Bad Contract

2659 Words
Mendengar kalimat '$10.000 dalam sebulan', membuat mata Emily membulat dan hampir terlepas dari cangkang karena kaget. Bukan karena ia tidak sanggup, ia bisa membayarnya ketika sudah lulus kuliah dan bekerja pada perusahaan Strong Electronic Corp sebagai Asisten Sekretaris. Namun, sekarang Emily hanyalah seorang wanita miskin yang hidup sebatang kara, membiayai kuliah yang tidak sepenuhnya ditanggung pemerintah dan hasil kerjanya di coffee shop sudah pasti tidak bisa memenuhi biaya hidupnya karena dirinya jauh dari kata ‘berkecukupan’. Karena nominal $10.000, membuat Emily memasang wajah muram. Ia pun harus mencoba melobi Allan. “Apa anda tidak bisa menguranginya menjadi $1000 atau $500 dollar, Sir?” tawarnya, berharap Allan memaklumi seperti ayah Chloe, pemilik kafe yang tahu dirinya sudah memecahkan enam gelas dalam satu minggu ini. Sayangnya Allan menggeleng, ia menunjuk dan mengetuk kertas di atas meja. “Di sini sudah dijelaskan bahwa ayahmu menyetujui membayar $10.000 setiap bulan selama 10 bulan. Dia juga bersedia dan siap menerima sanksi apapun jika tidak membayar, baik itu menerima tuntutan atau membayar denda. Sebagai ahli waris kau harus membayarnya, Nona Emily Wilson.” Ia menjelaskan dengan tatapan serius, tersenyum tipis tetapi menyimpan sejuta makna dari senyumannya yang bisa membuat semua wanita bertekuk lutut. Tapi tidak dengan wanita cantik yang duduk di hadapannya sekarang, membuang wajah dan memutar bola mata tidak setuju. Emily mengembuskan napas pelan sekali, mencoba sesantai mungkin dan menutupi kecemasan yang sedang menghinggapinya sekarang. “Tuan Allan Anderson yang terhormat,” Ia menyebut nama Allan dengan nada tegas tapi santun. “Aku akan membayar hutang anda secara cash bulan besok.” Kalimat itu terlontar begitu saja dan ia sendiri tidak menyadari yang ia katakan bukan sesuatu yang mudah dan tentu berujung mengutuk dirinya sendiri. What?! sepertinya aku sudah gila mengatakan ini. Walau gengsi untuk menarik ucapannya lagi, Emily berdehem, duduk tegak dengan dagu sedikit terangkat. “Tapi aku minta masa penangguhan dalam bulan ini.” Ia mengakhiri ucapan dengan senyuman. "Penangguhan?" Allan tertawa mendengar permintaan Emily. Baru beberapa detik yang lalu dengan percaya diri wanita itu mengatakan akan membayar angsuran hutangnya, tapi di detik berikutnya meminta penangguhan. Sungguh hal yang menggelikan. Ia pun menggeleng, duduk mencondongkan tubuhnya ke depan melihat senyum Emily yang perlahan memudar. “Selain cantik ternyata anda pintar membuat lelucon, Nona Emily. Apa kau menawarkan penawaran ini sudah tahu konsekuensinya?” “Maksudmu?” Dahi Emily berkerut dan baru tersadar dalam masalah hutang piutang tentu saja ada beberapa prosedur yang harus ia taati, terlebih lagi urusannya berhubungan dengan selembar kertas yang isinya mengacu pada beberapa kesepakatan. Emily berharap Allan tidak mempersulitnya membayar hutang meski tidak semudah yang sudah ia katakan tadi. Telunjuk Allan menunjuk kertas yang mengarahkan pada pasal yang membahas tentang hutang piutang. Tentu saja pasal yang ia buat dan berlaku untuk siapapun tanpa terkecuali. “Pada pasal ini menerangkan jika pihak yang berhutang bisa meminta penangguhan, tapi dengan syarat membayar denda sebesar 10% dari hutang yang harus dibayarkan pada bulan pertama dan selanjutnya kau harus membayar lunas. Jadi kau harus membayar denda sebesar 10% sebanyak waktu yang kau minta. Karena kau meminta penangguhan selama satu bulan itu berarti bulan berikutnya kau harus membayar sebanyak $10.000 selama 10 bulan juga. Dengan kata lain, hutangmu tidak berkurang, karena kau hanya membayar denda penangguhan saja. Kau mengerti?” “Tunggu dulu.” Emily mengambil ponsel dari ransel lalu menghitung total jumlah yang harus ia bayarkan. Setelah selesai menghitung, ia mendengus kecewa sambil menyandarkan keras tubuhnya di kursi. “Jadi $1.000 untuk setiap bulan aku meminta penangguhan? Tapi tidak mengurangi hutangku sama sekali? “Ya.” Allan menangkupkan kedua tangan dengan kedua sikut menopang di atas meja. “Jumlah tidak terlalu banyak daripada kau membayar pada seorang rentenir.” Rentenir?! Kau tidak ada bedanya dengan rentenir, Allan Anderson. Harusnya ayahku mendapat santunan karena meninggal dalam kecelakaan, bukan memberatkan aku membayar hutang. Apa dia tidak punya nurani? Sepertinya ayahku sudah melakukan kesalahan terbesar, bekerja pada pria yang perhitungan. Oh my God, maafkan ayahku sudah bekerja pada monster berwajah tampan ini. Sungguh, jika kutahu ayahku memiliki bos yang perhitungan seperti ini, aku lebih merelakannya bekerja di coffee shop milik ayah Chloe dari pada menjadi sopir . “Kau tidak ada bedanya dengan rentenir,” gumam Emily, membuang wajah. “Apa? Rentenir? Aku rentenir?” Allan memastikan gumaman Emily yang terdengar jelas. Emily tersenyum kecut. Ia menggeleng memastikan Allan salah mendengar ucapannya. “Tidak. Itu tidak benar.” Ia melambaikan tangan dan terkekeh. “Mana mungkin seorang CEO AA Company yang mempunyai banyak kantor cabang di Amerika seorang rentenir. Kau sudah salah mendengar, Sir.” Meyakinkan Allan lagi, meskipun hatinya mengumpat. “Kau sama sekali bukan rentenir tapi ....” “Apa?” Allan bangkit dari kursi, berjalan ke depan beberapa langkah lalu mengapit dan menaruh kedua tangan di sandaran kursi yang diduduki Emily. Ia mendekatkan mulut ke telinga Emily lalu berbisik. “Aku tidak sekejam rentenir, Nona. Tapi jika kau tidak sanggup membayar denda 10% itu, kau harus mematuhiku seperti yang tertuang pada pasal selanjutnya.” Emily terkesiap. Pasal berikutnya?! Oh Lord! Kenapa aku harus berurusan dengan pria ini?! “Pasal selanjutnya?! Apalagi itu?!” Lagi-lagi Emily seakan menjadi bidak catur putih yang terus diserang catur hitam yang dikendalikan oleh pemain pro dan ia tersikut lalu terjatuh. Allan meraih kertas, membalikkan pada halaman selanjutnya lalu menunjukkan kertas itu tepat di depan wajah Emily. Dengan pelan dan cermat, Emily membacanya. “Hutang akan dianggap lunas jika pihak pertama atau ahli warisnya menuruti perintah pihak kedua.” Seketika senyumnya mengembang dan melihat sebuah kebebasan dari yang namanya uang. Pikirnya Allan Anderson tidak memberi solusi lain selain harus membayar hutang, ternyata ia merasakan angin segar setelah membaca pasal tersebut. Ia merasakan beban di bahunya terangkat setelah shock mendengar hutang yang bisa membuatnya mati berdiri. “Ini bagus.” Emily menanggapi pasal yang membuatnya menghela napas lega dan tersenyum lebar. “Kupikir tidak ada cara lain untuk membayar hutang itu. Ternyata kau memang memiliki jiwa bisnis yang hebat, Tuan Allan Anderson,” puji Emily, meraih kertas itu dari tangan Allan dan membaca ulang lagi. Allan kembali duduk di kursi besarnya. Menyandarkan punggung sambil tersenyum melihat Emily sedang membaca pasal itu. “Aku anggap itu pujian, Nona Emily Wilson,” balasnya, melihat Emily mengangkat wajah dan menaruh kertas itu di atas meja. Suara helaan napas berat terembus dari hidung Emily. “Well, dengan cara apa aku menuruti perintahmu untuk melunasi hutang ayahku?” Ia mengikuti Allan, duduk bersandar dan menggoyangkan kursi putar itu dengan pelan ke kanan dan kiri. “Menjadi Maid? Petugas kebersihan mansionmu atau menggantikan profesi ayahku? Menjadi sopir kurir sayuran dan buah?” tebaknya yang yakin sanggup melakukan semua itu kecuali menjadi sopir. Setelah tiga kali Emily mengikuti tes untuk mendapatkan SIM, ia selalu gagal. Tapi kali ini ia berjanji akan sungguh-sungguh belajar mengendarai mobil dengan baik itupun jika Allan memberikannya waktu setidaknya sebulan untuk les privat mengendarai mobil. Meskipun ia meragukan itu terjadi, tetapi bisa saja terjadi ... tidak ada yang yang tidak mungkin jika takdir memihaknya untuk mendapatkan keringanan, seperti yang terjadi pada pasal ‘sekarang’. Bibir Allan melengkung ke atas dan ia menggeleng pelan seperti penjahat yang belum bertarung tetapi sudah membanggakan kesombongannya. Tangannya membuka laci yang berada di bawah meja tepat di bagian kanan, mengambil secarik kertas yang sudah dibubuhi materai dan stempel lalu menaruh di atas meja, menyodorkan ke arah Emily. “Ini yang harus kau kerjakan. Jika kau setuju dan dan menuruti sesuai isi surat kontrak ini, kuanggap hutang ayahmu lunas, Nona Emily.” "Benarkah?" Sebuah kebahagiaan Emily tampakkan walaupun kini penasaran. Ia meraih kertas itu lalu membacanya secara pelan dan cermat. Baru membaca beberapa kalimat pada surat kontrak itu, kedua mata Emily membulat. Ia melirik Allan yang tersenyum lebar dan mengangkat dagunya seakan dirinya menjadi pemenang. “Slave? Aku harus menjadi slave selama setahun?” Memastikan isi surat kontrak yang masih berada dalam genggamannya. Menjadi slave Allan selama setahun. Hmm ... bukankah itu terlihat mudah dan tidak ada bedanya dengan Maid? Membersihkan mansion, menyapu, mengepel, merapikan tempat tidur ataupun memasak. Emily akan mencobanya, setidaknya bisa membayar hutang itu dalam setahun. “Ya.” Allan menjawab lugas. “Kau belum membaca sampai tuntas, Nona.” Ia menggerakkan jari telunjuknya setengah lingkaran, memintanya untuk membalik kertas. Emily menurut, membalikkan kertas dan melihat beberapa tulisan di sana. “Oh iya.” Ia melanjutkan bacanya seperti tadi, membaca dengan cermat karena menyangkut hidup dan matinya selama setahun ini. “Apa?!” Lagi-lagi Emily terkejut membaca surat kontrak itu dan membuat matanya kembali membulat, wajahnya pucat dan jantungnya berdebar kencang. Tidak ada bedanya dengan menaiki rollercoaster yang melaju dengan kecepatan tinggi sepuluh kali lipat dari keadaan normal. “Kenapa? Kau keberatan?” Allan menebak pikiran Emily. Tidak ada jawaban selain Emily menganggukan kepala. Mencoba untuk santai tapi ia tidak bisa, rasanya seperti dikurung di dalam kandang singa yang isinya beberapa singa yang kelaparan. “Ya.” Suara Emily bergetar, tidak percaya dengan apa yang sudah ia baca. Masih tersenyum tipis, Allan mengangguk pelan dan kembali menangkupkan kedua tangan. “Tidak apa-apa jika kau keberatan, tapi bulan ini kau harus membayar 10% dari total hutangmu perbulan padaku sebagai uang penangguhan. Kau bisa?” “Ba--baik.” Emily tergagap karena masih shock. “Aku akan membayar $1.000 minggu depan.” “No, no, no.” Allan menggeleng dan melambaikan jari telunjuknya. “Kau harus membayarnya besok. BESOK,” katanya tegas. “Jika minggu depan kau harus membayar bunganya 2%. So, $1.000 ditambah 2%, itu yang harus kau bayar. semakin kau mengulur waktu, bunga akan terus berjalan, Sayang.” Apa? Sayang?! Dia sudah gila?! Menyuruhku membayar $1.000, kini ia menambahkan lagi 2%? Oh Tuhan ... sebaiknya kau hilangkan ingatanku sekarang atau suruhlah Alien menculik dan membawaku ke planet yang terjauh dari bumi ini asalkan aku tidak bertemu pria kejam ini lagi. Ku mohon .... Sekali lagi Emily menghela napas berat untuk memperlihatkan dirinya sedang dalam keadaan sulitan besar. “Apa konsekuensiku jika menolak membayar hutang ataupun tidak menerima tawaranmu untuk menjadi slave?” Lalu memperlihatkan raut wajah jijik pada kalimat yang ia tahan. “Menjadi partner ranjangmu?” Seketika bulu kuduknya berdiri tegak membayangkan menjadi slave dan harus memuaskan napsu b***t dari pria yang sedang menyeringai menatapnya sekarang. “Kau akan di penjara.” Allan menjawab cepat dan tanpa ragu. Tanpa berpikir panjang Emily menjulurkan kedua tangannya yang ke arah Allan dan siap untuk diborgol. “Lakukan sekarang.” Memohon dengan wajah pasrah. “Aku lebih rela menjadi tahanan daripada menjadi partner di ranjang dan anda mendapatkan--” “Keperawananmu?” tebak Allan cepat, melihat Emily menelan ludah lalu membuang wajahnya yang merah padam. Tawa Allan pecah dan mengangkat dagu. “Perawan? Kau masih perawan?” Emily tidak menjawab, ia sungguh enggan menjawab pertanyaan seperti itu sementara ia hidup di zaman dan tempat keperawanan adalah hal yang langka seperti batu berlian. Ia lebih menyukai orang di sekitarnya tahu jika dirinya sama seperti wanita lainnya yang sudah menghilangkan keperawanan di usia remaja. Ia merasa lebih nyaman karena akan melakukan itu pada pria yang mencintai dan ia cintai walaupun sampai sekarang belum menemukan pria yang bisa membuat jantungnya berdetak kencang. Tidak! Ia baru saja melakukannya. “Kau salah, Sir.” Emily menepis. “Aku sudah melakukan itu bersama kekasihku beberapa tahun yang lalu.” Ia sengaja berdusta untuk menutupi hal sebenarnya agar Allan berubah pikiran. Setidaknya tidak menjadikannya sebagai pemuas napsu atau teman kencan untuk menemaninya menghadiri acara penting. “Lebih baik kau menahanku daripada menjadi partnermu di ranjang,” pintanya lagi serius. Mendengar alasan Emily, senyum Allan memudar. “Kau yakin dan rela menjadi tahanan dari pada membayar hutang ayahmu?” Sebelah sudut bibirnya terangkat ke atas. “Ya.” Emily menjawab lugas, ia lebih rela menghuni penjara daripada menghilangkan keperawanan untuk seorang pria tampan yang seumuran ayahnya walau ia terlihat lebih muda dan menawan. Tentu saja sudah berhasil membuat jantungnya berdetak kencang. Melihat Emily pasrah, Allan tertawa lagi. “Aku tidak akan membawamu ke penjara yang ada di kantor polisi. Tapi kau harus menjadi wanita yang bisa ditiduri oleh klienku selama setahun dan itu tidak dengan 1-2 orang, Nona.” Allan mencondongkan tubuh ke depan, menatap lekat mata cokelat Emily. “Rata-rata mereka bermain kasar. Ya ... kau tahulah, pria zaman sekarang. Mereka lebih menyukai bermain ‘di belakang’. Kau bersedia?” Mengangkat sebelah alisnya dan menanti jawaban Emily dengan senyum tipis. Air mata Emily mengembang. “Apa bedanya dengan menjadi slave, Tuan Allan yang terhormat? Aku harus melayanimu tiga kali seminggu dan menjadi teman kencan palsumu? Apa itu lebih baik?” “Tentu itu lebih baik, Nona.” Allan menjawab tegas, ia kembali membetulkan letak duduknya. “Jika kau menjadi slave, kau hanya milikku. Aku tidak akan membiarkan orang lain menyentuhmu karena kau milikku dalam setahun. Hanya milikku!” Ia menunjuk wajahnya sendiri dengan kedua mata membulat dan tatapan serius. Emily bangkit. “Tidak!” Ia menolak. “Apapun caranya aku akan membayar hutang itu segera, Sir. Bersiaplah, besok kau akan menerima $1.000 cash!” Ia kembali menyandangkan tas di punggung lalu beranjak dengan langkah tergesa-gesa menuju pintu tetapi Allan mengejarnya setengah berlari. Allan meraih tangan Emily lalu mendorong tubuhnya ke dinding. “Aww.” Emily membentur dinding. Allan mengapit dengan kedua tangan terjulur ke dinding tepat di samping telinga Emily. Deru napas Allan melaju cepat, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari Emily yang mengangkat dagunya sedikit. “Kau sudah memasuki istanaku dan tidak ada seorang pun yang bisa keluar dari sini tanpa persetujuanku, Emily,” desisnya dengan kedua mata kelabu itu membulat dan menatapnya tajam. “Tentu aku bisa.” Emily menjawab dengan suara bergetar, merasakan hembusan napas Allan menerpa wajah dan memaksanya menelan ludah. “Aku bisa karena aku akan membayar hutang itu segera.” Kedua tangan Emily mendorong kuat d**a Allan hingga membuat pria itu terhuyung-huyung ke belakang. Mendapat celah, Emily bergegas membuka pintu dan berlari meninggalkan kamar Allan menuju tangga dan menuruninya cepat. “Sial!” Allan geram. Melihat Emily terus berlari walau sempat menoleh ke belakang melihat dirinya terdiam sambil mengepalkan tangan. Emily terus berlari menuju pintu utama yang terbuka lebar dan sempat melintasi Perrie yang berbicara dengan salah satu bodyguard. “Hei kau mau ke mana?!” Perrie berteriak ke arah Emily. “Tangkap dia!” titahnya pada pria-pria berbadan tegap tadi. Tidak! Aku harus bisa pergi dari sini! Emily tidak menghiraukan panggilan Perrie dan senyumnya mengembang melihat beberapa langkah lagi tiba di depan pintu yang kedua sisinya sudah terbuka lebar. “Oh no!” Langkahnya terhenti melihat dua bodyguard Allan tiba-tiba muncul dari dua arah. Emily menoleh ke belakang melihat bodyguard yang lain dan Perrie berlari ke arahnya. Ia juga melihat Allan berdiri di tengah-tengah bagian tangga yang model huruf ‘U’ dengan kedua tangan terjulur di bordes dan memandangnya serius. Dua bodyguard tadi dengan sigap mencengkram dua lengan Emily. “Lepaskan aku!” Emily berteriak dan berusaha meronta tapi sama sekali tidak membuat mereka mengendurkan cengkramannya. Justru membuat lengannya sakit. “Biarkan dia pergi!” teriak Allan pada Perrie dan kedua bodyguard yang sudah mencengkram kedua lengan Emily dan siap menggiringnya ke dalam lagi. Allan berjalan pelan menuruni tangga dan menuju mereka yang menghadang Emily. “Biarkan dia pergi,” ucapnya lagi, berhenti melangkah di depan Emily. “Karena besok dia akan ke sini lagi untuk membayar hutangnya padaku.” Senyumnya mengembang, memegang dagu Emily yang melihat dirinya penuh kebencian. “Bukan begitu, Nona Emily Wilson.” “Ya,” Emily menjawab cepat dengan kedua mata menatap sinis Allan dan tidak lama merasakan pegangan Allan merenggang lalu tersenyum tipis. “Aku akan menunggumu besok, Sayang.” Allan membalas, mengangkat dagu melirik ke arah dua bodyguard yang tidak lama bodyguard itu melepaskan cengkraman mereka. Emily mengusap sebelah lengannya yang terasa sakit. “Tentu, Tuan Allan yang terhormat. Aku akan membayarnya besok.” Ia menjawab lugas lalu beranjak keluar rumah dan setengah berlari menuju pintu gerbang yang jaraknya sekitar 100 meter. Allan memperhatikan Emily yang terus berjalan. Ia mengangkat sebelah sudut bibirnya. “Awasi dia 24 jam. Jangan sampai dia meloloskan diri atau meninggalkan kota ini.” Lalu senyumnya semakin mengembang. “Karena dia harus menjadi milikku. Hanya milikku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD