He is Allan Anderson

1688 Words
Emily terdiam mematung melihat pria di depannya berbanding terbalik 180 derajat dari dugaannya yang sejak tadi menghiasi pikirannya. Pikir Emily, pria yang akan ia temui seorang pria tua, bertubuh bungkuk dengan tangan memegang tongkat, cerutu yang terselip di bibir dan rambut yang dipenuhi uban. Ternyata tidak! Dugaan Emily salah!! Tubuh pria itu tinggi, berbadan tegap dan memiliki wajah tampan sempurna. Memiliki sepasang bola mata berwarna abu tua, bulu-bulu halus menutupi kedua rahang yang tegas begitu juga di atas bibirnya, sama sekali tidak memperlihatkan jika ia layak di panggil 'grandpa'. Sempurna! Pria sempurna! Pria itu terlihat sempurna melebihi kesempurnaan Andrew Jackson, pria yang banyak digilai oleh kawan-kawannya di kampus, walau pria di depannya tidak lagi muda, lebih tepatnya seumuran dengan mendiang ayahnya yang sudah tiada. Hanya saja ia terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya. Bahkan kerutan di wajahnya tidak banyak terlihat dan membuatnya terlihat awet muda. What?! Kenapa aku harus mengaguminya? Sadar, Emi. Di sini kau adalah korban penculikan bukan wanita yang harus jatuh cinta pada pria yang sudah menculikmu. Wake up, Emi! Emily terkesiap, melihat pria itu menyeringai menatapnya yang terkejut. "Kenapa? Kau terkejut jika aku tidak layak dipanggil 'grandpa', Emily Wilson?" tebak pria tampan itu berjalan pelan ke arahnya, menatapnya lekat seakan siap untuk menerkam Emily dalam sekali terkaman Sekali lagi mata Emily membulat, dahinya berkerut. "Dari mana kau tahu jika aku--" "Menduga aku seorang pria tua? Atau mengetahui namamu?" selanya pria itu cepat, menebak apa yang ada di pikiran Emily sekarang. Pria itu menatap tajam dan berdiri di depan Emily yang reflek menengadah dan menelan ludah melihat dirinya yang seakan kagum, takut dan penasaran menjadi satu. Oh no! Binar mata dan senyumnya membuat aku melting. Oh Lord, benarkah pria di depanku ini adalah sosok manusia? Mengapa ia sangat sempurna? What?! Wake up, Emily! Emily mengerjapkan mata lagi, berusaha mengendalikan diri untuk tidak terhanyut pada pesona pria itu yang sedang menatapnya tersenyum walau tanpa dipungkiri penglihatan dan tubuhnya diam terpaku. Mengagumi hasil ciptaan Tuhan yang sudah menghadirkan pria sempurna di depannya sekarang. "Ya." Suara Emily nyaris berbisik dengan tatapan fokus melihat kedua bola mata abu yang seakan sudah menghipnotis dan membuatnya tidak berdaya. Ia pun mengangguk menanggapi pertanyaannya yang terdengar aneh. Bukankah terlalu aneh pria tampan itu mengetahui jika dirinya sudah menduga sebagai pria tua, karena dengan jelas ia mengatakan itu di depan pintu pada Perrie dan hanya pria kurus itu yang tahu? Tidak mungkin Perrie memberitahunya, sementara ia melihat mereka berdua tidak banyak bicara. Perrie pamit setelah mempertemukannya. Tidak lebih. “Ya. Dari mana anda tahu?” Akhirnya kesadaran Emily kembali setelah mengerjapkan mata berulang kali. Ia sengaja menanyakan itu agar tidak penasaran setelah nanti berhasil meninggalkan tempat itu dan kembali bebas. Itu pun jika ia berhasil, seperti yang Perrie katakan beberapa menit yang lalu. Ya, bagaimanapun juga ia adalah korban penculikan yang terperangkap di sebuah mansion mewah yang tidak ia ketahui letaknya karena saat di perjalanan, mereka berhasil menutupi kedua mata dan mulutnya, selayaknya korban penculikan pada umumnya. Hanya bedanya ia anak yatim piatu dan bukan anak orang kaya yang keluarganya sanggup memberi uang tebusan. Uang tebusan? Bagaimana Emily bisa membayar tebusan untuk dirinya sendiri, sementara gajinya bekerja di kafe tidak sepenuhnya ia terima? Setelah memecahkan enam gelas karena pikirannya yang tidak fokus, uang gajinya hanya cukup membayar separuh biaya hidup dan keperluan kuliahnya yang tidak lama lagi lulus. Pria itu masih berdiri di tempat yang sama, menatap lekat Emily dengan senyumnya yang misterius. “Karena ini rumahku. Setiap sudut rumahku dipenuhi kamera cctv, akupun mengetahui apa yang menjadi pembicaraan orang-orang yang berada di dalam rumahku.” Tersenyum bangga dan sombong, seakan menunjukkan jika ‘tidak ada yang tidak kuketahui’ dari raut wajahnya yang tegas. Wajah Emily menjadi pucat, ia menyadari banyak kalimat yang ia ucapkan yang intinya sudah menyudutkan pria itu, walau Perrie berulang kali mengingatkannya untuk bersikap sopan, sebuah sikap yang luput darinya sejak tadi. Memangnya dia siapa aku harus sopan dengannya? Dia bukan Donald Trump ataupun Kim Jong Un yang bisa mengubah dunia. Kenapa aku harus takut?! Jiwa berontak Emily kembali bangkit, dan memastikan jika dirinya memang tidak boleh lemah setidaknya berpura-pura untuk tidak lemah. Emily mencoba mengangkat dagu, menunjukkan dirinya tidak takut dengan apapun itu. Ia harus bisa melindungi dirinya sendiri dan bertahan hidup, seperti kehidupan yang sudah ia jalani selama dua bulan ini. Menjadi anak yatim piatu dan hidup sebatang kara. “Lalu dari mana kau mengetahui namaku dan apa tujuanmu menculikku, Sir? Aku rasa kau sudah salah sasaran.” Sebaik mungkin Emily meyakini pria itu, seperti apa yang ada di pikirannya sekarang bahwa mereka salah sasaran. Telah menangkap wanita miskin dan yatim piatu. Pria itu menyeringai, ia menyukai Emily dalam keadaan penasaran. Terlihat lebih menggemaskan daripada foto yang Perrie kirimkan untuknya kemarin. “Di mana ayahmu bekerja?” Ia memberi pertanyaan dasar, jika Emily tidak mengetahui ia yakin jika wanita bertubuh proporsional itu hanya wanita yang tidak tahu menahu tentang ayahnya bekerja, tidak ubahnya dengan wanita manja yang biasa ia temui. Emily tersenyum tipis. “AA Company. Ayahku bekerja sebagai kurir yang biasa mengantar sayuran dan buah menuju minimarket dan supermarket yang ada di Washington. Kenapa? Apa anda mau menawarkan ayahku bekerja denganmu?” Kali ini suara Emily bergetar, teringat dengan Jack yang sudah tiada. Ayahnya yang selalu memanjakannya dan memenuhi keinginannya sepanjang ia hidup tetapi kini tidak lagi. Tidak ada lagi ayahnya yang selalu mengecup dahinya ketika ia akan tidur atau mengantarkannya menuju kampus menggunakan mobil box. Hidupnya tidak seindah dan senyaman itu lagi, terlihat menyedihkan. Air mata selalu membasahi pipi ketika ia akan tidur, begitu juga setiap kali melihat mobil box yang selalu mengingatkan dengan ayahnya. Semua menjadi menyedihkan. “Tidak.” Pria itu menolak lugas tawaran Emily. “Aku tidak menawarkan ayahmu untuk bekerja lagi, aku hanya menanyakan tempat ia bekerja dan nama pemilik perusahaan tempat ayahmu bekerja.” Dahi Emily berkerut, ia hanya mengetahui nama perusahaan ayahnya bekerja tapi tidak dengan nama pemilik perusahaan itu. “Aku tidak mengenalnya, Sir.” Menjawab lugas tapi terkejut melihat pria itu mengulurkan tangan, seperti akan memperkenalkan diri. Emily terheran dan tidak mengerti, ia melihat uluran tangan dan bergantian dengan wajah pria itu lalu membalas dan berharap mendapatkan jawaban dari keheranannya sekarang. “perkenalkan, aku Allan Anderson, pemilik AA Company.” Pria itu memperkenalkan diri, dan dengan jelas Emily ternganga mendengar ucapan yang baru saja ia lontarkan, ucapan yang mungkin membuat jantung Emily berdetak kencang. “Oh My God.” Kalimat itu kembali terlontar dari bibir ranum Emily. Dunia seakan runtuh, dan kedua lututnya terasa lemas mengetahui pria di depannya adalah pemilik perusahaan pemasok sayuran dan buah terbesar di Amerika, Allan Anderson. Ia memang tidak tahu banyak tentang Allan, kecuali pria itu pemilik perusahaan tempat ayahnya bekerja. Pemilik mobil box yang setiap hari ayahnya mengantarkannya menuju kampus. Namun, pagi ini Emily berada di sebuah mansion mewah pemilik perusahaan yang memiliki itu walau tidak tahu maksud dan tujuannya mengundangnya ke sana. Mengundang? Kata itu terlalu terdengar sopan. Allan tidak mengundang tapi menculiknya. Memberi perintah pada Perrie untuk memaksanya menaiki mobil lalu mengikat kedua tangan, menutup mulut dan mata untuk bisa tiba di sana. Lebih tepatnya disebut sebuah kejahatan, bukan menghadiri undangan. Genggaman Allan semakin terasa erat melihat keterkejutan Emily. Ia menyukai raut wajah Emily yang benar-benar membuatnya ingin menahan wanita itu lebih lama lagi. “Kau tahu alasanmu datang kemari?” tanya Allan, perlahan melepaskan genggaman lalu melangkah menuju kursi besar berwarna coklat tua yang berada di balik meja kerjanya. Ia duduk di sana, memutar sebuah papan nama yang bertuliskan ‘ALLAN ANDERSON’ dan di bawahnya tertulis ‘CEO’. Sengaja memperlihatkannya setelah menyembunyikan dari perhatian Emily dan ia berhasil. Allan berhasil membuat Emily terkejut dan tidak mengenalnya. "Tidak." Emily menggeleng. “Aku tidak tahu tujuan anda menculik dan membawaku ke sini.” “Menculik?!” Mata Allan membulat lalu tertawa terbahak-bahak mendengar kata ‘menculik’ yang Emily ucapkan dengan nada penekanan. Emily terdiam sebentar. Ia merasa tidak membuat lelucon atau hal apapun itu tetapi Allan tiba-tiba menertawakannya tanpa sebab yang ia ketahui. “Apa itu lucu? Menculik anak dari karyawan anda?” Sebuah pertanyaan ringan tapi bermakna serius, dan Emily meminta penjelasan Allan agar tidak lagi penasaran. Allan menyandarkan punggung di kursi besar itu. Ia terlihat gagah dan memang pantas duduk di kursi itu, memperlihatkan keangkuhannya pada Emily. Keangkuhan yang hanya memamerkan sedikit dari hal yang banyak ia miliki sekarang. Allan menjulurkan dan menengadahkan kelima jarinya ke arah kursi di depan. “Duduklah,” katanya, yang kali ini ia bersikap serius seperti seorang dokter yang akan mendiagnosa pasiennya. Emily menurut, duduk di depan Allan yang kini menyodori beberapa kertas. "Sebaiknya kau baca ini dengan teliti." Allan meminta, mengetukkan jari di atas lembaran kertas itu. Emily meraih kertas, membacanya pelan dan teliti, seteliti membaca tugas yang akan ia berikan pada Miss.Liz. Di kertas itu, Emily membaca bahwa Jack meminjam uang sebesar $100.000 pada perusahaan AA Company yang akan mulai pembayarannya pada bulan april atau bulan berikutnya dengan cara pemotongan gaji sebesar sepuluh persen tanpa bunga selama sepuluh bulan. Di berkas itu juga tertulis alasan Jack Wilson adalah untuk membiayai kuliah dan kelulusan Emily yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Seketika Emily berpikir, ia tidak menyangka Jack harus meminjam uang sebanyak itu hanya untuk membantu membiayai administrasi kelulusannya walau sebenarnya pemerintah sudah memberinya beasiswa, tetapi Emily sadar pemerintah memang tidak menanggung semua biaya kelulusannya, hanya pelaksanaan program belajar saja. Namun demikian, ia bisa meminjam uang pada bos tempat ia bekerja atau kepada Tom, tanpa harus berhutang pada pria yang sejak tadi membuat jantungnya berdetak kencang. “Apa kau paham, Emily Wilson?” Pertanyaan Allan membuat Emily menurunkan kertas dari depan wajah. Dengan perlahan ia mengangguk. Ia memahami penuh isi dari berkas itu termasuk nominal dollar yang menurutnya bisa ia lunasi, tetapi tidak dalam jangka waktu setahun, mungkin beberapa tahun. Tidak. Mungkin tepatnya selama sepuluh tahun. Di saat dirinya berusia 33 tahun atau saat sudah mempunyai dua anak kecil. Setengah berbisik Emily menjawab, “Ya. Mengenai hutang itu. Aku--” “Harus melunasinya dalam setahun atau kau harus membayar sebesar $10.000 setiap bulan dalam 10 bulan, Emily,” tegas Allan, ucapannya seakan memberi sayatan kepada Emily hingga berhasil membuat mata wanita itu membulat dan terkejut lagi. "Apa?! $10.000 dalam sebulan? Oh Lord."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD