar tidak perlu khawatir akan ibunya.
“Jangan khawatirkan kami, Gilly. Ada Mark dan Daniel yang siap membantu kami keluar dari Berlin. Kami pun sama ingin hidup bebas dari ancaman iblis.”
Mata Gilly basah lalu kembali memeluk sahabatnya itu. “Maafkan aku."
“Akulah yang sudah membuat kalian seperti ini, sungguh aku menyesal kenapa harus bertemu dengan Gabriel dan hidup kita jadi runyam seperti ini,” ungkap Gilly.
“Ssstt… sudahlah. Ini sudah takdir kita, Gilly. Kita hanya perlu bersabar dan menghindar dari seorang Gabriel Bachmeier.”
Tissa menghapus air mata Gilly yang berjatuhan lalu kembali memeluk sahabatnya.
“Ah, ya. Aku teringat sesuatu.”
Gilly bangun dari duduknya lalu mengambil tas yang berada di atas grand pianonya.
“Apa kamu mengenal wanita ini?”
Gilly memberikan foto Lorenza pada Tissa. Ekspresi yang sahabatnya itu tunjukan tentunya keterkejutan saat melihat wajah yang serupa dengannya.
“Ini bukannya kamu?”
Gilly hembuskan nafasnya. “Lihatlah mata kita berbeda. Jelas ini bukan aku, Tissa.
“Tolong selidiki wanita ini dan mintalah informasi pada Bibi Berta. Apa ibuku melahirkan anak kembar?”
“Akan aku tanyakan pada ibuku. Lalu siapa wanita yang mirip denganmu ini?” tanya Tissa seraya mengamati foto wanita cantik yang terlihat anggun dengan pakaian branded.
“Dia Lorenza Carter. Istri pertama Gabriel.”
Sontak bola mata Tissa melotot. “Istri pertama?”
Gilly manggut-manggut. “Jadi dia—”
“Nanti aku cerita semuanya padamu, Tissa. Jika kita bisa kembali berkumpul di tempat yang aman,” ucapnya Gilly.
“Baiklah kamu hutang cerita padaku, Gilly.”
Tissa membuat gestur menatap jam tangan.
“Aku tidak bisa lama-alam. Aku takut si Faruk dan anak buahnya melihat keberadaanku disini.”
Gilly mengangguk tahu, sebelum Tissa pergi gadis itu memberikan sebuah ponsel kuno bukan ponsel pintar.
“Pakai ponsel jadul ini, karena Gabriel tidak akan bisa melacak keberadaan kamu dan juga percakapan kita. Sembunyikan, karena aku akan menghubungimu di saat mereka sudah berada di tempat yang aman.”
Gilly manggut-manggut paham. “Terima kasih banyak.”
Tissa memeluk Gilly. “Jaga dirimu baik-baik, Gilly. Kita akan berkumpul lagi seperti dulu. Aku pamit,” ucap Tissa seraya keluar dengan penuh hati-hati.
Gilly tak mengalihkan pandangannya saat Tissa pergi meninggalkannya, ia hanya bisa berdoa pada Tuhan untuk keselamatan sahabatnya dan memastikan jika Tissa tidak akan tertangkap oleh bodyguard Gabriel.
Malam harinya setelah pulang dari tempat latihan, Gabriel menjemput Gilly. Lelaki itu mengajak Gilly ke sebuah restoran mewah, menikmati makan malam romantis.
Cahaya lembut dari lilin-lilin di atas meja menciptakan suasana yang intim. Gabriel tersenyum seraya genggaman satu tangan Gabriel tak lepas dari telapak tangan Gilly.
“Tumben sekali kamu membawaku ke tempat romantic seperti ini?”
Gabriel tersenyum. “Sudah lama juga bukan kita tidak makan malam di restoran terbaik di kota Berlin?”
Tiba-tiba, ponsel Gabriel bergetar di saku jasnya menyita kegiatan makan malam mereka. Kening Gabriel berkerut saat melihat number yang berasal dari rumah sakit.
“Aku angkat telepon dulu. Kau lanjutkan dulu makannya,” ucap Gabriel seraya berlalu pergi dari meja tersebut.
Beberapa menit kemudian, Gabriel kembali. Pria itu tidak lekas duduk melainkan berdiri di samping kursinya.
“Ada apa?”
Gabriel menghela nafasnya lalu menjawab. “Ada berita buruk, Gilly.”
“Tentang?”
Gilly berlari cepat menuju ruang rawat sementara Gabriel mengikuti dari belakang.
Air matanya tak berhenti berderai saat Gabriel memberitahukan jika Amy ibu kandung sekaligus orang tua Gilly satu-satunya kini telah berpulang setelah mengalami serangan jantung.
Gabriel membawa tubuh kecil Gilly ke dalam dekapan—menenangkan hati istrinya yang tengah bersedih atas kehilangan Amy.
“Ssstt… jangan menangis lagi, matamu sudah bengkak seperti ini.”
Tapi Gilly tidak peduli dengan dirinya lagi. “Aku tahu kamu hancur, Honey. Tapi air matamu tidak akan membuat ibumu kembali,” ucap Gabriel.
Gabriel akui, dia tidak bisa merangkai kata yang lembut untuk menenangkan hati wanita yang tengah bersedih atas kehilangan orang yang dicintainya.
Namun, sayangnya perkataan itu justru membuat Gilly meradang dan melepaskan tangan Gabriel yang memeluknya.
“Apa pantas seorang suami mengucapkan hal itu di saat hati istrimu ini memang hancur?”
Gilly menatap Gabriel tajam, tentunya ini pun kesalahan Gabriel yang tidak pernah mengizinkannya untuk merawat ibunya sendiri.
Gilly seperti anak durhaka yang tidak ingat dengan kondisi ibunya yang sakit. Tapi, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Pria arrogant dan kejam yang berpenguasa itulah yang membuat Gilly seperti ini.
Gabriel mengizinkan Gilly keluar menjenguk ibunya hanya satu bulan sekali dan itu pun hanya dua jam.
Jika Gilly melanggar, maka Gabriel tidak segan-segan melukai orang terdekatnya.
“Kesalahan terbesarku yang tidak bisa diampuni adalah aku tidak ada di samping ibuku ketika beliau menghembuskan nafas terakhir.
“Sungguh kejamnya seorang Gabriel Bachmeier yang melarang putrinya untuk bertemu dengan ibu kandungnya sendiri.”
“Maaf,” jawab Gabriel singkat.
“Ck! Kata maafmu itu tidak akan bisa membuat ibuku kembali, Gabriel.”
Gabriel hembuskan nafasnya. Dia tahu, dia salah. Tidak ingin memancing keributan di ruang rawat. Gabriel pun keluar untuk berbicara pada staf dan dokter yang selama ini merawat ibu mertuanya.
Gabriel pun meminta Faruk untuk mengatur segala hal yang diperlukan untuk prosesi pemakaman untuk ibu mertuanya dengan layak.
Gilly memeluk Tissa, dua gadis itu menangis dalam atas kehilangan Amy.
“Maafkan aku tidak bisa menjaga ibumu.”
Gilly menggeleng pelan. “Jangan minta maaf, justru akulah yang merasa bersalah karena selama ini aku tidak pernah ada di sampingnya.”
Gilly menarik nafas dengan satu tarikan, satu tangannya kembali menghapus air mata.
“Terima kasih banyak, Tissa. Selama ini kamulah yang merawat ibuku,” ucap Gilly tulus-tulus sementara Tissa menatap sekeliling ruangan yang dijaga ketat dan tidak bisa membuatnya berkutik.
Pemakaman Amy diadakan dengan khidmat. Keluarga besar Gabriel pun turut datang menguatkan menantunya yang tengah berduka.
Fransisca memeluk Gily, wanita senja itu menguatkan menantunya yang tak henti menangis ketika jenazah Amy dimasukkan ke dalam peti dan dikuburkan.
Dua hari berlalu dengan suasana mansion pun terlihat masih berduka, Fransisca tak henti mendekati—mengajak bicara dan menemani Gilly agar tidak terus melamun dan depresi pasca kehilangan ibunya.
“Ayolah, Kak. Makan yang banyak Kakak harus cepat pulih bukannya dua hari lagi pertunjukan solo Kakak akan digelar?” bujuk Clarissa yang dianggukan benar.
“Sudahlah, Mom. Cla. Kalian istirahatlah, Gilly butuh waktu sendiri.”
Ya, mungkin yang diinginkan istrinya kali ini membiarkan Gilly sendiri sekalipun pertunjukan solo nya tinggal dua hari lagi.
Tak lama ibu mertua dan juga adik iparnya keluar dari dalam kamar, meninggalkan diri seorang diri.
Meninggalnya sang ibu membuat Gilly putus asa harapan satu-satunya pun kini sudah pergi meninggalkannya seorang diri di dunia yang begitu kejam ini padanya.
Tak sanggup lagi dengan hidupnya yang selalu menderita, Gilly pun kembali mengulangi kejadian belum lama itu. Ya, menyayat pergelangan tangan nya agar bisa menyusul kedua orang tuanya.
Getar ponsel jadul pemberian Tissa terdengar bergetar dan hal itu menyita perhatian Gilly yang hendak melakukan aksinya. Diambilnya ponsel jadul yang Gilly sembunyikan lalu menekan pesan baru yang begitu banyak terkirim.
Salah satu pesan yang Gilly baca berisi, ‘Tolong jangan bodoh untuk mengakhiri hidupmu, Gilly.
‘Aku menunggumu dua hari lagi di bandara. Kita semua akan pergi dari Berlin sekaligus dari cengkeraman iblis seperti Gabriel.’
‘Kamu masih ingin peluk Mommy Amy kan?’
Kening Gilly berkerut, otaknya mencerna setiap pesan masuk yang dikirim sahabatnya. Saat Gilly mendeal number tersebut, sayangnya sudah number itu tidak aktif lagi.
‘Sebenarnya apa yang kamu rencanakan, Tissa? Kenapa kamu mengatakan hal itu?’
Gilly kembali membaca semua pesan dari Tissa. ‘Apa sebenarnya mommyku masih hidup?’